Sunday, January 7, 2007

Komponen-Komponen Komunikasi Antarbudaya

Ini adalah pembahasan tentang pendekatan dialektis terhadap komunikasi antarbudaya dan mengidentifikasi empat komponen yang saling berkaitan atau building blocks dalam upaya memahami komunikasi antarbudaya: kebudayaan, komunikasi, konteks, dan kekuasaan. Kebudayaan dan komunikasi adalah dua hal inti, sedangkan konteks dan kekuasaan membentuk latar bagi kita untuk dapat lebih memahami komunikasi antarbudaya.

Kebudayaan
Kebudayaan sering dianggap sebagai konsep inti dalam komunikasi antarbudaya. Satu karakteristik kebudayaan adalah bahwa kebudayaan berfungsi sebagian besar pada tataran bawah sadar.
Ada begitu banyak definisi kebudayaan—mulai dari pola persepsi yang mempengaruhi komunikasi hingga ajang persaingan dan konflik. Karena itu, sangat penting bagi kita untuk berefleksi pada sentralitas kebudayaan dalam interaksi kita.
Kebudayaan bukan hanya sekadar satu aspek dari komunikasi antarbudaya. Pendapat kita tentang kebudayaan membingkai gagasan dan persepsi kita.
Tak ada satu pun definisi kebudayaan yang dianggap paling benar karena tiap definisi bersifat sangat restriktif. Pendekatan dialektis menyatakan bahwa berbagai definisi menawarkan lebih banyak fleksibilitas saat kita mencoba mendekati topik komunikasi antarbudaya.
Pembagian high culture dan low culture adalah salah satu upaya untuk mendefinisikan kebudayaan dengan penekanan kualitas. Selain itu, ada pula definisi-definisi dari antropologi dan sosiologi, yang banyak digunakan dalam studi komunikasi antarbudaya. Beberapa definisi antropologis menyatakan budaya sebagai sekelompok pola pemikiran dan kepercayaan; definisi lain menyatakan bahwa budaya adalah sekelompok perilaku, dsb. Sementara itu, definisi psikologis biasanya menyatakan kebudayaan sebagai pemrograman pikiran dan agregat interaktif dari karakteristik bersama yang mempengaruhi respons sekelompok manusia pada lingkungannya. Selain itu, ada pula definisi-definisi yang dipinjam dari etnografi.
Selanjutnya, dengan munculnya cultural studies, muncul pula pandangan baru terhadap kebudayaan: kebudayaan dianggap sebagai satu contested zone. Artinya adalah bahwa kebudayaan dianggap sebagai sesuatu yang cair, tidak baku dan statis. Di dalam kebudayaan ada negosiasi dan kompetisi yang berkaitan dengan isu-isu gender, kelas, dan sejarah.

Komunikasi
Komunikasi sebagai komponen kedua yang mesti dimengerti untuk memahami komunikasi antarbudaya juga merupakan satu hal yang sama kompleksnya dengan kebudayaan.
Karakteristik utama dari komunikasi adalah makna. Kita memahami bahwa komunikasi terjadi saat seseorang mengatribusikan makna pada tuturan atau tindakan orang lain. Komunikasi dapat dipahami sebagai satu proses simbolis di mana realitas diproduksi, dipertahankan, diperbaiki, dan ditransformasikan. Definisi sederhana ini mengandung beberapa gagasan.
Gagasan pertama adalah bahwa komunikasi bersifat simbolis. Artinya kata-kata yang kita ucapkan dan gerakan yang kita lakukan tidak memiliki makna yang inheren. Semuanya mendapatkan signifikansinya dari makna yang disepakati. Kedua, proses di mana kita menegosiasikan makna bersifat dinamis. Artinya komunikasi bukanlah kejadian tunggal, melainkan berlangsung terus--maknanya ditentukan oleh kejadian komunikasi lain.
Hubungan antara kebudayaan dan komunikasi sangat rumit. Perspektif dialektis berasumsi bahwa kebudayaan dan komunikasi berinterelasi dan bersifat resiprokal. Artinya komunikasi dan kebudayaan saling mempengaruhi.
Dalam komunikasi, shared values satu komunitas akan mempengaruhi jawaban dari satu pertanyaan tertentu yang diajukan. Jawaban atau respons yang diberikan saat seseorang menjawab satu pertanyaan merupakan cerminan dari value yang diyakini dalam komunitas orang tersebut.
Bagaimanapun, dalam satu komunitas yang ada bukan hanya value dominan. Artinya kita harus menghindari pembentukan stereotipe berdasarkan analisis orientasi value tersebut. Konflik antarbudaya kerap terjadi karena adanya perbedaan dalam hal orientasi value.
Kebudayaan tak hanya mempengaruhi komunikasi, tapi kebudayaan dibangun melalui, sehingga juga dipengaruhi oleh, komunikasi. Para ilmuwan komunikasi kultural menggambarkan bagaimana berbagai aspek kebudayaan dibangun dalam guyub-guyub tutur dalam konteks. Mereka berupaya memahami pola-pola komunikasi yang terbentuk secara sosial dan ikut menentukan identitas kultural. Secara spesifik mereka mengamati bagaimana bentuk-bentuk dan kerangka-kerangka kultural terbentuk melalui norma-norma percakapan dan interaksi yang terstruktur.
Perlawanan terhadap sistem budaya yang dominan selalu ada dalam berbagai komunitas budaya.

Hubungan antara Komunikasi dan Konteks
Konteks secara tipikal tercipta oleh aspek sosial dan fisik dari situasi di mana komunikasi terjadi. Orang berkomunikasi secara berbeda-beda bergantung pada konteks di mana ia berada. Konteks tidak bersifat statis ataupun obyektif, dan dapat bersifat multilayered atau berlapis-lapis. Konteks dapat terdiri atas struktur-struktur sosial, politik, dan historis di mana komunikasi terjadi.

Hubungan antara Komunikasi dan Kekuasaan
Kekuasaan menyebar dalam interaksi komunikasi, meskipun tak selalu tampak jelas bagaimana kekuasaan mempengaruhi komunikasi atau makna-makna seperti apa yang terkonstruksi. Kita kerap menduga bahwa komunikasi terjadi antara pihak-pihak yang setara, padahal hal ini sangat jarang terjadi. Menurut Mark Orbe, orang-orang yang memiliki kekuasaan, baik secara sadar ataupun tidak, menciptakan dan mempertahankan sistem komunikasi yang mencerminkan, memperkuat, dan menonjolkan cara berpikir dan berkomunikasi mereka. Ada dua jenis kekuasaan yang berhubungan dengan kelompok: (1) dimensi primer (usia, etnis, gender, kemampuan fisik, ras, dan orientasi seksual), yang bersifat lebih permanen dan (2) dimensi sekunder (pendidikan, lokasi geografis, status perkawinan, dan status sosial ekonomi), yang lebih dapat berubah.
Kekuasaan juga berasal dari institusi sosial dan peran-peran individu yang menempati institusi-institusi tersebut. Kekuasaan bersifat dinamis, bukan proposisi searah yang sederhana. Ketegangan antara kelompok kultural yang dominan dan yang tersubordinasi dapat terus terjadi dalam berbagai cara.

Masalah elanjutnya yang akan dibahas di sini adalah bagaimana masa lalu merupakan satu segi yang sangat penting dari komunikasi antarbudaya. Bagian ini juga memeriksa beberapa cara di mana sejarah menjadi hal yang penting dalam memahami komunikasi antarbudaya. Banyak interaksi antarbudaya melibatkan satu dialektika interplay antara masa kini dan masa lalu. Dalam skala besar kita lihat bagaimana sejarah mempengaruhi interaksi interkultural dalam berbagai konteks, antara lain konflik di Tepi Barat antara Israel dan Palestina. Dialektika antara sejarah/masa lalu-masa kini/ masa depan adalah fokus dari bagian ini. Sebagaimana kita ketahui, budaya dan identitas budaya secara ketat terikat pada sejarah karena dua hal itu tak memiliki makna tanpa sejarah. Namun, mesti diingat bahwa tak ada satu versi tunggal sejarah: masa lalu ditulis dalam begitu banyak cara.


Dari Sejarah ke Sejarah-Sejarah
Berbagai jenis sejarah mempengaruhi pemahaman kita tentang siapa diri kita. Untuk memahami dialektika dalam interaksi sehari-hari, kita perlu memahami banyak sejarah yang ikut membentuk identitas kita yang berbeda-beda. Sejarah-sejarah ini saling menumpuk dan mempengaruhi. Mengenali berbagai jenis konteks sejarah adalah langkah pertama yang mesti kita ambil untuk memahami bagaimana sejarah mempengaruhi komunikasi.
Tiga jenis sejarah yang biasanya terdokumentasikan adalah sejarah politik, intelektual, dan sosial. Sejarah politik adalah sejarah yang fokus pada kejadian-kejadian politik. Sejarah intelektual adalah sejarah yang fokus pada perkembangan gagasan. Sejarah sosial adalah sejarah yang mencoba memahami beraneka pengalaman hidup berbagai kelompok di masa lalu. Namun, ada pula, sejarah yang tak hadir, yakni sejarah sekelompok orang yang tak terdokumentasikan karena beberapa hal, misalnya sejarah para budak di Amerika.
Sejarah lain adalah sejarah keluarga, yakni sejarah yang berlangsung berbarengan dengan sejarah-sejarah lain, tapi terjadi pada level yang lebih personal. Biasanya sejarah jenis ini tidak ditulis, melainkan disampaikan secara lisan secara turun-temurun.
Sejarah lain adalah sejarah nasional. Sejarah nasional suatu bangsa amat penting bagi bangsa tersebut. Biasanya sejarah nasional dipelajari di sekolah. Berbagai sejarah tentang berbagai tokoh diceritakan hampir menyerupai mitos karena diketahui bahwa pada beberapa sejarah bukti yang ditemukan tidak cukup kuat. Sejarah nasional memberikan pada kita satu gagasan yang sama tentang siapa kita dan memperkokoh rasa kebangsaan kita. Walaupun kita tidak benar-benar merupakan bagian dari narasi nasional tersebut, kita diharapkan mengenalnya dengan baik sehingga kita dapat memahami banyak referensi yang digunakan dalam komunikasi.
Yang berikutnya adalah sejarah kelompok budaya. Walaupun telah ada sejarah nasional, kelompok-kelompok budaya yang ada dalam negara itu memiliki sejarahnya masing-masing. Sejarah jenis ini bisa tersembunyi atau samar, namun masih berkaitan dengan sejarah nasional. Sejarah kelompok budaya membantu kita memahami identitas berbagai kelompok. Kita lebih memilih memandang sejarah sebagai banyak cerita yang kita ungkapkan tentang masa lalu alih-alih sebagai satu cerita pada satu rangkaian kesatuan waktu. Tentu saja kejadian-kejadian pada keluarga, kelompok budaya, dan negara saling berkaitan. Bahkan kejadian-kejadian dunia pun berkaitan. Ketidakpedulian pada sejarah kelompok lain membuat komunikasi antarbudaya menjadi tambah sulit dan kesalahpahaman sangat rentan terjadi.

Sejarah, Kekuasaan, dan Komunikasi Antar-Budaya
Kekuasaan merupakan dinamika sentral dalam penulisan sejarah. Kekuasaan mempengaruhi isi sejarah yang kita ketahui dan cara penyajiannya. Kekuasaan mendikte apa yang mesti diajarkan dan apa yang tidak, apa yang tersedia dan apa yang mesti dihapus.
Sejarah merupakan hal yang sangat penting dalam upaya memahami identitas. Fredric Jameson mengatakan bahwa meskipun bukan sebuah narasi, sejarah hanya dapat kita akses dalam bentuk naratif dan tekstual. Meski begitu, orang tidak memiliki akses yang sama pada tulisan dan produksi teks-teks ini.
Teks-teks politik mencerminkan perbedaan akses pada partisipasi politik dalam berbagai negara pada waktu yang berbeda pula dalam sejarah. Dengan mempertimbangkan bahasa yang kita gunakan untuk memahami sejarah, jelas tampak ada perbedaan di antara terminologi-terminologi yang digunakan dalam sejarah. Cara kita mengungkapkan sesuatu dalam sejarah dipengaruhi oleh cara pandang kita terhadap dunia.
Ketersediaan teks-teks politik yang bersifat relatif dan cara mereka merefleksikan ketidaksetaraan kekuasaan ditulis kembali dalam proses penyusunan sejarah. Penulisan sejarah membutuhkan dokumentasi dan teks, dan tentu saja, terbatas pada apa yang tersedia. Dalam menulis sejarah, kita kerap menanyakan apa yang penting, tapi tidak pernah menanyakan hal itu penting bagi siapa dan untuk tujuan apa. Saat telah ditulis, teks-teks itu tersedia untuk mengajarkan dan belajar tentang masa lalu. Namun, apa yang tampak sebagai satu kesatuan masa lalu, sifat linear dari sejarah, tak lebih dari refleksi dari identitas modern, yang berakar pada tradisi Barat.
Kita hidup pada satu zaman di mana perubahan terjadi sangat cepat. Itu membuat kita memikirkan ulang perjuangan dan identitas kultural kita. Mungkin sulit bagi kita untuk membayangkannya, namun satu ketika satu cerita utuh umat manusia--narasi Agung—akan mendominasi bagaimana manusia berpikir tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tapi, hal ini tak berlaku lagi. Sebagai ganti narasi agung itu, muncullah sejarah-sejarah yang telah direvisi dan dipulihkan, yang sebelumnya ditekan, disembunyikan, atau dihapus. Pergerakan budaya yang memungkinkan pergeseran ini terjadi memberi kuasa pada identitas-identitas kultural yang terlibat. Memulihkan berbagai sejarah sangat perlu untuk memikirkan ulang apa arti beberapa identitas budaya. Selain itu, hal tersebut pun diperlukan untuk membantu kita memikirkan ulang identitas kultural yang dominan.
Kekuasaan juga merupakan warisan, sisa-sisa sejarah yang meninggalkan satu kelompok budaya tertentu dalam satu posisi tertentu. Kita belum pernah setara dalam tiap interaksi kultural, dan tak akan pernah setara. Sejarah panjang imperialisme, kolonialisme, eksploitasi, perang, pemusnahan massal, dan hal-hal lain meninggalkan kelompok-kelompok kultural dalam posisi yang tak seimbang ketika mereka berkomunikasi.
Ketidaksetaraan itu mempengaruhi cara pikir kita tentang pihak lain dan bagaimana kita berinteraksi dengan mereka. Ketidaksetaraan itu juga mempengaruhi bagaimana kita berpikir tentang diri kita sendiri—identitas kita. Ini merupakan aspek yang penting dari komunikasi antarbudaya. Hal itu mungkin tampak mengerikan untuk menghadapi sejarah perjuangan kelas. Namun, semakin banyak kita tahu, semakin baik kita akan memosisikan diri kita dalam interaksi antarbudaya yang sukses.


Sejarah dan Identitas
Pengembangan identitas kultural amat dipengaruhi sejarah. Identitas kultural pun dibentuk melalui upaya kita dalam memahami masa lalu.
Menurut Walter Fisher, penyampaian cerita adalah hal yang fundamental bagi pengalaman manusia. Fisher menyebut manusia sebagai Homo narrans karena terminologi itu menekankan betapa pentingnya narasi dalam hidup kita. Sejarah adalah cerita-cerita yang kita gunakan untuk memahami siapa diri kita dan apa yang kita pikir tentang mereka. Merupakan hal yang penting untuk tahu bahwa satu unsur yang kuat dalam perilaku kultural kita mendorong kita untuk melupakan sejarah pada waktu-waktu tertentu.
Keinginan untuk lari dari sejarah bersifat signifikan dalam apa yang dikatakannya pada kita tentang bagaimana budaya kita menegosiasikan hubungannya dengan masa lalu, begitu juga bagaimana kita melihat hubungan negara dan budaya lain dengan masa lalunya.
Masyarakat dari kelompok budaya nonmainstream kerap memperjuangkan untuk mempertahankan sejarah mereka. Sejarah mereka bukanlah sejarah yang dominan namun tetap penting untuk melihat bagaimana pihak lain memandang mereka dan mengapa seperti itu.
Sejarah-sejarah etnis dan rasial tak pernah terisolasi, selalu bersilangan dengan arah gerak milik kultur lain. Kita kadang merasa bahwa kita adalah korban atau sebaliknya dalam satu peristiwa sejarah di masa lampau, atau bahkan kita menempati dua posisi tersebut secara bersamaan.
Bagi masyarakat nonmainstream, menyatakan hal yang sebenarnya merupakan hal yang tepat untuk mengonstruksi identitas personal dan kultural. Menceritkan narasi personal menawarkan pada kita satu jalan masuk dan sarana untuk berdamai dengan sejarah. Sejarah-sejarah yang tersembunyi membantu kita memahami bagaimana pihak lain menegosiasikan perilaku kultural masa lalu yang berhubungan dengan masa kini. Ada beberapa macam sejarah yang tersembunyi.
Pertama, sejarah gender. Mendokumentasikan sejarah jenis ini sangat sulit karena adanya peraturan tradisional yang tidak membolehkan para perempuan memiliki akses pada forum, dokumen, dan catatan publik.
Kedua, sejarah dasial dan etnis: Sejarah ini kerap dilupakan atau tidak dipedulikan beberapa negara. Namun, pada akhirnya, kelompok budaya yang berkaitan tetap terus menerus memperjuangkan agar sejarah ini terus diingat.
Ketiga, sejarah diaspora. Sejarah ini merupakan sejarah perpindahan antarnegara atau antarkota secara besar-besaran yang terkadang disebabkan oleh perang, kelaparan, atau penyiksaan sehingga menyebabkan terusirnya suatu kesatuan kelompok.
Keempat adalah sejarah kolonial, yakni sejarah penjajahan atau pendudukan satu negara atas negara lain.
Kelima adalah sejarah kelas sosioekonomi. Sejarah ini disebabkan adanya perkembangan ekonomi. Perpindahan masyarakat besar-besaran diakibatkan oleh perkembangan bidang ekonomi.

