Sunday, February 11, 2007

Papan Mas, Korban Korupsi Pejabat?

Kompas Minggu, 11 Februari 2007, menampilkan foto banjir yang masih menggenangi kawasan Bekasi pada halaman muka.

Bekasi, sama dengan Jakarta, digerus banjir. Kakak saya tinggal di Bekasi, tepatnya di Perumahan Papan Mas, Tambun. Sebagai warga perumahan, kakak saya membayar pajak pembelian dan berbagai pajak lain saat membeli rumah dan tanah yang kini menjadi tempat tinggalnya. Ia juga membayar PBB dan pajak lain, Begitu juga dengan listrik dan iuran lain. Dengan begitu, kakak saya dan warga lain di perumahan Papan Mas merupakan konributor pemasukan bagi kota Bekasi.

Di depan rumah kakak saya di perumahan Papan Mas, ada satu kali kecil yang kerap disebut "Kali Jambe" oleh warga sekitar. Di bantaran kali itu kini terlihat berdiri berderet-deret rumah liar. Rumah-rumah itu didirikan "secara gratis" oleh sekelompok orang. Kenapa saya bilang "secara gratis"? Pasalnya orang-orang itu tidak mengeluarkan sepeser uang pun dalam bentuk pajak pembelian, pajak bumi dan bangunan, atau pajak kepemilikan lain. Namun, anehnya mereka bisa menerima aliran listrik dari PLN.

Keberadaan rumah-rumah liar itu membawa dampak negatif secara ekologis maupun sosila bagi penghuni Perumahan Papan Mas, yang sebenarnya merupakan perumahan bagi kalangan masyarakat sederhana yang ingin memiliki lingkungan yang baik. Secara ekologis, keberadaan rumah-rumah liar itu telah membuat Kali Jambe meluap sehingga saat banjir kemarin, Perumahan Papan Mas, yang letaknya sebenarnya relatif tinggi, terendam hingga sedengkul orang dewasa di dalam rumah. Ironisnya, rumah-rumah liar itu justru tidak kebanjiran karena mereka meninggikan letak rumahnya. Padahal tindakan meninggikan rumah itu yang membuat aliran air dari jalanan ke kali menjadi terhambat.

Selain dampak ekologis tadi, ada juga dampak sosialnya. Salah satu rumah liar itu membukan usaha penjualan minuman keras yang kerap didatangi preman-preman yang berpesta minuman hingga tengah malam dan subuh. Itu jelas mengganggu warga sekitar, yakni warga Perumahan Papan Mas, yang sebagian besar merupakan komuter, pemasok pendapatan asli bagi daerah Bekasi. Selain itu, istirahar anak-anak pada malam hari juga terganggu. Belum lagi jika kita memperhitungkan buruknya fenomena itu dalam rangka pendidikan keseharian anak-anak di wilayah tersebut.

Rumah-rumah serupa di wilayah yang sama telah dibongkar oleh Pemda Bekasi, namun anehnya, rumah liar di seberang kali ini tidak dibongkar. Isu berembus: pemilik rumah-rumah liar itu telah mengumpulkan sejumlah uang lalu memberikannya sebagai suap kepada penguasa setempat, entah lurah, camat, atau bupati setempat. Ini jelas isu, tapi jelas terdengar masuk akal.

Oleh karena itu, kepada pihak yang terkait dengan permasalahn ini (lurah, camat, dan bupati yang menaungi Perumahan Papan Mas sekitarnya) ini tentu tantangan agar bisa membuktikan isu suap itu tidak benar. Caranya: tegakkan aturan dengan membasmi rumah liar.

Bisakah?


11 Februari 2007

Friday, February 9, 2007

Manusia Rasional Nirperspektif

Bicara dengan seorang “ahli komputer” malam ini, gua tersadarkan oleh satu fakta: betapa mahalnya harga sebuah kesadaran dan pengetahuan. Ahli komputer ini, yang seharusnya sangat akrab dengan pola dan urutan pikiran yang runut dan rasional, ternyata mengalami kesulitan untuk menentukan perspektif dan paradima pola pikirnya sendiri. Pada satu saat dia menjadi seorang determinis, beberapa detik kemudian menjadi seorang yang kritis, lalu tiba-tiba mendeklarasikan diri menjadi seorang empirisis. Padahal, kata-kata yang disemburatkan dari mulutnya tidak lebih dari pembenaran dan konfirmasi diri terhadap pendapat pribadinya, sekaligus apologi.

Buat dia, kesadaran seseorang tidak bisa diubah oleh faktor eksternal orang tersebut. Segalanya berasal dari dalam. Jelas asumsi dasarnya adalah tiap manusia adalah manusia bebas yang memiliki pilihan. Tiba-tiba dengan lantang dia bilang bahwa yang bisa mengubah hanya Tuhan. Artinya buat dia manusia adalah makhluk yang dikooptasi oleh Tuhan secara mutlak. Identik dengan paradigme pemikiran teokrasi pramodern Abad Kegelapan Eropa ’kan? Luar biasa sekali melihat dia berargumen berdasarkan asumsi dasar yang berpindah-pindah dari corak pemikiran postmodern lalu ke pemikiran teokrasi secara cepat dan otomatis. Luar biasa menyedihkan.

Tapi, itulah memang masalah mendasar orang-orang di zaman global ini, yang sarat dengan ideologi. Tiap hari mereka menerima informasi dan menguasai teknologi, tapi dari segi pemikiran, hal-hal ideologis yang tampak mata tidak tertangkap. Yang muncul adalah zombi-zombi hidup yang wara-wiri di arus deras hal-hal remeh kehidupan global. Percakapan dan dialog kerap terbentur di aspek-aspek teknis, tak ada upaya dekonstruksi pemikiran atau evaluasi total terhadap kerangka perspektif.

Menyedihkan? Memang! Pesimistis? Jangan!


Palmerah
Jumat, 090207