Komunikasi Antar-Budaya dan Sejarah
Richard Brislin (1981) mengidentifikasi 4 elemen dari sejarah yang mempengaruhi interaksi: individu membawa pengalaman masa kecil mereka dalam interaksi, individu mungkin membawa mitos-mitos historis dalam interaksi, bahasa yang dipakai individu untuk berbicara mempengaruhi interaksi mereka, masyarakat baik itu individu atau kelompok terkadang dapat terpengaruh peristiwa mengerikan yang baru saja terjadi.
Ada dugaan bahwa komunikasi yang lebih baik dan mudah antara sekelompok orang dilakukan dengan membawa mereka bersama dan memperbolehkan mereka untuk berinteraksi. Gordon Allport (1979) dan Yehudi Amir (1969) mengungkapkan setidaknya terdapat 8 kondisi yang harus dilakukan untuk meningkatkan sikap dan memudahkan komunikasi antarkelompok.
Pertama, anggota kelompok harus berada dalam status yang sejajar, baik di dalam maupun di luar peristiwa interaksi tersebut. Kedua, nilai-nilai yang kuat dan adanya dukungan institusi untuk pertemuan tersebut. Ketiga, pertemuan antara kelompok tersebut harus dilakukan secara sukarela. Keempat, pertemuan tersebut harus memiliki potensi untuk diperluas melebihi situasi saat itu dan harus muncul di dalam sebuah konteks yang bervariasi dengan berbagai macam individu dari semua kelompok. Kelima, rencana atau program tersebut harus memaksimalkan kerja sama antarkelompok dan meminimalkan kompetisi. Keenam, rencana tersebut harus menyamakan jumlah dari anggota kelompok. Ketujuh, snggota kelompok harus memiliki kepercayaan dan nilai-nilai yang sama. Kedelapan, program mesti mempromosikan individuasi anggota kelompok.
Bagaimana sebuah perspektif dialektikal dapat membantu kita menegosiasikan interaksi, sikap individual yang telah ada, serta sejarah personal dan budaya? Bagaimana kita menyeimbangkan antara masa lalu dan masa sekarang di dalam kehidupan interaksi antarbudaya kita sehari-hari?
Pertama, sangatlah penting untuk menyadari bahwa kita semua membawa sejarah masing-masing dalam interaksi. Kedua, kita harus mengerti peran bahwa sejarah memainkan dalam identitas, pada apa yang kita bawa dalam interaksi.


(Ting-Toomey, Stella. Communicating Across Culture. New York: The Guilford Press, 1999)

Perubahan Identitas dan Adaptasi Budaya

Proses adaptasi antarbudaya: didefinisikan sebagai tingkat perubahan yang terjadi ketika individu pindah dari lingkungan yang dikenalnya ke lingkungan yang kurang dikenal. Proses ini melibatkan perjalanan lintas batas budaya.

Adaptasi Antar-Budaya: Faktor-Faktor Antecedent

Adaptasi antarbudaya mengacu pada proses perubahan yang berkaitan dengan identitas yang terjadi secara meningkat yang terjadi pada para penduduk musiman dan imigran di lingkungan baru.

Penyesuaian mengacu pada proses adaptif jangka pendek dan menengah yang dilakukan para penduduk musiman dalam masa penugasan mereka di luar negeri.

Istilah akulturasi digunakan dalam literatur antarbudaya untuk menggambarkan proses perubahan jangka panjang para imigran dan pengungsi saat beradaptasi dengan tempat tinggal baru mereka.

Enkulturasi, pada sisi lain, kerap mengacu pada proses sosialisasi primer terus-menerus para orang asing di budaya asal mereka di mana mereka telah menginternalisasikan nilai-nilai budaya utama.

Ada tiga faktor antecedent yang biasanya mempengaruhi proses adaptasi para pendatang: faktor di level sistem, level individu, dan interpersonal.


Faktor-Faktor di Level Sistem

Faktor-faktor di level sistem adalah faktor-faktor yang ada di lingkungan yang didatangi yang mempengaruhi para adaptasi pendatang baru terhadap budaya baru. Ada lima observasi yang terkumpul berdasarkan temuan dari riset adaptasi yang tersedia.

Pertama, keadaan sosioekonomi budaya yang didatangi mempengaruhi iklim adaptasi. Keadaan yang makmur akan membuat para anggota budaya tersebut lebih toleran terhadap pendatang baru.

Kedua, pendirian sikap budaya yang didatangi berkaitan dengan asimilasi budaya atau pluralisme budaya menghasilkan efek tak langsung pada kebijakan-kebijakan institusional terhadap proses adaptasi para pendatang baru. Pendirian asimilasi budaya menuntut konfirmitas lebih tinggi dari para orang asing dalam beradaptasi dengan lingkungan yang didatangi dibandingkan dengan pendirian pluralis budaya.

Ketiga, institusi lokal berperan sebagai agensi kontak pertama yang memfasilitasi atau menghambat proses adaptasi para penduduk musiman atau imigran.

Keempat, definisi makna budaya yang didatangi soal peran para pendatang dapat mempengaruhi proses awal dari adaptasi para penduduk musiman dan imigran.

Kelima, jarak budaya antara kedua budaya--milik para pendatang dan tuan rumah--berdampak kuat pada adaptasi para pendatang.

Faktor-Faktor di Level Individu

Di level individu, ada faktor-faktor yang mempengaruhi adaptasi antarbudaya: motivasi individual, ekspektasi individual, pengetahuan berdasarkan interaksi dan pengetahuan budaya, dan atribut pribadi.

Orientasi motivasi pendatang baru untuk meninggalkan tempat asalnya dan memasuki satu budaya baru memiliki pengaruh yang tak terhindarkan pada mode-mode adaptasinya.

Ekspektasi individual pun dipandang secara luas sebagai satu faktor krusial dalam proses adaptasi antarbudaya. Ekspektasi mengacu pada proses antisipatori dan hasil prediktif dari situasi yang akan datang.

Pengetahuan budaya dan pengetahuan berdasarkan interaksi yang dimiliki para pendatang baru tentang budaya yang didatangi juga berperan sebagai faktor penting lain dalam proses adaptasi mereka. Pengetahuan budaya dapat mencakup informasi soal sejarah perbedaan etnik dan budaya, geografi, sistem politik dan ekonomi, keyakinan agama dan spiritul, sistem nilan berganda, dan norma-norma situasional. Pengatahuan berdarkan interaksi mencakup bahasa, gaya verbal dan nonverbal, isi-isu komunikasi yang berkaitan dengan perbedaan, dan berbagai gaya pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.

Berkaitan dengan atribut pribadi, profil-profil kepribadian seperti toleransi tinggi terhadap ambiguitas, locus internal kontrol, fleksibilitas dan keterbukaan personal secara konstan dihubungkan dengan pemfungsian psikologis yang positif dalam satu budaya baru. Ward mengajukan satu proposisi ”cultural fit”, yang menekankan pentingnya kecocokan antara tipe kepribadian para acculturators dengan norma-norma budaya yang jadi tuan rumah.

Sebagai tambahan, variabel-veriabel demografis seperti usia dan tingkat pendidikan juga mempengaruhi keefektifan adaptasi.

Faktor-Faktor di Level Antarpribadi

Faktor-faktor di level interpersonal mencakup faktor jaringan hubungan tatap muka, faktor kontak yang dimediasi, dan faktor-faktor kemampuan interpersonal. Faktor jaringan kontak dan media massa dapat meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri interpersonal dalam perjalanan pembelajaran budaya yang mereka lakukan.

Jaringan kontak mengacu pada kombinasi ikatan personal dan sosial dalam budaya baru di mana sumber-sumber daya afektif, instrumental, dan informasional dipertukarkan. Sumber daya afektif mencakup pertukaran dukungan identitas dan pesan-pesan emphatic relasional. Sumber daya instrumental mencakup dukungan tujuan yang berkaitan dengan tugas, bantuan-bantuan praktis, dan pertukaran sumber daya yang tangible. Sumber daya informasional mencakup berbagi pengetahuan dan membuat orang lain mengetahui satu berita penting tertentu.

Studi menemukan bahwa dalam tahap adaptasi awal, jaringan pertemanan/sosial yang berdasarkan etnis berperan penting bagi para pendatang baru dalam hal fungsi dukungan identitas dan dukungan emosional.

Media etnis juga memainkan peran yang penting dalam tahap awal adaptasi para imigran. Hambatan bahasa membuat para imigran cenderung memilih media etnis.

Di sisi lain, media tuan rumah juga memainkan peran edukatif dalam menyediakan lingkungan yang aman bagi para pendatang baru untuk mempelajari bahasa dan keterampilan bersosialisasi dari budaya tuan rumah.

Dari semua variabel, kemampuan berbahasa memainkan peran yang paling penting dalam konsumsi media tuan rumah. Semakin baik kemampuan bahasa para pendatang, semakin mungkin mereka memilih media tuan rumah. Pada tahap awal adaptasi, para imigran mungkin cenderung memilih acara-acara hiburan, namun pada tahap berikutnya, mereka lebih memilih acara-acara informasi.

Para peneliti manajemen internasional mengidentifikasi beberapa kemampuan adaptif interpersonal yang penting bagi para pelaku bisnis yang bekerja di luar negeri: pemeliharaan keadaan psikologis, kesadaran yang memadai soal perilaku dan nila-nilai tuan rumah, interaksi interpersonal dengan orang dari negara tersebut. Sebagai perbandingan, peneliti komunikasi antarbudaya mendefinisikan beberapa kemampuan sebagai keterampilan antarbudaya yang penting: (1) kemampuan mengelola tekanan psikologis, (2) kemampuan berkomunikasi secara efektif, dan (3) kemampuan membangun hubungan antarpribadi yang meaningful.

Ada lima langkah yang dapat diterapkan oleh para penduduk musiman dan imigran dalam mengasah kemampuan interpersonal khusus-budaya mereka dalam budaya baru:

1. identifikasi satu keterampilan yang memfasilitasi komunikasi yang lebih baik dengan orang-orang dari satu budaya tertentu
2. pahami mengapa keterampilan ini penting-pasangkan nilai budaya tertentu dengan kemampuan ini
3. cari tahu mengapa, di mana, dan dalam situasi apa keterampilan ini digunakan secara tepat
4. sadari keunikan para individu yang berinteraksi dengan kita—mungkin saja dia tidak cocok dengan norma di atas tadi
5. latih keterampilan ini dalam interaksi keseharian dengan orang-orang dari budaya baru

Dalam tiap proses pembelajaran budaya yang berhasil, anggota budaya tuan rumah perlu bersikap sebagai tuan rumah yang baik sedangkan pendatang bersikap sebagai orang-orang yang bersedia belajar.


Adaptasi Antar-Budaya: Proses Perubahan Identitas

Proses adaptasi antarbudaya melibatkan perubahan identitas dan tantangan-tantangan bagi para pendatang baru. Tantangan-tantangan yang dimaksud:
(1) perbedaan-perbedaan dalam keyakinan inti, nilai-nilai, dan norma-norma situasional antara di tempat asal dan di tempat baru;
(2) hilangnya gambaran-gambaran budaya asal yang dipegang—semua citra dan simbol yang familiar yang menandakan bahwa identitas yang dulu familiar dari para pendatang baru telah hilang;
(3) rasa ketidakmampuan para pendatang dalam merespons setting baru secara tepat dan efektif.

Mengelola Proses Guncangan Budaya

Culture shock mengacu pada proses transisional di mana individu merasa adanya ancaman pada keberadaannya dalam satu lingkungan yang secara budaya baru baginya. Dalam lingkungan yang kurang akrab baginya itu, identitas individu tersebut tampak tak terlindungi. Scenes dan script budaya tak beroperasi dalam setting baru dan jaringan budaya yang akrab sebelumnya telah hilang.

Culture shock menghasilkan pelanggaran ekspektansi, yang pada gilirannya memunculkan kerapuhan emosional. Culture shock pada awalnya merupakan fenomena emosional, lalu muncul disorientasi kognitif dan disonansi identitas.
Menurut Oberg, culture shock menghasilkan satu keadaan disequilibrium identitas, yang dapat memunculkan transformasi adaptif dalam diri seorang pendatang pada level moral, afektif, kognitif, perilaku. Culture shock melibatkan:
(1) rasa hilangnya dan tercabutnya identitas yang berkaitan dengan nilai-nilai, status, profesi, teman-teman, dan kepemilikan;
(2) ketegangan identitas sebagai hasil dari upaya yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan-perubahan psikologis yang diperlukan;
(3) penolakan identitas oleh anggota budaya baru;
(4) kebingungan identitas, terutama yang berkaitan dengan ambiguitas peran dan unpredictibility;
(5) ketidakmampuan identitas sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk mengatasi lingkungan baru.

Semua penduduk musiman dan imigran mengalami beberapa derajat hilangnya identitas dan duka dalam lingkungan yang asing. Guncangan budaya--tak dapat dihindari--merupakan satu pengalaman yang menekan dan memunculkan disorientasi.

Guncangan budaya dapat memunculkan efek negatif dan positif. Yang termasuk dalam implikasi negatif adalah masalah psikosomatik akibat stres berkepanjangan; disorientasi kognitif akibat kesulitan-kesulitan dalam membuat atribusi yang akurat; letupan afektif yang terdiri dari perasaan kesepian, depresi, dan perubahan mood yang drastis; dan kecanggungan dalam interaksi sosial akibat ketidakmampuan untuk tampil optimal dalam bahasa dan latar baru.

Sebaliknya, jika dikelola dengan penuh pertimbangan, guncangan budaya dapat menimbulkan efek positif pada pendatang baru: rasa tenteram dan meningkatnya harga diri; fleksibilitas dan keterbukaan kognitif; kompetensi dalam interaksi sosial dan meningkatnya kepercayaan diri dan rasa percaya pada orang lain.

Banyak penduduk musiman yang gagal karena pengalaman guncangan budaya menjadi sangat agresif atau menyendiri secara total. Anderson mengidentifikasi empat tipe “culture shockers”: (1) early returnees--mereka yang keluar pada tahap awal dan menggunakan strategi pulang-pergi untuk berurusan dengan lingkungan “yang tak bersahabat”;
(2) time servers—mereka yang bersikap biasa-biasa saja dengan kontak minimum dengan para warga lokal dan secara emosional dan kognitif menjalani waktu serta pada saat yang bersamaan menunggu kesempatan untuk pulang;
(3) the adjusters—mereka yang bersikap secara cukup moderat dan membaur bersama para penduduk lokal secara perilaku tapi tidak secara afektif;
(4) the participators—mereka yang menampilkan upaya optimal dan secara perilaku dan afektif menjadi partisipan penuh dalam budaya lokal.

Model Penyesuaian Penduduk Sementara

Model Perubahan Identitas Penduduk Sementara

Beberapa penelitian mengonseptualisasikan proses penyesuaian penduduk musiman dari berbagai perspektif developmental. Konsekuensi menarik dari model-model deskriptif yang berorientasi jenjang ini berpusat pada pertanyaan apakah adaptasi penduduk musiman merupakan satu proses kurva-U atau kurva-W. Lysgaard mengembangkan satu model penyesuaian antarbudaya yang terdiri atas tiga fase yang mencakup penyesuaian awal, krisis, dan penyusaian yang diperoleh kembali. Penyesuaian awal adalah fase optimistis dari proses penyesuaian para penduduk musiman; yang kedua merupakan fase yang menekan ketika realitas terbentuk dan penduduk musiman diluapi ketidakmampuan mereka; yang ketiga adalah fase penetapan, saat penduduk musiman belajar mengatasi lingkungan baru.

Dari gagasan-gagasan tersebut, Lysgaard mengajukan model kurva-U proses penyesuaian penduduk musiman, sekaligus menyatakan bahwa penduduk musiman melalui fase awal ”bulan madu”, lalu mengalami ”kemerosotan” atau fase yang membuat tertekan, dan akhirnya menguasai diri mereka hingga mencapai satu fase dalam mengelola tugas-tugas mereka di luar negeri. Dalam mengembangkan model kurva-U, Gullahorn dan Gullahorn mengajukan model kurva-W dengan enam jenjang: fase bulan madu, permusuhan, penuh humor, merasa seperti di rumah sendiri, guncangan budaya reentry, dan resosialisasi. Sebagai pengembangan lebih lanjut dari model Gullahorn dan Gullahorn ini, dikembangkan model penyesuaian berbentuk W hasil revisi dengan tujuh jenjang untuk menjelaskan proses penyesuaian jangka pendek dan menengah dari penduduk musiman.

Ketujuh jenjang tersebut adalah jenjang bulan madu, permusuhan, penuh humor, in-sync, ambivalensi, guncangan budaya, dan resosialisasi.

Pada tahap bulan madu, penduduk musiman sangat bersemangat menghadapi lingkungan budaya baru mereka. Pada tahap permusuhan, mereka mengalami kebingungan dan disorientasi identitas yang hebat; tak ada satu hal pun yang berhasil dalam fase ini. Dalam tahap penuh humor, penduduk musiman belajar menertawakan kecerobohan-kecerobohan budaya mereka dan mulai menyadari bahwa ada pro dan kontra dalam tiap budaya—seperti ada baik dan buruk dalam tiap masyarakat. Dalam tahap in-sync, mereka mulai merasa seperti ada di lingkungan sendiri dan mengalami keamanan dan inklusi identitas. Batas antara outsider dan insider semakin kabur dan para pendatang mengalami penerimaan dan dukungan sosial. Saat telah berada di zona kenyamanan, mereka harus pulang. Dalam tahap ambivalensi, mereka mengalami duka, nostalgia, dan kebanggaan, yang bercampur dengan rasa lega sekaligus sedih karena mereka akan pulang. Dalam tahap guncangan budaya saat masuk kembali, penduduk musiman menghadapi satu sentakan tak terduga. Karena sifatnya yang tak terduga, guncangan budaya reentry biasanya berdampak lebih hebat. Mereka biasanya merasa lebih tertekan dibandingkan dengan ketika mereka masuk. Pada tahap resosialisasi, beberapa individu secara diam-diam mengasimilasikan diri mereka kembali pada peran-peran dan perilaku lama mereka tanpa menimbulkan gelombang atau tanpa tampil berbeda dari kolega-kolega mereka. Beberapa individu lain tak dapat masuk kembali ke dalam budaya asal mereka (alienator). Beberapa individu lain mungkin menjadi agen perubahan dalam budaya atau organisasi asal mereka. Mereka secara penuh pertimbangan mengintegrasikan pengalaman belajar di luar negeri dengan hal-hal positif lain dari budaya asal mereka. Mereka menerapkan cara berpikir multidimensional, kecerdasan emosi yang diperkaya, dan berbagai sudut pandang dalam memecahkan masalah atau mendorong perubahan demi terciptanya organisasi pembelajaran yang benar-benar inklusif. Mereka juga tidak takut terlihat berbeda di tempat asal mereka karena mereka memiliki pengalaman menjadi orang yang berbeda saat di luar negeri. Mereka merasa nyaman dengan proses berayun identitas ganda. Para transformer ini menjadi individu-individu yang telah memiliki kecermatan, rasa iba, dan kebijakan.

Pada dasarnya, model penyesuaian berbentuk W yang telah direvisi menekankan beberapa karakteristik selama proses perubahan identitas para penduduk musiman:
1. mereka perlu memahami puncak dan titik rendah, pergeseran positif dan negatif, yang membentuk perubahan identitas dalam lingkungan asing, menyadari bahwa perubahan naik-turun perasaan merupakan bagian dari proses perubahan dan perkembangan,
2. Mereka mesti menyadari dan mengikuti tujuan instrumental, relasional dan identitas mereka dalam budaya baru; kesuksesan dalam satu set tujuan tertentu mempengaruhi keberhasilan mencapai tujuan lain,
3. mereka perlu memberikan diri mereka waktu dan ruang untuk menyesuaikan diri,
4. mereka perlu mengembangkan ikatan kuat dan ikatan lemah untuk melindungi mereka dan tempat mencari bantuan pada saat diperlukan,
5. mereka perlu mencari kesempata untuk berpartisipasi dalam event budaya besar milik budaya tuan rumah dan melibatkan diri dalam kesempatan langka itu serta belajar menikmati budaya lokal semaksimal mungkin.

Reentry Culture Shock

Reentry culture shock melibatkan penyelarasan identitas baru seseorang dengan lingkungan yang dulunya akrab dengan orang tersebut, dan biasanya lebih menekan dan mengguncangkan dibandingkan dengan guncangan budaya entry. Setelah tinggal di luar negeri selama beberapa lama, hal ini tak terhindarkan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi guncangan budaya reentry:
1. perubahan identitas penduduk musiman
2. citra-citra nostalgia dan ideal tentang budaya asal mereka
3. kesulitan mereka dalam melakukan reintegrasi diri mereka menuju jalur karier lama dan peran karier karena sudut pandang budaya baru mereka
4. kekecewaan mereka karena tak terpenuhinya harapan akan keeratan ikatan dengan keluarga dan teman, yang kini telah jauh karena perpisahan yang lama
5. keluarga dan teman tak begitu berminat mendengarkan cerita mereka sebagai returnees lalu mereka jadi tak sabar
6. tuntutan budaya asal atas konformitas dan harapan sesuai dengan peran lama mereka
7. tak adanya perubahan dalam budaya asal atau sebaliknya terlalu banyak perubahan

Dengan demikian, reentry culture shock dapat dipahami dari tiga domain: kesiapan returnees untuk melakukan resosialisasi dalam lingkungan asal, derajat perubahan dalam pertemanan dan jaringan keluarga returnees, kondisi penerimaan di tempat asal.

Rekomendasi Sussman:
Pada level individu, kesadaran akan perubahan mesti menjadi komponen utama pelatihan reentry karena individu menghadapi banyak tantangan psikologis dan lingkungan.

Rekomendasi Pusch dan Loewenthall:
1. pengenalan apa yang ditinggalkan dan apa yang didapatkan para sojourner selama penugasan di luar negeri,
2. harga emosional dari transisi
3. nilai kecemasan—mengantisipasi dan bersiap menghadapi kesulitan yang mungkin muncul
4. kebutuhan akan sistem pendukung dan cara mengembangkannya
5. perlunya mengembangkan strategi seseorang saat pulang.

Menurut Adler, ada tiga tipe manajer returnee dalam kaitannya dengan strategi transisi tertentu yang mereka terapkan:
1. resocialized returnees: mereka yang tak menyadari bahwa mereka telah mempelajari kemampuan-kemampuan baru dalam budaya baru, secara psikologis memiliki jarak dengan pengalaman internasional tersebut
2. alienated returnees: mereka yang menyadari kemampuan-kemampuan, dan gagasan-gagasan baru dari pengalaman mereka di luar negeri, namun mengalami kesulitan menerapkannya di organisasi asal.
3. proactive returnees: mereka yang amat menyadari kemampuan-kemampuan, dan gagasan-gagasan baru dari pengalaman mereka di luar negeri dan berusaha mengintegrasikan nilai-nilai dan praktik-praktik baru dengan budaya asal dan mengembangkan pandangan sinergistis dalam fase reentry mereka.

Model Perubahan Identitas Imigran dan Minoritas

Akulturasi adalah proses beranekasegi dan multidimensional yang melibatkan proses perubahan level sistem dan individu.

Para antropologis: akulturasi adalah kontak langsung yang berlangsung terus-menerus antara kelompok-kelompok individu yang memproduksi perubahan berikutnya dalam pola-pola budaya salah satu atau dua kelompok tersebut.

Komunikasi antarbudaya: akulturasi mengacu pada proses perubahan level individu yang terjadi karena kontak langsung yang diperpanjang dengan budaya baru.

Transformasi individu ini dapat terjadi dalam masyarakat yang monokultural atau pluralistis.

Dalam masyarakat monokultural dengan tuntutan akan konformitas yang tinggi, akulturasi bagi inhabitan jangka panjang secara tipikal bersifat unidirectional. Dalam masyarakat pluralistis, akulturasi dapat mengambil banyak bentuk dan arah. Konsep akulturasi melibatkan banyak isu, seperti batas dalam kelompok/ luar kelompok, tekanan konformitas, perilaku dan hubungan kelompok minoritas-mayoritas, dan pemeliharaan warisan etnis serta asimilasi budaya yang lebih besar.

Dari perspektif tipologis minoritas-mayoritas, penonjolan identitas etnis/kultural dapat dipandang sebagai model empat rangkap yang menekankan orientasi individu terhadap isu-isu pemeliharaan identitas etnis dan identitas budaya yang lebih besar.

Menurut Berry, imigran yang cenderung mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan merendahkan siginifikansi nilai-nilai dan norma-norma budaya baru menerapkan opsi yang berorientasi tradisional. Individu yang mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan pada saat bersamaan menampakkan gerakan untuk menjadi bagian dari masyarakat yang lebih besar menerapkan opsi yang berorientasi bikultural atau integratif. Individu yang menganggap rendah signifikansi nilai-nilai dan norma-norma etnis mereka dan cenderung memandang diri mereka sebagai anggota masyarakat yang lebih besar menerapkan opsi asimilasi. Individu yang kehilangan kontak psikologis/etnis dengan kelompok etnis sekaligus masyarakat yang lebih besar dan mengalami perasaan alienasi dan kehilangan identitas mengalami marjinalisasi.

Perspektif pengembangan identitas rasial/ etnis lebih menekankan sifat opresif-adaptif hubungan antarkelompok dalam satu masyarakat pluralistis. Dari perspektif ini, penonjolan identitas rasial/etnis berkenaan dengan pengembangan kesadaran etnis atau rasial sepanjang satu jalur linear progresif dari perubahan identitas.

Secara integratif, perspektif tipologis dan jenjang memunculkan kerangka ayng membantu kita memahami peran penonjolan identitas/rasial dalam masyarakat pluralistis.

Studi penonjolan identitas etnis mengandung unsur-unsur ethnic-specific dan ethnic-general. Untuk memahami peran penonjolan identitas etnis dalam masyarakat pluralistis, pemeliharaan identitas etnis dan pemeliharaan identitas budaya yang lebih besar mesti dipertimbangkan.

Adaptasi Antar-Budaya: Hasil Efektif

Hasil di Level Sistem dan Level Interpersonal


Ketidakperhatian terhadap berbagai isu di tempat kerja dapat menyebabkan:
1. rendahnya moral karena benturan budaya,
2. tingginya ketidakhadiran karena tekanan psikis,
3. tingginya biaya akibat turnover karyawan yang tinggi,
4. banyaknya waktu terbuang karena miskomunikasi antara pegawai yang berbeda-beda,
5. tersia-sianya sejumlah besar energi dan kreativitas personal yang dikeluarkan dalam resistensi aktif terhadap perubahan yang tak terhindarkan.

Keuntungan jangka panjang dari pengelolaan keragaman secara efektif pada level sistem dan organisasi:
1. pemanfaatan maksimal modal manusia pada organisasi,
2. meningkatnya pengetahuan dan saling menghargai di antara berbagai karyawan,
3. dengan begitu, komitmen pun meningkat di antara karyawan yang berbeda-beda pada berbagai level organisasi di semua fungsi,
4. inovasi dan fleksibilitas meningkat karena ”others” terlibat lebih aktif dalam kelompok pemecah masalah,

Hasil Perubahan Identitas Personal

Dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi komunikator yang resourceful dalam satu budaya yang baru, seseorang mesti secara konstan menjalani satu jalur yang sempit seraya menyeimbangkan berbagai tindakan identitas. Ia harus mengabaikan stabilitas demi mendapatkan stabilitas, harus mengalami pembedaan untuk dapat masuk ke dalam kelompok, harus berani mengambil risiko kehilangan kepercayaan untuk meraih kepercayaan. Akhirnya, seorang pendatang baru mesti bersedia untuk menjadi satu anonimitas dalam satu teritori tak dikenal dalam rangka menjadi anggota penuh yang diakui dalam budaya baru.

Rekomendasi

Secara keseluruhan, berdasarkan berbagai temuan riset, ada beberapa rekomendasi untuk mengelola guncangan budaya para pendatang baru secara efektif:
1. Pendatang baru mesti menyadari bahwa guncangan budaya merupakan satu pengalaman tak terhindarkan bagi sebagian besar orang ketika pindah dari satu lingkungan yang dikenal ke yang tak dikenal. Culture shock disebabkan oleh ketakutan dan ancaman identitas dalam lingkungan tak terduga.

2. Pendatang baru mesti memahami bahwa guncangan budaya meningkat karena lingkungan tak dikenal yang dipenuhi isyarat-isyarat tak dikenal. Mengembangkan satu jaringan pertemanan berdasarkan etnis yang mendukung dan masuk ke dalam latar baru secara pelan-pelan membantu mereka memulihkan keadaan ekuilibrium identitas.

3. Para pendatang musiman dan imigran mesti menyadari bahwa bagian tekanan budaya itu diakibatkan rasa mereka tentang disorientasi akut dalam kaitannya dengan norma-norma dan skrip-skrip tak dikenal dalam budaya baru. Dengan begitu, berupaya untuk membangun kontak dengan anggota lain dalam budaya tuan rumah dan belajar berkomunikasi dengan mereka dapat meningkatkan pengetahuan lokal dan mengurangi perasaan rapuh. Pada saat yang bersamaan, semakin besar upaya anggota budaya tuan rumah untuk membantu dan meningkatkan keakraban mereka dengan pendatang baru, semakin mungkin mereka meningkatkan rasa aman dan diterima pada diri pendatang baru.
4. Guncangan budaya sebagian disebabkan oleh perasaan ketidakmampuan. Dengan mencari peran-peran positif anutan dan mentor, pendatang baru dapat menemukan translator andal untuk memuluskan fase awal dan developmental adaptasi mereka.
5. Pendatang baru harus menyadari bahwa guncangan budaya adalah fase afektif transisional stres yang surut dan mengalir dari intensitas tinggi ke rendah. Mereka perlu berpegangan pada rasa humor dan menekankan aspek positif lingkungan ketimbang memikirkan aspek negatifnya.
6. Pendatang baru dapat menyingkirkan ancaman identitas mereka dengan (a) meningkatkan motivasi untuk mempelajari budaya baru, (b) menjaga harapan mereka tetap realistis dan meningkatkan familiarity berkenaan dengan berbagai segi budaya baru, (c) meningkatkan kefasihan linguistik mereka dan mempelajari mengapa, bagaimana, dan dalam situasi apa frasa-frasa dan gestures tertentu cocok, serta memahami nilai-nilai inti budaya berhubungan dengan perilaku tertentu, (d) memperhatikan toleransi mereka terhadap ambiguitas dan atribut personal fleksibel mereka, (e) mengembangkan ikatan yang kuat (persahabatan) dan ikatan lemah (kenalan) untuk mengelola tekanan dan kesepian identitas, (f) menggunakan mass media untuk memahami kompleksitas budaya tuan rumah, (g) bersikap penuh pertimbangan soal perilaku antarpribadi mereka dan menunda evaluasi yang terburu-buru terhadap budaya tuan rumah atau yang baru diterima.
(Ting-Toomey, Stella. Communicating Across Culture. New York: The Guilford Press, 1999)

Identitas dan Komunikasi Antarbudaya

1. Sebuah Pendekatan Dialektikal untuk Memahami Identitas
Terdapat tiga perspektif kontemporer utama pada identitas:
A. Perspektif sosial psikologis
§ Menekankan bahwa identitas tersebut dibentuk sebagian oleh diri dan sebagian lagi dalam hubungannya dengan anggota kelompok. Berdasarkan perspektif ini, diri terdiri dari berbagai banyak identitas dan pengetahuan tentang identitas ini terikat pada budaya. Karena itulah, bagaimana kita memahami diri sangat bergantung pada latar belakang budaya.
§ Perspektif lintas budaya. Budaya Amerika selalu menekankan pada generasi mudanya untuk mengembangkan rasa yang kuat akan identitas, untuk mengetahui siapa diri mereka, menjadi mandiri dan bergantung pada diri sendiri. Hal ini mencerminkan sebuah penekanan pada nilai budaya individualisme. Akan tetapi, hal ini tentu saja tidak terjadi di negara lain. Psikolog lintas budaya Alan Roland (1988) telah mengidentifikasikan tiga aspek universal dari identitas yang ada di dalam semua individu: (1) identitas individu, rasa independen ‘aku’ yang berbeda dengan yang lain; (2) identitas keluarga, hadir dalam budaya kolektif, menekankan pada pentingnya kedekatan dan ketergantungan emosional satu sama lain; (3) identitas spiritual, kenyataan spiritual dalam diri manusia

B. Perspektif Komunikasi
§ Dibangun di atas gagasan-gagasan tentang pembentukan identitas yang telah disinggung sebelumnya, tetapi dalam pengertian yang lebih dinamis. Perspektif ini menekankan bahwa identitas dinegosiasikan, dibentuk, dikuatkan, dan ditantang melalui komunikasi dengan orang lain; mereka muncul ketika pesan-pesan dikomunikasikan (Hecht, Collier, & Ribeau, 1993). Mempresentasikan pemikiran kita bukanlah proses yang sederhana. Apakah seseorang melihat diri kita seperti adanya? Mungkin tidak. Untuk itulah untuk memahami bagaimana gambaran ini saling berhubungan, dibutuhkan konsep avowal dan ascription.
§ avowal: proses di mana individu menggambarkan diri.
ascription: proses di mana orang lain memberikan atribut pada identitas individual.
§ Inti dari perspektif komunikasi adalah pemikiran bahwa identitas diekspresikan secara komunikatif dalam simbol inti, label, dan norma. Simbol inti merupakan kepercayaan mendasar dan konsep utama yang membedakan identitas tertentu. Label adalah sebuah kategori simbol inti. Label merupakan istilah yang digunakan untuk mengacu pada aspek tertentu dari identitas milik kita dan orang lain. Norma adalah beberapa nilai-nilai dari tingkah laku yang berhubungan/berkaitan dengan identitas tertentu.

C. Perspektif Kritis
§ Melihat identitas secara lebih dinamis, sebagai akibat dari konteks yang cukup jauh dari individu.
§ Pembentukan identitas kontekstual: pembentukan identitas dengan melihat konteks sejarah, ekonomi, politik, dan wacana.
§ Resisting ascribed identities: ketika seseorang dihadapkan pada berbagai wacana mengenai identitas, ia itu ditarik ke dalam dorongan sosial yang memunculkan wacana tersebut. Seseorang mungkin akan menolak posisi (identitas) yang mereka berikan dan mencoba mengambil identitas lain.
§ Sifat dinamis identitas: dorongan sosial yang membangkitkan identitas-identitas tersebut tidak pernah stabil dan selalu berubah.

2. Identitas Sosial dan Budaya
§ Identitas gender: ditentukan bukan oleh jenis kelamin sebagai pria dan perempuan secara biologis, tetapi lebih pada peran sebagai pria dan perempuan dalam lingkungan sosial masyarakat.
§ Identitas umur: seseorang dituntut oleh budaya mereka untuk bersikap dan berpenampilan sesuai dengan umurnya.
§ Identitas rasial: identitas ini berbeda dengan identitas etnis. Identitas rasial lebih didasarkan kepada perluasan karakteristik fisik. Identitas ini juga dikonstruksi di dalam konteks sosial. Sifatnya tidak menentu, kompleks dengan berbagai makna sosial.
§ Identitas etnis: sering dilihat sebagai serangkaian pemikiran mengenai anggota kelompok etnis seseorang. Hal ini terdiri dari berbagai dimensi: (1) identifikasi diri, (2) pengetahuan mengenai budaya etnis (tradisi, kebiasaan, nilai-nilai dan tingkah laku, (3) perasaan memiliki pada kelompok etnis tertentu.
§ Identitas religi: identitas ini berkaitan pada keyakinan yang dianut kelompok masyarakat. Sering dikaitkan dengan suatu kelompok etnis tertentu dan sering pula menimbulkan konflik antarbudaya.
§ Identitas kelas: identitas yang dilihat berdasarkan kelas ekonomi dan sosial di dalam masyarakat. Kemampuan ekonomi dapat mengangkat kelas sosial seorang individu di dalam masyarakat. Identitas ini memainkan peranan yang sangat penting dalam membentuk persepsi dan pemahaman kita akan budaya.
§ Identitas nasional: identitas ini dilihat dari kewarganegaraan seseorang.
§ Identitas regional: identitas yang dilihat dari wilayah suatu negara yang ditempati.
§ Identitas pribadi: identitas pribadi seorang individu. Identitas ini sangat penting karena memegang peranan penting berhasil atau tidaknya sebuah interaksi atau komunikasi.

3. Identitas, Stereotipe, dan Prasangka
§ Karakteristik identitas yang telah dibahas sebelumnya sering membentuk dasar stereotipe, prasangka, dan rasialisme. Kita menggunakan stereotipe untuk mengkategorikan dan menggeneralisasikan informasi-informasi yang kita terima. Stereotipe dapat menjadi hal positif ataupun negatif.
§ Prasangka; merupakan sikap negatif pada kelompok budaya yang didasarkan kurangnya pengetahuan ataupun pengalaman mengenai kelompok budaya tersebut. Apabila stereotipe menggambarkan pada kita seperti apa kelompok budaya tersebut, maka prasangka menggambarkan bagaimana perasaan kita seharusnya mengenai kelompok tersebut (Newberg, 1994).
§ Mengapa masyarakat memiliki prasangka? Richard Brislin (1999) mengidentifikasikannya dalam empat fungsi:
a. The utilitarian function: orang memiliki prasangka tertentu karena prasangka itu dapat membawanya pada imbalan tertentu.
b. The ego-defensive function: seseorang memiliki prasangka karena dia tidak ingin mempercayai hal-hal yang tidak menyenangkan mengenai dirinya sendiri.
c. The value-expressive function: orang memiliki prasangka tertentu karena prasangka tersebut memperkokoh aspek-aspek yang amat dihargai dalam kehidupan.
d. The knowledge function: seseorang memiliki prasangka karena itu membuat mereka bisa mengatur dan mengonstruksi dunia mereka dalam cara yang masuk akal untuk mereka sendiri.
§ Diskriminasi merupakan sikap yang dihasilkan dari stereotipe dan prasangka

4. Masalah-Masalah Perkembangan Identitas
§ Perkembangan Identitas Minoritas
Psikolog sosial mengidentifikasikan empat tahap dalam perkembangan identitas minoritas (Ponterotto & Pedersen, 1993).
a. Unexamined identity: tahap ini ditandai oleh kurangnya etnis yang dieksplorasi. Dalam tingkat ini, pemikiran mengenai identitas dapat datang dari orangtua ataupun teman.
b. Comformity: tahap ini ditandai oleh internalisasi nilai dan norma dari kelompok dominan dan keinginan yang kuat untuk berasimilasi ke dalam budaya yang dominan.
c. Resistance and separatism: berbagai macam peristiwa dapat memicu gerakan dari tahap tiga ini, termasuk diskriminasi atau hinaan terhadap seseorang.
d. Integration: menurut model ini, pengeluaran ideal dari proses perkembangan identitas adalah diraihnya sebuah identitas. Individu yang telah mencapai tahap ini memiliki sebuah rasa yang amat kuat terhadap kelompok identitas mereka (baik itu gender, ras, etnis, orientasi seksual, dan lain sebagainya) dan penghargaan pada kelompok budaya lainnya.

§ Perkembangan Identitas Mayoritas
Rita Hardiman (1994) mempresentasikan suatu model perkembangan identitas mayoritas untuk anggota kelompok dominan. Ia menguraikannya dalam lima tahap sebagai berikut:
a. Unexamined Identity: tahap pertama ini hampir sama dengan tahap pertama pada perkembangan identitas minoritas. Hanya, dalam hal ini individu harus waspada pada beberapa perbedaan fisik dan budaya. Tetapi, kewaspadaan tersebut tidak harus sampai pada tahap di mana seorang individu takut pada kelompok rasial lain atau merasa ada superioritas.
b. Acceptance: tahap kedua ini merepresentasikan internasionalisasi, sadar ataupun tidak sadar, dari sebuah ideologi rasial. Intinya adalah bahwa individu tidak waspada bahwa mereka telah diprogram untuk menerima satu pandangan yang telah mengglobal.
c. Resistance: tahap ini mempresentasikan sebuah pergantian paradigma besar.
d. Redefinition: dalam tahap ini, masyarakat mulai kembali fokus atau mengatur energi mereka pada pendefinisian ulang, yaitu menegaskan kembali makna kulit putih di dalam terminologi yang bebas rasialisme.
e. Integration: sebagai tahap akhir dari perkembangan identitas minoritas, individu kelompok mayoritas saat ini telah dapat menyatukan identitas ras mereka ke dalam semua rupa identitas mereka. Mereka tidak hanya menyadari identitas mereka sebagai sebuah ras, tetapi juga menghargai kelompok budaya lain.

§ Karakteristik Identitas Kulit Putih
Ruth Frankenburg (1993) mengatakan bahwa ‘whiteness’ dapat didefinisikan tidak hanya pada terminologi ras atau etnisitas tetapi juga serangkaian dimensi yang saling berhubungan, antara lain:
o Hak Istimewa sebuah ras yang dominan.
o Keyakinan di mana orang-orang kulit putih melihat diri mereka sendiri, kelompok lain, dan masyarakat.
o Serangkaian praktik budaya--terkadang tidak terlihat dan tak bernama.

§ Masyarakat Multirasial dan Multikultural
o Masyarakat multikultural adalah mereka yang besar dan tumbuh di dalam dua budaya atau lebih.
o Masyarakat multirasial adalah mereka yang dilahirkan dari dua ras yang berbeda.

5. Identitas dan Bahasa
§ Label-label yang mengacu pada identitas tertentu merupakan bagian penting dari komunikasi antarbudaya. Label-label ini tidak ada di luar makna relasional mereka. Adalah hubungan itu--bukan hanya interpersonal tetapi juga sosial--yang membantu kita memahami pentingnya sebuah label.

6. Identitas dan Komunikasi
Identitas telah memberikan pengaruh yang amat besar dalam proses komunikasi.
§ Dinamika individu-budaya. Dapat digunakan untuk meneliti masalah yang muncul ketika bertemu dengan seseorang yang identitasnya tidak kita ketahui. Dalam interaksi komunikasi antarbudaya, identitas yang salah kerap jadi lebih buruk dan dapat menciptakan masalah komunikasi. Seringkali kita berasumsi bahwa pengetahuan mengenai identitas orang lain didasarkan pada keanggotaannya pada kelompok budayanya. Namun, hal itu jelas mengesampingkan aspek individual dari seseorang tersebut. Perspektif dialektikal dapat membantu kita mengenali dan menyeimbangkan aspek individual dan budaya dari identitas orang lain.
§ Dialektika statis-dinamis. Setiap harinya kita dihujani informasi dari berbagai belahan dunia mengenai tempat atau orang lain. Informasi yang berlimpah dan kontak antarbudaya telah meningkatkan pentingnya perkembangan sebuah pandangan kompleks mengenai identitas lebih banyak lagi.
§ Dialektika personal-kontekstual. Walaupun beberapa dimensi dari identitas kita adalah hal yang pribadi dan tetap konsisten, kita tidak dapat melewati hambatan kontekstual dari identitas kita.
(Martin, Judith N. dan Thomas K. Nakayama. Intercultural Communication in Contexts. Boston: McGraw-Hill, 2004)

Komunikasi Antarbudaya yang Mindful: Satu Perspektif Negosiasi Identitas

Perspektif yang menjadi panduan dalam buku Communicating Across Culture oleh Stella Ting-Toomey disebut teori negosiasi identitas, yang fokus pada motif keamanan identitas—kerapuhan sebagai dasar yang mempengaruhi pertemuan antarbudaya. Memahami motif keamanan identitas—kerapuhan dalam pertemuan antarbudaya menjadi amat penting karena beberapa sebab: pertama, individu membawa citra diri atau identitas dalam tiap tipe pertemuan komunikatif; kedua, individu mendapatkan identitas mereka melalui interaksi dengan yang lain dalam budaya mereka; ketiga, individu cenderung merasa aman ketika berkomunikasi dengan orang-orang yang mereka anggap mendukung mereka dan memiliki rasa keakraban yang tinggi. Bab ini akan membahas tiga sebab tersebut di atas yang ada di sekitar motif keamanan identitas dan kerapuhan. Ada tiga bagian dalam bab dua buka Ting-Toomey ini: latar belakang teoritis, asumsi-asumsi teoritis perspektif teori negosiasi, dan komunikasi antarbudaya yang mindful dari model negosiasi identitas.

1. Perspektif Negosiasi Identitas
Perspektif negosiasi identitas:
§ menekankan kaitan antara nilai-nilai kultural dan konsepsi diri;
§ menerangkan bagaimana konsepsi diri seseorang mempengaruhi kognisi, emosi, dan interaksi;
§ menjelaskan mengapa dan bagaimana orang membentuk batas-batas antarkelompok;
§ menggambarkan keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda dari para individu dalam hal menginginkan otonomi inklusi--pembedaan dan hubungan—dalam hubungan-hubungan mereka;
§ memetakan faktor-faktor yang berkontribusi pada terjadinya keguncangan identitas.
Perspektif teori identitas adalah satu teori integratif yang berakar pada karya teori identitas sosial (psikologi sosial), interaksionisme simbolis (sosiologi) (lihat artikel symbolic interactionism di sini), negosiasi identitas (baca lebih lanjut soal negosiasi identitas di sini) dan dialektika relasional (komunikasi).

A. Latar Belakang Teoritis
§ Dasar fundamental teori negosiasi identitas: individu dalam semua budaya memiliki keinginan untuk menjadi komunikator yang kompeten dalam berbagai situasi interaktif.
§ Dua sumber identitas yang mempengaruhi interaksi keseharian individu: identitas group-based dan identitas person-based.
§ Kesadaran kita tentang identitas keanggotaan kelompok dan personal kita berasal terutama dari internalisasi sudut pandang orang lain di sekeliling kita (Mead, 1934).
§ Proses inti konsepsi diri reflektif para individu dibentuk melalui komunikasi simbolis dengan orang lain (McCall & Simmons, 1978) (lihat salah satu tulisan kedua orang ini di sini).
§ Dalam mengembangkan teori identitas sosial, Tajfel dan rekan (Tajfel, 1981, 1982;J.C. Turner, 1985, 1987) menyatakan bahwa identitas sosial mengacu pada konseptualisasi diri para individu yang berasal dari keanggotaan dalam kategori atau kelompok yang signifikan secara emosional (Brewer & Miller, 1996). Identitas personal, di sisi lain, mengacu pada konsepsi diri para individu yang “mendefinisikan individu dalam kaitannya dengan individu-individu lain” (Brewer & Miller, 1996, p.24).
§ Yang termasuk identitas sosial: identitas keanggotaan etnis atau budaya, identitas gender, identitas orientasi seksual, identitas kelas sosial, identitas usia, identitas kecacatan, atau identitas profesional. Yang termasuk identitas pribadi: segala atribut unik yang kita asosiasikan dengan diri yang kita individualisasikan dalam perbandingannya dengan milik orang lain.
§ Lebih jauh lagi, teori identitas sosial mengasumsikan bahwa we berhubungan dengan orang lain melalui dua tipe persepsi: persepsi intergroup-based dan persepsi interpersonal-based. Namun, dalam pertemuan antarbudaya yang sebenarnya, dua tipe keterkaitan itu hadir.
§ Teori identitas sosial dan teori interaksi simbolis menyatakan secara jelas bahwa proses mendefinisikan diri pribadi merupakan proses sosial.

B. Domain-Domain Identitas Primer
§ Dalam perspektif negosiasi identitas, istilah identitas berarti konsepsi diri atau citra diri refektif yang kita dapat dari proses sosialisasi budaya, etnis, dan gender. Identitas didapat melalui interaksi dengan orang lain dalam situasi yang khusus. Dengan demikian identitas pada dasarnya mengacu pada pandangan refleksif kita tentang diri kita—dalam level identitas sosial dan personal.
§ Perspektif negosiasi identitas menekankan delapan domain dalam mempengaruhi identitas dalam interaksi keseharian kita, empat di antaranya, domain-domain citra diri, identitas budaya, etnis, gender, dan pribadi, merupakan identitas primer yang memasukkan pengaruh yang penting dan terus berlangsung sepanjang hidup, sedangkan empat yang lain, yakni identitas peran, relasional, facework, interaksi simbolis, bergantung pada situasi, berubah dari satu situasi ke situasi lain. Kedua jenis identitas itu saling mempengaruhi. Selain itu, kedelapan domain identitas itu dipandang sebagai satu konsep diri komposit tiap individu terhadap budaya.

2. Teori Negosiasi Identitas
§ Teori negosiasi identitas menekankan bahwa identitas atau konsepsi diri refleksif dipandang sebagai mekanisme eksplanatori bagi proses komunikasi antarbudaya. Identitas dipandang sebagai citra diri reflektif yang dikonstruksi, dialami, dan dikomunikasikan oleh para individu dalam satu budaya dan dalam satu situasi interaksi tertentu.
§ Konsep negosiasi didefinisikan sebagai proses interaksi transaksional di mana para individu dalam satu situasi antarbudaya mencoba memaksakan, mendefinisikan, mengubah, menantang, dan/atau mendukung citra diri yang diinginkan pada mereka atau orang lain. Negosiasi identitas merupakan aktivitas komunikasi.
§ Beberapa individu bersikap mindless dalam menghadapi negosiasi identitas, sedangkan individu lain bersikap mindful menghadapi dinamika proses ini. Mindfulness ini merupakan satu proses “pemfokusan kognitif” yang dipelajari melalui latihan-latihan keterampilan yang dilakukan berulang-ulang.
§ Ada 10 asumsi teoritis inti berkaitan dengan komunikasi antarbudaya yang mindful ini.

3. Komunikasi Antarbudaya yang Mindful
Mindfulness berarti kesiapan untuk menggeser kerangka referensi, motivasi untuk menggunakan kategori-kategori baru untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya atau etnis, dan kesiapan untuk bereksperimen dengan kesempatan-kesempatan kreatif dari pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Sebaliknya mindlessness adalah ketergantungan yang amat besar pada kerangka referensi yang familiar, kategori dan desain yang rutin dan cara-cara melakukan segala hal yang telah menjadi kebiasaan.
Untuk menjadi komunikator yang mindful, individu mesti mempelajari sistem nilai yang mempengaruhi konsepsi diri orang lain. Ia perlu membuka diri terhadap satu cara baru konstruksi identitas. Ia juga perlu siap untuk memahami satu perilaku atau masalah dari sudut pandang budaya orang lain. Ia juga mesti waspada bahwa banyak perspektif hadir dalam upaya interpretasi satu fenomena dasar.

Kriteria komunikasi yang mindful:
o Kecocokan: ukuran di mana perilaku dianggap cocok dan sesuai dengan yang diharapkan oleh budaya.
o Keefektifan: ukuran di mana komunikator mencapai shared meaning dan hasil yang diinginkan dalam satu situasi tertentu.
Komponen komunikasi yang mindful:
o Pengetahuan: pemahaman kognitif yang dimiliki seseorang dalam rangka berkomunikasi secara tepat dan efektif dalam satu situasi tertentu.
o Motivasi: kesiapan kognitif dan afektif serta keinginan untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif dengan orang lain.
o Keterampilan:kemampuan operasional sebenarnya untuk menampilkan perilaku-perilaku yang dianggap sesuai dan efektif dalam situasi tertentu.

Kompetensi Komunikasi Transkultural (TCC)


TCC mengacu pada satu pendekatan teori-praktik yang integratif dan membuat kita bisa mengaplikasikan secara mindful pengetahuan antarbudaya yang kita pelajari secara sensitif. Secara spesifik, TCC mengacu pada satu proses transformasi yang menghubungkan pengetahuan interkultural dengan praktik yang kompeten.

Kata transkultural menyampaikan gagasan bahwa ada bagian pengetahuan dan kemampuan dalam literatur komunikasi antarbudaya yang dirancang untuk membantu orang berkomunikasi secara pantas dan efektif dalam beragam situasi antarbudaya.

Empat hal yang dibahas di sini adalah kriteria-kriteria TCC, komponen-komponen TCC, diskusi etika antarbudaya, dan beberapa rekomendasi akhir.


Kriteria Kompetensi Komunikasi Transkultural

Dari perspektif negosiasi identitas, kita bisa menekankan bahwa tujuan utama dari tiap situasi antaretnis dan antarbudaya adalah mengelola isi, proses, dan isu-isu relasional dan identitas keanggotaan kelompok secara layak, efektif, dan memuaskan.

Sebagai tambahan dari isu-isu yang berkaitan dengan isi, pandangan ini menekankan betapa pentingnya memahami berbagai tipe dan kebutuhan identitas para individu dari berbagai kebudayaan. Pandangan ini juga mementingkan kemampuan operasional yang dibutuhkan untuk mengelola keragaman dalam berbagai episode antarbudaya.

Ada tiga kriteria TCC yang akan dibahas di sini: Kriteria kelayakan, kefektifan, dan kepuasan. Ketiga kriteria tersebut didapat melalui pertukaran kompeten pesan-pesan verbal dan nonverbal antara orang-orang dari budaya yang berbeda. Pertukaran pesan yang kompeten berarti bahwa para komunikator dari budaya yang berbeda itu dipahami dalam konteks yang tepat dan mencapai efek yang diinginkan.

Kelayakan mengacu pada tingkat di mana perilaku yang dipertukarkan dianggap pantas dan cocok dengan harapan para orang dalam budaya tersebut

Kefektifan mengacu pada tingkat di mana para komunikator mencapai makna yang sama dan hasil goal-related yang diinginkan.

Teori nedosiasi identitas mengasumsikan bahwa manusia dalam semua budaya menginginkan afirmasi positif dari manusia lain dalam hal identitas kelompok dan identitas personal. Para individu cenderung lebih puas dalam interaksi di mana citra-citra identitas yang mereka inginkan dapat diperoleh atau divalidasi. Mereka cenderung akan merasa tidak puas jika citra identitas yang mereka inginkan ditolak atau tidak dikonformasi.

Ketiga kriteria TCC dapat berfungsi sebagai alat ukur evaluasi episode interaksi antarbudaya. Komunikator transkultural yang dinamis, adalah orang yang menciptakan dan mengelola makna-makna secara layak, efektif, dan memuaskan dalam berbagai situasi budaya.


Komponen-Komponen TCC

TCC mengacu pada proses operasionalisasi pengintegrasian pengetahuan, mindfulness, dan kemampuan berkomunikasi dalam mengelola perbedaan-perbedaan keanggotaan kelompok pada level transkultural. Untuk bisa terlibat dalam TCC yang optimal, kita mesti memiliki pengetahuan mendalam, minfulness yang tinggi, dan kemampuan komunikasi yang kompeten dan dapat menerapkannya secara etis dalam berbagai situasi antarbudaya.

Tiga komponen TCC yang dibahas di sini adalah blok pengetahuan, mindfulness, dan kemampuan komunikasi.

Pengetahuan di sini mengacu pada beberapa informasi berikut: asumsi-asumsi pemandu tentang komunikasi antarbudaya, satu model komunikasi antarbudaya yang mindful, perbedaan-perbedaan orientasi nilai budaya, fungsi-fungsi bahasa dan gaya interaksi verbal lintas budaya, perbedaan-perbedaan komunikasi nonverbal antarbudaya, aturan-aturan batas antarkelompok/dalam kelompok dan proses pembentuka stereotipe, identitas dan tema-tema relasional dalam mengelola pengembangan hubungan-hubungan antarbudaya, faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan konflik antarbudaya, dan isu-isu TCC.

Secara keseluruhan, blok pengetahuan di sini fokus pada bagaimana para individualis dan kolektivis menegosiasikan komunikasi, konflik, perbedaan hubungan melalui gaya-gaya komunikasi verbal dan nonverbal yang distingtif.

Mindfulness (Thich, 1991) berarti mengikuti asumsi internal, kognisi, dan emosi seseorang dan secara terus-menerus menyesuaikan diri dengan asumsi, kognisi, dan emosi orang lain. Refleksivitas yang mindful mengharuskan kita mendengarkan asumsi-asumsi habitual budaya dan pribadi kita dalam memandang satu interaksi. Bersikap mindful membuat kita menyadari posisi orang lain dan lebih banyak menyaring pandangan etnosentris kita.

Kemampuan berkomunikasi mengacu pada kemampuan operasional kita untuk berinteraksi secara layak, efektif, dan memuaskan dalam satu situasi. Ada empat kemampuan komunikasi utama yang dapat digunakan dalam situasi antarbudaya yang berbeda-beda: mindful observation, mindful listening, konfirmasi identitas, dan dialog kolaboratif.


Dari Etika Antarbudaya ke Etika Transkultural

Etika merupakan sebuah prinsip tingkah laku yang mengatur sikap individu dan kelompok. Pendekatan etis mewakili sebuah pandangan komunitas tentang yang baik dan buruk pada tingkah laku manusia dan menuju pada suatu norma yang mengatur tindakan. Etika mengatur apa yang boleh dan tidak boleh serta menetapkan standar sikap manusia.
Etika antarbudaya digunakan untuk melingkupi pendekatan dan isu dari absolutisme etis versus relativismne etis. Etika transkultural digunakan untuk melihat lebih dalam pendirian moral, karakter, dan sikap dari komunikator transkultural.

Absolutisme Etis versus Relativisme Etis
Absolutisme etis menekankan prinsip benar atau salah sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan secara universal tanpa mengindahkan perbedaan budaya. Sebaliknya, relativisme etis menekankan prinsip benar atau salah dalam konteks nilai dan tujuan dari sebuah kelompok budaya tertentu. Kedua hal tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing.

Pada pendekatan absolutisme etis, pentingnya konteks budaya sangat diminimalkan. Pendekatan ini percaya bahwa standar evaluatif yang sama dan sudah ditetapkan harus dijalani semua budaya dalam mengevaluasi tingkah laku baik dan buruk.

Pada pendekatan relativisme etis, salah atau benar ditentukan sendiri oleh budaya individu tersebut. Pendekatan ini mencoba untuk memahami bahwa setiap kelompok budaya memiliki aturan sendiri. Tindakan tidak dievaluasi kriteria budaya lain.

Pendekatan lain adalah derived ethical-universalism, yang menekankan pentingnya panduan universal etis yang dapat mengatur, tetapi juga menempatkan evaluasi etis pada konteks yang benar, budaya dan waktu. Namun, pendekatan lain yang lebih realistis, yaitu relativisme kontekstual menekankan pada pentingnya memahami praktik problematis dari sebuah perspektif kontekstual. Pendekatan ini mengaplikasikan etika secara kasus per kasus dan konteks.


Eksklusi Moral versus Inklusi Moral

Moralitas melibatkan pengondisian kognitif dan emosi individu atau kelompok dalam satu masyarakat atau komunitas tertentu. Moralitas mengacu pada konsepsi “kesalahan” dan “kebenaran”, atau “a way of being” yang berkenaan dengan pilihan-pilhan dan dilema-dilema etis.

Ekslusi moral terjadi ketika individu atau kelompok dilihat sebagai suatu hal yang berada di luar batas di mana nilai moral, aturan, pertimbangan keadilan berlaku. Eksklusi moral exclusion dapat terjadi dalam kapasitas yang ringan dan berat. Berat, bisa dalam bentuk kekerasan dari hak asasi manusia dan lain sebagainya.
Moral inklusi, sebaliknya, menerapkan cakupan keadilan pada beberapa komunitas yang cencerned dan self-interested. Karateristik yang menggarisbawahi inklusi moral adalah:
1. Kepercayaan bahwa pertimbangan tentang keadilan berlaku di semua kelompok identitas lain.
2. Kemauan untuk mendistribusikan kembali sumber daya ekonomi dan sosial kepada yang tak beruntung.
3. Kemauan untuk berkorban bagi kesejahteraan orang lain.
4. Pandangan bahwa konflik merupakan suatu kesempatan untuk belajar dan bahwa individu berkemauan untuk mengintergasikan berbagai perspektif.
5. Kepercayaan asli tentang kelompok “kita” dalam menginkorporasi para individu dari segala lapisan—pada level global yang sesungguhnya.


Rekomendasi Akhir

Komunikator transkultural yang etis menghargai kesakralan rasa yang dimilikinya tentang diri dan kesakralan rasa orang lain tentang diri mereka. Sebagai kesimpulan, seorang komunikator transkultural yang etis:
1. Menghormati orang dari berbagai budaya dan kelompok atas dasar kesetaraan.
2. Bersedia terlibat dalam mempelajari selama seumur hidup pengetahuan komunikasi culture-universal dan culture-specific.
3. Bersedia membuat pilihan-pilihan yang mindful sebagai respons terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan situasional dari praktik-praktik budaya yang problematis.
4. Bersedia memikul komitmen sosial untuk bekerja demi perubahan yang mindful guna menciptakan masyarakat yang inklusif secara moral.
5. Bersedia menjunjung martabat manusia lain melalui pemikiran yang penuh rasa hormat, hati yang terbuka, visi yang iklusif melalui sudut pandang etnorelatif dan mempraktikkan kompetensi komunikasi transkultural yang mindful.
(Ting-Toomey, Stella. Communicating Across Culture. New York: The Guilford Press, 1999)

INVENTING THE COSMO GIRL

(Lanjutan "Konsumsi Media dan Persepsi Realitas Sosial: Efek dan Proses yang Melatarbelakangi")

Bagaimana Cosmo Girl dibentuk? Apa yang melatarbelakangi kehadiran majalah ini? Bagaimana Cosmo Girl mempengaruhi pembacanya? Informasi di bawah ini dapat menunjukkan bagaimana konsumsi media dapat membentuk persepsi tentang realitas sosial.



Fiske menyatakan bahwa discourse adalah satu sistem representasi yang berkembang secara sosial dalam rangka melahirkan dan menyebarkan makna-makna tentang satu area topik yang penting. Discourse bersifat ideologis karena makna-maknanya melayani kepentingan bagian masyarakat di mana discourse tersebut berasal dan berfungsi secara ideologis untuk menaturalisasi makna-makna tersebut ke dalam common sense, tapi discourse ini tidak bersifat konspiratif atau dilahirkan oleh seorang penulis atau pembicara saja.

Helen Gurley Brown (lihat informasi lengkapnya di sini) adalah mantan sekretaris yang menjadi pemimpin redaksi Cosmopolitan, yang kemudian melahirkan Cosmo Girl. Brown menekankan satu Impian Amerika ala gadis yang menjanjikan transendensi dari peran kelas dan peran seksual.

Melalui Cosmo Girl, majalah pertama yang berpembaca sasaran perempuan lajang yang bekerja, Brown mengubah banyak hal yang berkaitan dengan pandangan dan kehidupan perempuan lajang.

Kredo Brown mensyaratkan pemahaman bahwa identitas merupakan satu hal yang selalu dapat digarap ulang, ditingkatkan, bahkan diubah secara dramatis. Kecantikan bukanlah satu hal yang diperlukan; begitu juga pendidikan tinggi.

Brown menyarankan berbagai saran bagi para perempuan untuk menampilkan ilusi kecantikan, kepalsuan yang cantik, dan menjadi perempuan yang memiliki daya tarik di hadapan para pria. Saat daya tarik itu sudah mereka miliki, para perempuan itu dapat menggunakannya untuk mengambil manfaat-manfaat dari pria (traktiran makan malam, hadiah-hadiah, bahkan ongkos masuk ke taman hiburan). Bahkan menurut Brown, imbalan seks menjadi satu hal yang wajar.

Bukan hanya kepalsuan cantik lahiriah yang disarankan untuk dimiliki, melainkan peniruan total terhadap para model dan perempuan-perempuan kaya serta apa pun yang mereka miliki yang merupakan penanda kultural kelas perempuan-perempuan kaya tersebut: makanan Eropa, seni, bahasa asing, dan buku-buku yang bagus. Strategi performatif ini berakar pada konsep ”modal budaya” Pierre Bourdieu (cari tahu siapa Bourdieu di sini), yang berarti sumber daya simbolis yang menandai dan memperkuat dominasi kelas dalam demokrasi kapitalis.

Setiap gadis dapat memiliki aura yang menarik dan penuh gaya dengan meniru para model busana dan wanita kaya. Pengeluaran untuk pakaian, kosmetika, dan aksesori dianggap sebagai investasi yang sangat penting. Prinsip dasarnya: tidak ada gadis miskin yang seksi.

Upaya para wanita menggunakan segala aura kepalsuan yang cantik itu bermuara pada kesempatan mendapatkan pria kaya yang berkelas. Seorang pria kelas pekerja yang berpenampilan fisik baik pun tetap tidak pantas dipilih karena yang paling penting adalah mendapatkan pria yang bisa membawanya ”naik kelas”.

Helen Gurley Brown (soal Brown juga bisa dilihat di sini) dengan begitu telah menumbuhkan satu wacana baru yang berkaitan dengan identitas, kelas, dan mekanisme kapitalisme. Identitas bukanlah sesuatu yang alamiah dan beku, melainkan cair dan dapat diubah total, bahkan dirombak. Begitu juga dengan kelas sosial. Kita dapat pindah kelas sosial dengan memperluas aura modal budaya kepada massa perempuan. Saratnya anjuran Brown pada para pembaca sasaran untuk bekerja dengan keras dan bersikap amat konsumtif berkaitan dengan fakta bahwa pada tahun pertama penerbitannya, penjualan iklan Cosmo Girl mencapai angka 43 persen dengan oplah sebanyak 100.000.

Wilayah negosiasi identitas yang ditawarkan Brown menjadi wilayah yang nyaman bagi para produsen barang-barang konsumtif. Kebutuhan akan modal budaya pada para perempuan itu--berdasarkan anjuran Brown--menjadi faktor pemicu utama meningkatnya penjualan consumer goods, barang-barang konsumtif. Motif ekonomi terlihat jelas dalam wacana rekonstruksi identitas yang dilakukan Brown ini.
***

Konsumsi Media dan Persepsi Realitas Sosial: Efek dan Proses yang Melatarbelakangi


Meneliti proses kognitif yang mendasari efek media adalah satu hal yang sangat penting. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita dapat melakukannya dengan dua cara:
1. membahas beberapa prinsip umum yang muncul dari penelitian kognisi sosial dan bagaimana prinsip-prinsip tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan efek media tertentu,
2. menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip umum tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan satu model proses kognitif untuk menjelaskan satu efek media tertentu: efek kultivasi.

Media massa memberikan pengaruh yang sangat besar pada pemirsanya. Itu dianggap sebagai mitos “massive media impact”. Ada dua kritik yang ditujukan pada “mitos” itu:
1. bukti-bukti yang ada hanya memperlihatkan sedikit indikasi soal efek media pada pikiran, perasaan, atau tindakan pemirsa.
2. Kurangnya fokus pada mekanisme eksplanatori. Penelitian efek media lebih menyoroti hubungan antara variabel input dengan variabel output, tapi tidak terlalu mempertimbangkan proses-proses kognitif yang mungkin memediasi hubungan tersebut.

Apakah media hanya memberikan sedikit atau banyak pengaruh, ini belum diketahui dengan pasti. Karena itu, pengembangan model proses kognitif efek media berpotensi untuk mengungkap hubungan-hubungan baru sekaligus memahami hubungan-hubungan yang lama.

Kognisi Sosial dan Efek Media
Kognisi sosial dapat diigambarkan sebagai orientasi pada proses-proses yang terjadi dalam situasi-situasi sosial. Secara lebih spesifik, kognisi sosial berupaya untuk membuka ”black box” yang beroperasi antara stimulus dan response dan dengan begitu fokus pada proses kognitif yang memediasi hubungan antara informasi sosial dan penilaian.
Berkaitan dengan tujuan dalam bab ini, ada dua prinsip penting yang berkaitan yang mendasari penelitian kognisi sosial. Yang pertama adalah prinsip heuristic/sufficiency, yang berkaitan dengan informasi apa yang diingat ketika seseorang akan mengonstruksi satu penilaian. Menurut prinsip ini, saat akan mengonstruksi satu penilaian, seseorang tidak akan mencari dalam memorinya semua informasi yang relevan dengan penilaian yang akan dibuatnya, melainkan hanya mengingat sekumpulan kecil informasi yang tersedia. Keriteria dalam proses penarikan kembali informasi tersebut adalah kecukupan. Artinya yang ditarik kembali hanyalah informasi yang cukup untuk mengonstruk penilaian. Penentu kecukupan di sini adalah berkaitan dengan konsep-konsep seperti motivasi dan kemampuan memproses informasi.
Prinsip kedua adalah prinsip aksesibilitas, yang berkaitan dengan peran aksesibilitas informasi dalam konstruksi penilaian. Dalam bentuknya yang paling sederhana, prinsip ini menyatakan bahwa informasi yang paling cepat masuk ke pikiran adalah informasi yang terdiri atas sekumpulan kecil informasi yang tersedia dan pada gilirannya merupakan informasi yang paling mungkin digunakan untuk mengonstruksi penilaian.
Implikasi dari dua prinsip tersebut di atas berkisar antara penentu aksesibilitas dan konsekuensi aksesibilitas.

Penentu Aksesibilitas
Ada tiga penentu aksesibilitas: frekuensi aktivasi konstruk, kebaruan aktivasi konstruk, kegamblangan suatu konstruk, dan hubungan-hubungan dengan konstruk-konstruk yang dapat diakses.
Tampaknya masuk akal jika kita berpikir bahwa konsumsi media meningkatkan aksesibilitas konstruk-konstruk tertentu. Konsumsi media meningkatkan aksesibilitas, yang mempengaruhi informasi yang menjadi bagian dari sekumpulan kecil informasi yang tersedia.

Konsekuensi Aksesibilitas
Konsekuensi aksesibilitas berkaitan langsung dengan prinsip 2: informasi yang paling mungkin diakses adalah informasi yang paling mungkin digunakan untuk mengonstruksi penilaian. Lebih jauh lagi, bagaimana informasi yang paling mudah diakses digunakan merupakan satu fungsi tipe penilaian yang dibuat.
Ada tiga penilaian dibahas di sini: penilaian tentang orang, penilaian tentang perilaku dan keyakinan, penilaian tentang set-size dan kemungkinan.

Efek Media dan Konsekuensi Aksesibilitas
Ketiga penilaian tersebut dipilih dalam pembahasan karena berkaitan dengan tipe-tipe penilaian yang digunakan dalam studi-studi efek media. Efek-efek berita pada persepsi isu-isu, efek menonton televisi pada persepsi sosial, dan efek penggambaran media pada kekerasan menunjukkan bahwa aksesibilitas berperan sebagai mediator kognitif efek media. Namun, bukti-bukti yang ditampilkan bersifat tidak langsung karena penelitian-penelitian tersebut tidak difokuskan pada prosesnya, melainkan hanya menawarkan penjelasan proses berkaitan dengan hasil yang dicapai.

Model Pemrosesan Heuristik Efek Kultivasi
Efek kultivasi didefinisikan sebagai satu hubungan positif antara frekuensi menonton televisi dengan persepsi sosial yang kongruen dengan dunia sebagaimana digambarkan di televisi—menonton televisi dianggap sebagai faktor kausal.

Proposisi Umum Model
Dua proposisi sederhana dan umum yang didasarkan pada prinsip heuristik/kecukupan dan aksesibilitas membentuk dasar dari model proses kognitif ini. Proposisi umum pertama adalah bahwa menonton televisi meningkatkan aksesibilitas konstruk. Proposisi kedua adalah bahwa persepsi sosial yang berperan sebagai indikator efek kultivasi dibangun melalui pemrosesan heuristik.

Proposisi-Proposisi yang Dapat Diuji
1. Menonton televisi mempengaruhi aksesibilitas
2. Aksesibilitas memediasi Efek Kultivasi
3. Percontohan di televisi tidak diabaikan
4. Motivasi untuk memproses informasi mengurangi kekuatan efek kultivasi
5. Kemampuan untuk memproses informasi mengurangi kekuatan efek kultivasi

Model proses kognitif ini selanjutnya dapat mempertemukan temuan-temuan di masa lalu yang sebelumnya terasa bertentangan.

Wednesday, January 3, 2007

Kasus Ahmadiyah Sebagai Masalah Identitas

Identitas religius dapat menjadi satu dimensi penting dari identitas banyak orang, juga menjadi salah satu lahan utama pemicu konflik. Perbedaan agama kerap menjadi akar konflik, seperti yang terjadi di Poso, Ambon, Timur Tengah, Irlandia Utara, India, Pakistan, hingga Bosnia-Herzegovina. Agama pun dapat membuat segelintir orang Arab-Amerika hidup di bawah kecurigaan, bahkan penghambatan, yang dilakukan masyarakat di sekelilingnya sejalan dengan upaya pemerintah AS untuk menekan terorisme. Namun, belakangan ini ada konflik yang muncul di Indonesia berkaitan dengan identitas religius yang justru berada dalam satu agama, yaitu Islam. Kasus tersebut adalah kasus Ahmadiyah. Di sini kita akan melihat bagaimana masalah identitas religius berkembang di antara kelompok Islam arus utama dengan Ahmadiyah.

Dalam kasus Ahmadiyah, yang terjadi memang bukan konflik antaragama seperti yang terjadi di Poso atau Ambon, tapi tetap merupakan kasus konflik antar-identitas religius karena Ahmadiyah dianggap memiliki identitas religius yang berbeda dengan identitas religius Muslim arus utama di Indonesia. Perbedaan itu didasarkan pada adanya pandangan yang cukup fundamental dalam keyakinan Ahmadiyah yang dianggap sangat berbeda dibandingkan Islam arus utama. Menurut sudut pandang umumnya umat Islam, ajaran Ahmadiyah (Qadian) dianggap melenceng dari ajaran Islam sebenarnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, hal yang bertentangan dengan pandangan umum kaum muslim, yang mempercayai Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir.

Kepercayaan kaum Muslim arus utama di Indonesia tersebut dapat kita lihat sebagai satu aturan tatanan sosial yang telah mengalami proses reproduksi sosial yang berulang-ulang sehingga telah mewujud menjadi satu pemahaman dan konsensus sosial tentang Islam dan orang Islam, sekaligus harapan kolektif tentang bagaimana orang Islam harus berpikir dan bertindak. Perbedaan pada Ahmadiyah dengan demikian menjadi satu fenomena yang bertentangan dengan konsensus sosial yang ada dan mengancam koherensi sosial—sehingga MUI menyatakannya sebagai sesuatu yang meresahkan masyarakat.

Karena fakta tersebut, penganut Islam arus utama meminta Ahmadiyah tidak menyatakan diri sebagai Islam.* Namun Ahmadiyah tetap merasa bahwa Islam merupakan identitas religius mereka. Ada negosiasi yang terjadi di sini. Yang dilakukan Ahmadiyah dapat dilihat sebagai upaya menegosiasikan satu nilai baru dalam satu kelompok sosial yang telah memiliki serangkaian nilai sosial yang baku. Sejauh ini, upaya Ahmadiyah tersebut belum berhasil banyak. Fatwa MUI, komentar Presiden Indonesia, hingga aksi kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah di beberapa daerah dapat kita lihat sebagai wujud belum berhasilnya negosiasi identitas yang dilakukan Ahmadiyah.

Perasaan bahwa ada ketidaksamaan identitas itu selanjutnya membuat umat Islam arus utama merasa terganggu jika Ahmadiyah tetap menyatakan diri sebagai Islam. Jika umat Islam secara keseluruhan merupakan satu kelompok budaya, maka Ahmadiyah dianggap tidak memiliki shared and learned patterns of belief and perception yang sama dengan kelompok Islam arus utama. Artinya umat Islam arus utama menolak identitas religius kelompok Ahmadiyah.

Penolakan keras kaum Muslim arus utama di Indonesia terhadap identitas keislaman Ahmadiyah jika kita lihat dari sudut pandang Anthony Giddens lebih merupakan satu ciri masyarakat tradisional. Dalam masyarakat jenis ini, tradisi dan kebiasaan telah tersedia, meskipun tradisi masih bisa dipikirkan ulang atau ditantang. Artinya adalah bahwa setiap anggota dalam kelompok sosial Islam tidak memiliki wilayah yang terlalu luas untuk memikirkan ulang beberapa konsensus dan ketetapan sosial yang telah ada. Yang menantang konsensus tersebut tentu akan berhadapan dengan konsekuensi berupa eksklusi atau bahkan dilepasnya identitas kelompok dari diri mereka. Kita tentu tahu konsekuensi logis apa yang mesti diterima oleh orang yang hamil di luar nikah atau menikah dengan orang yang berbeda agama, misalnya, pada masyarakat tradisional.

Jika kita mengacu pada pandangan-pandangan Giddens tentang modernitas dan masyarakat pascatradisional, yang dilakukan kelompok Ahmadiyah adalah sesuatu yang wajar. Jika ada anggapan bahwa kita berada dalam satu tahap pascatradisional, tindakan Ahmadiyah--seperti tindakan dan pemikiran Jaringan Islam Liberal juga, misalnya--terlihat sebagai satu tindakan yang benar-benar lepas dari tradisi. Ada upaya refleksif yang dilakukan oleh kelompok Ahmadiyah berkaitan dengan identitas religius mereka. Ada usaha untuk melihat dengan cara berbeda “diri mereka” dan cara-cara hidup yang mesti mereka jalani. Dari sudut pandang ini, kelompok Ahmadiyah tidak berbeda dengan Jaringan Islam Liberal dan Darul Arqom, misalnya, atau bahkan mungkin Negara Islam Indonesia. Segala dinamika yang berkaitan dengan diri kita sebagai kelompok dapat dianggap sebagai satu hal yang alamiah terjadi.

Bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang provisional, dapat terbukti salah di masa depan, juga merupakan satu karakteristik lain yang berkembang dalam masyarakat pascatradisional. Jika kita merupakan masyarakat pascatradisional seperti yang dikatakan Giddens, persoalan siapa nabi terakhir dapat dilihat sebagai satu hal yang provisional, dapat terbukti salah di masa depan. Dengan begitu, karakteristik keyakinan Ahmadiyah tersebut dapat juga dilihat sebagai satu pengetahuan baru dalam kelompok sosial Islam Indonesia, yang mungkin dapat terbukti salah di masa depan. Hal tersebut tidak perlu disikapi secara keras oleh kelompok Islam mayoritas di Indonesia, hanya perlu dipandang sebagai satu upaya refleksif salah satu anggota kelompok Islam untuk menata ulang identitas dirinya dan umat Islam secara umum.
Dalam masyarakat pascatradisional, hal yang dilakukan kelompok Ahmadiyah tentu dapat muncul dalam berbagai wilayah kehidupan dan membawa masyarakat menuju satu perkembangan. Nilai-nilai atau cara pandang diri yang baru yang mereka tawarkan tentu dapat diterima atau ditolak menjadi konsensus sosial oleh kelompok yang lebih besar di mana mereka menjadi anggotanya. Penerimaan dan penolakan ini dapat mewujud dalam berbagai bentuk, namun konflik yang mengandung kekerasan jelas bukan satu bentuk yang diharapkan siapa pun.

Dengan demikian, konflik yang terjadi antara kelompok Islam arus utama dengan kelompok Ahmadiyah sebenarnya muncul akibat reaksi keras umat Islam arus utama terhadap ancaman terhadap konsensus dan koherensi sosial yang datang dari Ahmadiyah. Selain itu, kenyataan bahwa umat Islam mayoritas meminta Ahmadiyah tidak mengaku diri sebagai Islam jelas merupakan konsekuensi logis dari upaya penantangan yang dilakukan Ahmadiyah terhadap konsensus sosial yang telah ada. Namun, dalam gambar yang lebih besar, kita dapat menyatakan bahwa yang dilakukan Ahmadiyah adalah upaya yang biasa dilakukan dalam masyarakat pascatradisional, sedangkan reaksi yang muncul dari kalangan Islam arus utama mencerminkan sikap masyarakat tradisional. Di sinilah pangkal segala konflik muncul.

***
* Menteri Agama (Menag) Maftuh Basyuni meminta agar Ahmadiyah menjadi agama tersendiri di luar Islam. (http://www.waspada.co.id).

Kasus Ahmadiyah Sebagai Kasus Komunikasi Antar-Budaya

1. Kasus Komunikasi Antar-Budaya

1.1 Kasus Ahmadiyah

Ledakan Petasan di Mesjid An-Nur Milik Ahmadiyah Resahkan Warga
Rabu, 25 Oktober 2006 19:09:00

Cirebon-RoL--Ledakan petasan ukuran besar di depan Mesjid An-nur milik jemaah Ahmadyah, Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Rabu siang sekitar pukul 12.00 WIB memicu ketegangan antara jemaah Islam Ahmadyah dengan warga desa sekitarnya yang mayoritas menentang ajaran Ahmadyah tersebut.
Sebagian jemaah Ahmadyah yang bersiap Sholat Dhuhur berjamaah dan sebagian lain yang tengah melakukan olah raga segera bereaksi mengejar para pelaku yang menggunakan sepeda motor, namun rupanya puluhan teman-teman pelaku sudah siap di ujung jalan untuk menghadang para pengejar sehingga terjadi saling lempar batu.
Aksi saling serang makin ramai setelah terdengar isu jemaah Ahmadyah menyerang warga lain sehingga dalam gelombang yang lebih besar ratusan warga yang non Ahmadyah melakukan penyerangan yang mengakibatkan Mushola At-taqwa, milik jemaah Ahmadyah rusak, demikian juga rumah milik Madsum, yang letaknya di sebelah Mushola Al Hidayah milik jemaah Ahmadyah.
Beberapa warga Ahmadyah melaporkan kasus penyerangan tersebut kepada pihak kepolisian setempta, sehingga beberapa menit kemudian belasan petugas segera membubarkan kerumunan massa dan tidak berapa lama kemudian tiba satu kompi pasukan Dalmas Polres Kuningan yang berjaga-jaga untuk melindungi warga Ahmadyah yang jumlahnya kalah banyak dibanding tiga desa lain yang mengelilinginya.
H Uba Subalantara, Amin Jemaah Ahmadyah Manis Lor kepada ANTARA mengakui, pihaknya berulang kali diprovokasi untuk menyerang, termasuk pada Selasa (24/10) malam dengan lemparan petasan namun petasan tersebut tidak meledak karena api sumbunya mati saat jatuh ke tanah.
"Kami selalu diprovokasi tetapi tidak terpancing, karena kami tidak ingin ada bentrokan, kami hanya ingin damai dalam menjalankan ajaran masing-masing," katanya yang saat ledakan terjadi sedang menjalankan sholat sunah sebelum memimpin Sholat Dhuhur berjamaah.
Sampai Rabu sore puluhan petugas Dalmas masih berjaga-jaga, apalagi ada informasi berantai melalui pesan SMS bahwa jemaah Ahmadyah telah menyerang sebuah Mushola milik umat Islam non Ahmadyah sehingga umat Islam diminta bersiap untuk menyerang balik selepas Sholat Isa.
Namun, Uba menegaskan, bahwa pihaknya tidak pernah menyerang warga lain apalagi merusak Mushola milik jemaah lain, tetapi yang terjadi tadi siang hanya upaya mengamankan provokator supaya bisa diproses secara hukum dan tidak lagi membuat keresahan.
Sementara Nasarudin, Ketua Gerakan Anti Ahmadyah Kabupaten Kuningan, mengatakan umat Islam di Jalaksana mulai resah karena saat ini seluruh Mushola dan Mesjid milik ajaran Ahmadyah yang dulu disegel Pemkab Kuningan, ternyata sejak 6 Juni 2006 lalu semua sarana ibadah itu kembali digunakan untuk kegiatan Ahmadyah.
Nasirudin yang juga Ketua DKM Masjid Al Huda Desa Manis Lor, Masjid non Ahmadyah meminta agar Pemkab Kuningan segera menindak tegas pengurus ajaran Ahmadiyah di Manis Lor karena mereka terbukti melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangi Bupati Kuningan H Aang Hamid Suganda, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dan Kepala Kantor Depag (Kakandepag) Kuningan tahun 2004.
"Sejak tanggal 6 Juni 2006 mereka mulai menggunakan mushola dan mesjid yang sudah disegel, mereka terbukti melanggar SKB itu, dan kami minta Pemda tegas terhadap SKB yang sudah dibuat itu," katanya.
Ia mengakui pihak Ahmadiyah, menyatakan keberatan dan dirugikan oleh lahirnya SKB No.451.7/Kep.58-Pen-um/2004, Keep 857/0.2.22/Dsp 5/12/2004, Kd.10.08/6/St.03/147/2004 itu sehingga mengajukan gugatan melalui PTUN Bandung, tetapi gugatan itu ditolak majelis hakim PTUN Bandung.

"PTUN Bandung menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan sengketa itu," katanya.
Sebelumnya tanggal 28 Juli 2006, ratusan warga Jalaksana melakukan pemancangan papan besar tentang bunyi SKB tersebut di samping Mesjid Al Huda atau di muka jalan masuk menuju pemukiman Ahmadyah dengan tujuan agar Pemkab bertindak tegas mengamankan SKB itu.
"Kami tidak ingin bentrok, tetapi kami minta Pemkab tegas atas aturan yang sudah dibuat tentang pelarangan ajaran Ahmadyah itu," katanya.
Tahun lalu, tepatnya tanggal 29 Juli 2005, sekitar 300 aparat Polres Kuningan dan Satpol Pamong Praja Pemkab Kuningan, melakukan penyegelan delapan mushola dan Mesjid Annur, milik jemaah Ahmadyah tersebut. antara/pur
(Diambil dari: Republika Online)

1.2 Kasus Ahmadiyah Merupakan Satu Fenomena Komunikasi Antar-Budaya

Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama dalam Intercultural Communication in Context menyatakan bahwa identitas religius dapat menjadi satu dimensi penting dari identitas banyak orang, juga menjadi lahan penting konflik antarbudaya. Identitas religius pun kerap tumpang tindih dengan identitas rasial atau etnis. Keadaan itu membuat kita makin sulit untuk melihat identitas religius sebagai bagian dari agama tertentu saja.
Perbedaan agama kerap menjadi akar konflik, misalnya di Timur Tengah, Irlandia Utara, India, Pakistan, hingga Bosnia-Herzegovina. Kini pun, misalnya, hal serupa terjadi di mana segelintir orang Arab-Amerika hidup di bawah kecurigaan, bahkan penghambatan, masyarakat di sekelilingnya sejalan dengan upaya pemerintah AS untuk menekan terorisme.
Dalam kasus Ahmadiyah, yang terjadi memang bukan konflik antaragama seperti yang terjadi di Poso atau Ambon, tapi tetap merupakan kasus konflik antar-identitas religius karena Ahmadiyah memiliki identitas religius yang berbeda dengan identitas religius Muslim arus utama di Indonesia. Perbedaan itu didasarkan pada adanya pandangan yang cukup fundamental dalam keyakinan Ahmadiyah yang dianggap sangat berbeda dibandingkan Islam arus utama. Menurut sudut pandang umumnya umat Islam, ajaran Ahmadiyah (Qadian) dianggap melenceng dari ajaran Islam sebenarnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi yaitu Isa Al Masih dan Imam Mahdi, hal yang bertentangan dengan pandangan umumnya kaum muslim yang mempercayai Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, walaupun masih menunggu kedatangan Isa as dan Imam Mahdi (http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah).[*]
Dalam satu negara di mana kebebasan beragama dijamin, konflik tetap muncul ketika keyakinan religius sekelompok orang membuat tidak nyaman orang-orang yang tidak memiliki keyakinan yang sama. Perbedaan fundamental yang menyangkut soal posisi Muhammad sebagai nabi terakhir itulah yang membuat umat Islam arus utama merasa bahwa identitas religius mereka berbeda dengan Ahmadiyah, bahkan mereka meminta Ahmadiyah tidak menyatakan diri sebagai Islam.* Perasaan bahwa ada ketidaksamaan identitas itu selanjutnya merasa terganggu jika Ahmadiyah tetap menyatakan diri sebagai Islam. Jika umat Islam secara keseluruhan merupakan satu kelompok budaya, maka Ahmadiyah dianggap tidak memiliki shared and learned patterns of belief and perception* yang sama dengan kelompok Islam arus utama. Jadi jelas masalah utama dalam kasus Ahmadiyah ini adalah identitas religius.
Ada hubungan yang erat antara identitas, stereotipe, dan prasangka. Untuk memahami begitu banyaknya informasi yang diterima, kita biasanya melakukan kategorisasi dan generalisasi, kadang mengandalkan stereotipe—satu kepercayaan yang dipercaya secara luas tentang satu kelompok tertentu. Stereotipe ini membantu kita untuk mengetahui apa yang kita harapkan dari orang lain, bisa positif, bisa pula negatif. Meski begitu, stereotipe positif pun bisa berdampak negatif karena memunculkan harapan-harapan yang tidak realistis dari individu.
Dalam kasus Ahmadiyah ini, stereotipe kelompok agama yang menyimpang melekat erat pada diri Ahmadiyah dan pada pikiran sebagian besar anggota umat Islam lain. Karena ada pengalaman di masa lalu bahwa kelompok Islam yang menyimpang kerap melahirkan masalah, seperti Negara Islam Indonesia misalnya, maka ekspektasi yang muncul dalam kepala umat Islam arus utama pun tentang Ahmadiyah didasarkan pada pengalaman tersebut *.
Stereotipe menjadi sangat destruktif ketika sifatnya negatif dan sangat diyakini. Penelitian membuktikan bahwa jika sudah dipercayai, stereotipe akan sangat sulit dihilangkan. Bahkan orang cenderung mengingat informasi yang mendukung stereotipe tersebut, tapi melupakan informasi yang menentangnya. Begitu juga dengan kasus Ahmadiyah. Imbauan dan pembelaan dari tokoh-toko Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Gus Dur * tetap tidak dapat memupus stereotipe yang ada dalam benak umat Islam main stream tentang Ahmadiyah. Stempel ajaran sesat yang mesti dibasmi tetap melekat.
Kita mendapatkan stereotipe melalui berbagai cara, termasuk dari media: berita, film, dsb. Kita juga dapat mengetahui stereotipe dari keluarga atau teman. Selain itu, pengalaman negatif pun dapat memunculkan stereotipe. Saat mengalami interaksi yang tidak menyenangkan dengan orang lain, kita akan menyimpulkan bahwa keadaan tak menyenangkan itu berasal dari seluruh kelompok tersebut, apa pun karakteristik yang kita perhatikan dari kelompok itu.
Selanjutnya ada prasangka atau prejudice, yaitu sikap negatif terhadap satu kelompok budaya tertentu berdasarkan sedikit pengalaman atau bahkan tanpa pengalaman sama sekali. Newberg menyatakan bahwa jika stereotipe menyatakan pada kita seperti apa sebuah kelompok, prasangka menyatakan bagaimana perasaan yang mungkin kita miliki terhadap kelompok tersebut. Menurut Hecht, prasangka dapat muncul dari kebutuhan pribadi untuk memiliki perasaan positif tentang kelompok kita sendiri dan perasaan negatif tentang kelompok lain, atau dapat muncul dari ancaman, baik yang nyata maupun yang bersifat dugaan. Dalam kasus Ahmadiyah, kebutuhan umat Islam arus utama akan perasaan bahwa agama yang mereka anut tidak ternodai dapat dianggap sebagai pemicu sikap anti-Ahmadiyah, yang merupakan prasangka terhadap kelompok tersebut. Umat Islam mayoritas, termasuk Majelis Ulama Indonesia dan Menteri Agama RI, merasa bahwa Ahmadiyah merupakan ancaman bagi ajaran Islam dan umat Islam secara umum. *
Walter Stephan dan Cookie Stephan menyatakan bahwa ketegangan antara kelompok-kelompok budaya, dibarengi ketidaksetaraan status dan dugaan ancaman, dapat memunculkan prasangka. Mengapa orang berprasangka? Richard Brislin menyatakan bahwa saat stereotipe muncul dari fungsi kognitif normal, prasangka menjalani fungsi-fungsi yang dapat kita pahami. Fungsi-fungsi ini tidak bisa dijadikan sebagai pembenaran prasangka memang, namun hal itu membantu kita memahami bagaimana prasangka bisa begitu tersebar.
Ada empat fungsi yang dimaksud di atas. Yang pertama adalah fungsi utilitarian. Orang punya prasangka karena prasangka tersebut bisa mendatangkan imbalan tertentu. Penerimaan kelompok dapat menjadi salah satu bentuk imbalan yang dimaksud. Yang kedua adalah fungsi ego-defensive. Orang memiliki prasangka karena mereka tidak mau meyakini ada hal-hal yang tidak menyenangkan pada diri mereka. Fungsi ketiga adalah fungsi value-expressive. Orang berprasangka karena prasangka tersebut memperkuat aspek-aspek kehidupan yang mereka junjung tinggi. Yang terakhir ialah fungsi pengetahuan. Orang memiliki prasangka karena sikap itu memungkinkan mereka untuk menyusun dunia mereka menjadi satu bentuk yang dapat mereka pahami—sama seperti stereotipe membantu kita menyusun dunia kita.
Berkenaan dengan Ahmadiyah, dapat dilihat bagaimana keempat fungsi tersebut mendasari prasangka yang muncul; dari umat Islam mayoritas terhadap Ahmadiyah. Banyak orang Islam ikut mengutuk Ahmadiyah walaupun tidak tahu apa kesalahan kelompok itu karena akan ada reward dari kelompoknya bahwa ia memang sama dengan anggota lain dalam kelompoknya. Fungsi ego-defensive mungkin tidak tampak dari kasus ini secara makro, namun dapat dilihat dari fragmen-fragmen pergesekan antara umat Islam mayoritas dengan Ahmadiyah, misalnya yang terjadi di Cianjur, NTB, atau Cirebon. Dalam tiap aksi penyerangan, kelompok Islam mayoritas kerap meneriakkan takbir. Fenomena itu dapat dilihat sebagai salah satu wujud fungsi ego-defensive sekaligus value-expressive (bersama dengan keinginan untuk menjaga kemurnian agama Islam). Selanjutnya, konflik dengan Ahmadiyah dapat dilihat sebagai upaya umat Islam mayoritas untuk membuat peta dalam kepala mereka tentang posisi Islam, yaitu berada di antara ancaman “kelompok sesat” dan agama lain, seperti Kristen*.
Lalu, perilaku apa yang muncul sebagai konsekuensi stereotipe dan prasangka? Diskriminasi. Diskriminasi dapat muncul berdasarkan berbagai jenis identitas: ras, etnis, agama, dll. Bentuk diskriminasi bervariasi, mulai dari perilaku nonverbal yang halus--seperti jarangnya ada kontak mata atau peminggiran dari percakapan--, penghinaan verbal dan penyisihan dari pekerjaan dan kesempatan-kesempatan ekonomis, hingga kekerasan fisik dan penyisihan yang dilakukan secara sistematis. Maluso menyatakan bahwa diskriminasi dapat dilakukan secara interpersonal, kolektif, atau institusional. Saat ini, diskriminasi kolektif dan institusional secara konsisten kerap terjadi. Para individu secara sistematis dipinggirkan dari partisipasi setara dalam masyarakat atau akses yang sama untuk mendapatkan hak-hak formal dan informal.
Karena adanya semua stereotipe dan prasangka tentang Ahmadiyah, berbagai jenis diskriminasi pun muncul, baik yang interpersonal, kolektif, maupun institusional. Itu bisa dilihat dari berbagai penyerangan fisik dan kekerasan yang terjadi di berbagai daerah, seperti Cianjur, NTB, dan Cirebon, misalnya, hingga pernyataan Menteri Agama RI tentang Ahmadiyah, yang menyatakan bahwa kelompok itu tak boleh mengaku sebagai Islam* , hingga fatwa yang dikeluarkan MUI* dan pernyataan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono *.
Dari berbagai uraian di atas, terlihat jelas bahwa kasus Ahmadiyah ini merupakan fenomena komunikasi antarbudaya. Unsur identitas religius menjadi dasar munculnya konflik. Stereotipe dan prasangka muncul dalam pikiran umat Islam main stream terhadap Ahmadiyah, yang selanjutnya memunculkan diskriminasi terhadap kelompok ini. Bahkan diskriminasi yang muncul telah mencapai bentuk diskriminasi institusional.


2. Pilar Komunikasi Antarbudaya
2. 1 Empat Pilar Komunikasi Antarbudaya

Kebudayaan, komunikasi, konteks, dan kekuasaan adalah empat komponen yang saling berkaitan atau building blocks dalam upaya memahami komunikasi antarbudaya. Kebudayaan dan komunikasi adalah dua hal inti, sedangkan konteks dan kekuasaan membentuk latar bagi kita untuk dapat lebih memahami komunikasi antarbudaya.
Kebudayaan sering dianggap sebagai konsep inti dalam komunikasi antarbudaya. Satu karakteristik kebudayaan adalah bahwa kebudayaan berfungsi sebagian besar pada tataran bawah sadar.
Ada begitu banyak definisi kebudayaan—mulai dari pola persepsi yang mempengaruhi komunikasi hingga ajang persaingan dan konflik. Karena itu, sangat penting bagi kita untuk berefleksi pada sentralitas kebudayaan dalam interaksi kita. Kebudayaan bukan hanya sekadar satu aspek dari komunikasi antarbudaya. Pendapat kita tentang kebudayaan membingkai gagasan dan persepsi kita.
Beberapa definisi antropologis menyatakan budaya sebagai sekelompok pola pemikiran dan kepercayaan. Definisi lain menyatakan bahwa budaya adalah sekelompok perilaku, dsb. Sementara itu, definisi psikologis biasanya menyatakan kebudayaan sebagai pemrograman pikiran dan agregat interaktif dari karakteristik bersama yang mempengaruhi respons sekelompok manusia pada lingkungannya.
Selanjutnya, dengan munculnya cultural studies, muncul pula pandangan baru terhadap kebudayaan: kebudayaan dianggap sebagai satu contested zone. Artinya adalah bahwa kebudayaan dianggap sebagai sesuatu yang cair, tidak baku dan statis. Di dalam kebudayaan ada negosiasi dan kompetisi yang berkaitan dengan isu-isu gender, kelas, dan sejarah.
Komunikasi sebagai komponen kedua yang mesti dimengerti untuk memahami komunikasi antarbudaya juga merupakan satu hal yang sama kompleksnya dengan kebudayaan. Karakteristik utama dari komunikasi adalah makna. Kita memahami bahwa komunikasi terjadi saat seseorang mengatribusikan makna pada tuturan atau tindakan orang lain. Komunikasi dapat dipahami sebagai satu proses simbolis di mana realitas diproduksi, dipertahankan, diperbaiki, dan ditransformasikan. Definisi sederhana ini mengandung beberapa gagasan.
Gagasan pertama adalah bahwa komunikasi bersifat simbolis. Artinya kata-kata yang kita ucapkan dan gerakan yang kita lakukan tidak memiliki makna yang inheren. Semua mendapatkan signifikansinya dari makna yang disepakati. Kedua, proses di mana kita menegosiasikan makna bersifat dinamis. Artinya komunikasi bukanlah kejadian tunggal, melainkan berlangsung terus--maknanya ditentukan oleh kejadian komunikasi lain.
Hubungan antara kebudayaan dan komunikasi sangat rumit. Perspektif dialektis berasumsi bahwa kebudayaan dan komunikasi berinterelasi dan bersifat resiprokal. Artinya komunikasi dan kebudayaan saling mempengaruhi.
Dalam komunikasi, shared values satu komunitas akan mempengaruhi jawaban dari satu pertanyaan tertentu yang diajukan. Jawaban atau respons yang diberikan saat seseorang menjawab satu pertanyaan merupakan cerminan dari value yang diyakini dalam komunitas orang tersebut.
Bagaimanapun, dalam satu komunitas yang ada bukan hanya value dominan. Artinya kita harus menghindari pembentukan stereotipe berdasarkan analisis orientasi value tersebut. Konflik antarbudaya kerap terjadi karena adanya perbedaan dalam hal orientasi value.
Kebudayaan tak hanya mempengaruhi komunikasi, tapi kebudayaan dibangun melalui komunikasi sehingga juga dipengaruhi oleh komunikasi. Para ilmuwan komunikasi kultural menggambarkan bagaimana berbagai aspek kebudayaan dibangun dalam guyub-guyub tutur dalam konteks. Mereka berupaya memahami pola-pola komunikasi yang terbentuk secara sosial dan ikut menentukan identitas kultural. Secara spesifik mereka mengamati bagaimana bentuk-bentuk dan kerangka-kerangka kultural terbentuk melalui norma-norma percakapan dan interaksi yang terstruktur. Perlawanan terhadap sistem budaya yang dominan selalu ada dalam berbagai komunitas budaya.
Selanjutnya adalah konteks. Konteks secara tipikal tercipta oleh aspek sosial dan fisik dari situasi di mana komunikasi terjadi. Orang berkomunikasi secara berbeda-beda bergantung pada konteks di mana ia berada. Konteks tidak bersifat statis ataupun obyektif, dan dapat bersifat multilayered atau berlapis-lapis. Konteks dapat terdiri atas struktur-struktur sosial, politik, dan historis di mana komunikasi terjadi.
Unsur berikutnya adalah kekuasaan. Kekuasaan menyebar dalam interaksi komunikasi, meskipun tak selalu tampak jelas bagaimana kekuasaan mempengaruhi komunikasi atau makna-makna seperti apa yang terkonstruksi. Kita kerap menduga bahwa komunikasi terjadi antara pihak-pihak yang setara, padahal hal ini sangat jarang terjadi. Menurut Mark Orbe, orang-orang yang memiliki kekuasaan, baik secara sadar ataupun tidak, menciptakan dan mempertahankan sistem komunikasi yang mencerminkan, memperkuat, dan menonjolkan cara berpikir dan berkomunikasi mereka. Ada dua jenis kekuasaan yang berhubungan dengan kelompok: (1) dimensi primer (usia, etnis, gender, kemampuan fisik, ras, dan orientasi seksual), yang bersifat lebih permanen dan (2) dimensi sekunder (pendidikan, lokasi geografis, status perkawinan, dan status sosial ekonomi), yang lebih dapat berubah.
Kekuasaan juga berasal dari institusi sosial dan peran-peran individu yang menempati institusi-institusi tersebut. Kekuasaan bersifat dinamis, bukan proposisi searah yang sederhana. Ketegangan antara kelompok kultural yang dominan dan yang tersubordinasi dapat terus terjadi dalam berbagai cara.

2. 1 Empat Pilar Komunikasi Antarbudaya dalam Kasus Ahmadiyah

Dalam kasus Ahmadiyah ini, Islam dianggap menjadi budaya yang terlibat. Orang Islam memiliki sekelompok pola pemikiran dan kepercayaan. Kelompok Ahmadiyah lalu mengeluarkan satu gejala di mana pola pemikiran dan kepercayaan yang ada ditentang. Karena itulah, kelompok Ahmadiyah ini lalu mengalami eksklusi dari kelompok budaya Islam arus utama.
Jika kita melihat Islam sebagai budaya yang merupakan contested zone, yang cair dan tidak baku, maka bisa dikatakan bahwa upaya negosiasi dan kompetisi yang dilakukan Ahmadiyah dalam gelanggang Islam belum berhasil, atau belum mencapai tujuannya. Penolakan keras masih mendominasi dan terlegitimasi, walaupun penerimaan dari beberapa kelompok--misalnya Jaringan Islam Liberal dan nasionalis seperti Gus Dur--tetap ada *. Beberapa upaya negosiasi terus dilakukan Ahmadiyah agar kelompok Islam mayoritas di Indonesia menerima mereka, misalnya melalui tulisan-tulisan penjelasan tentang ajaran mereka, yang mereka anggap tidak bertentangan dengan Islam*.
Unsur selanjutnya, komunikasi, juga berperan penting dalam kasus Ahmadiyah ini. Sebabnya adalah bahwa munculnya Ahmadiyah dimulai ketika ada satu makna yang muncul ke permukaan setelah adanya interpretasi terhadap Al Quran--serupa dengan perbedaan interpretasi Islam main stream dengan JIL atau perbedaan antara Muhammadiyah dan NU, misalnya. Namun, yang membuat kasus Ahmadiyah menjadi begitu besar adalah bahwa makna yang muncul sangat kontradiktif dengan makna yang dipahami Islam mayoritas di Indonesia soal status nabi terakhir. Permasalahan makna dan interpretasi ini menjadi begitu mutlak saat telah menyentuh shared-belief yang sangat vital.
Atribusi makna pun dilekatkan oleh Islam mayoritas di Indonesia pada Ahmadiyah saat kelompok ini lalu menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad merupakan nabi terakhir: makna bahwa kelompok ini sesat. Selain itu, reproduksi realitas yang dikomunikasikan saat kelompok Ahmadiyah melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam pun bertentangan dengan realitas yang selama ini dipercaya Islam mayoritas di Indonesia. Value dominan dalam masyarakat Islam mayoritas Indonesia ini--Muhammad SAW merupakan nabi terakhir—tidak dapat dinegosiasikan, sehingga stereotipe, prasangka, dan diskriminasi pun muncul terhadap Ahmadiyah.
Kasus Ahmadiyah ini pun berkembang dalam berbagai konteks yang berbeda-beda. Konteks konflik antar kelompok Islam main stream dan Ahmadiyah berkembang menjadi konteks kehidupan negara saat MUI, Menteri Agama, dan Presiden ikut mengambil sikap. Konteks Indonesia dengan Islam dan umat Islam yang sudah cukup mapan juga dapat dianggap mempengaruhi fenomena komunikasi antarbudaya kasus Ahmadiyah ini. Perkembangan kasus ini mungkin akan berbeda jika fenomena ini terjadi di Amerika Serikat atau Cina, misalnya. Berbagai struktur lembaga keagamaan dan pemerintahan dapat pula dianggap sebagai struktur sosial dan politik yang menjadi konteks di mana fenomena komunikasi kasus Ahmadiyah ini terjadi.
Fatwa MUI yang melarang Ahmadiyah, imbauan Menteri agama yang menyuruh kelompok itu tidak menyatakan diri sebagai Islam, dan perkataan Presiden Yudhoyono yang juga melarang Ahmadiyah adalah wujud kekuasaan yang menyebar dalam interaksi komunikasi antarbudaya dalam kasus ini. Cara-cara agresif yang menyerang, baik verbal maupun fisik, juga manifestasi kekuasaan Islam main stream terhadap Ahmadiyah. Kekuasaan sebagai kelompok budaya religius yang mapan memberi keleluasaan bagi kelompok Islam arus utama untuk menentukan cara komunikasi yang mereka kehendaki. Status sosial MUI, Presiden, Menteri, dan pemeluk agama Islam yang “benar” memungkinkan terwujudnya cara komunikasi yang dilihat dari perimbangan kekuasaan tidak seimbang ini. Makna-makna yang terkonstruksi pun, seperti mana yang benar dan salah, bergantung pada kekuasaan itu. Ketegangan pun terlihat jelas dalam kasus ini.


3. Negosiasi Identitas dan Komunikasi Antarbudaya yang Mindful
3.1. Perspektif dan Teori Negosiasi Identitas


Perspektif negosiasi identitas menekankan kaitan antara nilai-nilai kultural dan konsepsi diri; menerangkan bagaimana konsepsi diri seseorang mempengaruhi kognisi, emosi, dan interaksi; menjelaskan mengapa dan bagaimana orang membentuk batas-batas antarkelompok; menggambarkan keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda dari para individu dalam hal menginginkan otonomi inklusi--pembedaan dan hubungan—dalam hubungan-hubungan mereka; memetakan faktor-faktor yang berkontribusi pada terjadinya keguncangan identitas.
Perspektif teori identitas adalah satu teori integratif yang berakar pada karya teori identitas sosial (psikologi sosial), interaksionisme simbolis (sosiologi), negosiasi identitas dan dialektika relasional (komunikasi).
Dasar fundamental teori negosiasi identitas adalah bahwa individu dalam semua budaya memiliki keinginan untuk menjadi komunikator yang kompeten dalam berbagai situasi interaktif.
Dua sumber identitas yang mempengaruhi interaksi keseharian individu: identitas group-based dan identitas person-based. Kesadaran kita tentang identitas keanggotaan kelompok dan personal kita berasal terutama dari internalisasi sudut pandang orang lain di sekeliling kita (Mead, 1934).
Proses inti konsepsi diri reflektif para individu dibentuk melalui komunikasi simbolis dengan orang lain (McCall & Simmons, 1978). Dalam mengembangkan teori identitas sosial, Tajfel dan rekan (Tajfel, 1981, 1982;J.C. Turner, 1985, 1987) menyatakan bahwa identitas sosial mengacu pada konseptualisasi diri para individu yang berasal dari keanggotaan dalam kategori atau kelompok yang signifikan secara emosional (Brewer & Miller, 1996). Identitas personal, di sisi lain, mengacu pada konsepsi diri para individu yang “mendefinisikan individu dalam kaitannya dengan individu-individu lain” (Brewer & Miller, 1996, p.24).
Yang termasuk identitas sosial adalah identitas keanggotaan etnis atau budaya, identitas gender, identitas orientasi seksual, identitas kelas sosial, identitas usia, identitas kecacatan, atau identitas profesional. Yang termasuk identitas pribadi: segala atribut unik yang kita asosiasikan dengan diri yang kita individualisasikan dalam perbandingannya dengan milik orang lain.
Lebih jauh lagi, teori identitas sosial mengasumsikan bahwa kita berhubungan dengan orang lain melalui dua tipe persepsi: persepsi intergroup-based dan persepsi interpersonal-based. Namun, dalam pertemuan antarbudaya yang sebenarnya, dua tipe keterkaitan itu hadir.
Teori identitas sosial dan teori interaksi simbolis menyatakan secara jelas bahwa proses mendefinisikan diri pribadi merupakan proses sosial.
Dalam perspektif negosiasi identitas, istilah identitas berarti konsepsi diri atau citra diri reflektif yang kita dapat dari proses sosialisasi budaya, etnis, dan gender. Identitas didapat melalui interaksi dengan orang lain dalam situasi yang khusus. Dengan demikian identitas pada dasarnya mengacu pada pandangan refleksif kita tentang diri kita—dalam level identitas sosial dan personal.
Perspektif negosiasi identitas menekankan delapan domain dalam mempengaruhi identitas dalam interaksi keseharian kita, empat di antaranya, domain-domain citra diri (identitas budaya, etnis, gender, dan pribadi) merupakan identitas primer yang memasukkan pengaruh yang penting dan terus berlangsung sepanjang hidup, sedangkan empat yang lain (identitas peran, relasional, face work, interaksi simbolis) bergantung pada situasi, berubah dari satu situasi ke situasi lain. Kedua jenis identitas itu saling mempengaruhi. Selain itu, kedelapan domain identitas itu dipandang sebagai satu konsep diri komposit tiap individu terhadap budaya.
Teori negosiasi identitas menekankan bahwa identitas atau konsepsi diri refleksif dipandang sebagai mekanisme penjelasan bagi proses komunikasi antarbudaya. Identitas dipandang sebagai citra diri reflektif yang dikonstruksi, dialami, dan dikomunikasikan oleh para individu dalam satu budaya dan dalam satu situasi interaksi tertentu.
Konsep negosiasi didefinisikan sebagai proses interaksi transaksional di mana para individu dalam satu situasi antarbudaya mencoba memaksakan, mendefinisikan, mengubah, menantang, dan/atau mendukung citra diri yang diinginkan pada mereka atau orang lain. Negosiasi identitas merupakan aktivitas komunikasi.

3.2. Komunikasi Antarbudaya yang Mindful

Beberapa individu bersikap mindless dalam menghadapi negosiasi identitas, sedangkan individu lain bersikap mindful menghadapi dinamika proses ini. Mindfulness ini merupakan satu proses “pemfokusan kognitif” yang dipelajari melalui latihan-latihan keterampilan yang dilakukan berulang-ulang.
Ada 10 asumsi teoritis inti berkaitan dengan komunikasi antarbudaya yang mindful ini.
Mindfulness berarti kesiapan untuk menggeser kerangka referensi, motivasi untuk menggunakan kategori-kategori baru untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya atau etnis, dan kesiapan untuk bereksperimen dengan kesempatan-kesempatan kreatif dari pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Sebaliknya mindlessness adalah ketergantungan yang amat besar pada kerangka referensi yang familiar, kategori dan desain yang rutin dan cara-cara melakukan segala hal yang telah menjadi kebiasaan.
Untuk menjadi komunikator yang mindful, individu mesti mempelajari sistem nilai yang mempengaruhi konsepsi diri orang lain. Ia perlu membuka diri terhadap satu cara baru konstruksi identitas. Ia juga perlu siap untuk memahami satu perilaku atau masalah dari sudut pandang budaya orang lain. Ia juga mesti waspada bahwa banyak perspektif hadir dalam upaya interpretasi satu fenomena dasar.
Ada dua kriteria komunikasi yang mindful. Yang pertama adalah kecocokan, ukuran di mana perilaku dianggap cocok dan sesuai dengan yang diharapkan oleh budaya. Kriteria kedua adalah keefektifan, yakni ukuran di mana komunikator mencapai shared meaning dan hasil yang diinginkan dalam satu situasi tertentu.
Di samping itu, ada tiga komponen komunikasi yang mindful. Komponen pertama adalah pengetahuan, yakni pemahaman kognitif yang dimiliki seseorang dalam rangka berkomunikasi secara tepat dan efektif dalam satu situasi tertentu. Selanjutnya adalah motivasi, yakni kesiapan kognitif dan afektif serta keinginan untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif dengan orang lain. Yang ketiga adalah keterampilan, yakni kemampuan operasional sebenarnya untuk menampilkan perilaku-perilaku yang dianggap sesuai dan efektif dalam situasi tertentu.

3.3. Perspektif Negosiasi Identitas dengan Konsep Komunikasi Antarbudaya yang Mindful sebagai Solusi Kasus Ahmadiyah

Bagaimana umat Islam bereaksi terhadap Ahmadiyah dapat dijelaskan dengan melihat nilai-nilai dan konsepsi diri mereka, yang mempengaruhi kognisi, emosi, dan interaksi mereka. Hal yang sama perlu dilakukan pada kelompok Ahmadiyah sendiri. Perlu juga dikaji bagaimana batas dan ketegangan antara dua kelompok ini tercipta. Selain itu, juga perlu diteliti secara hati-hati apa yang membuat masing-masing kelompok ini melekatkan atribut pada diri mereka masing-masing dan pada yang lain. Konsepsi diri dan citra diri tiap kelompok pun mesti dipahami secara hati-hati.
Langkah selanjutnya adalah mencoba mengembangkan mindfulness melalui latihan-latihan yang berulang-ulang dalam dua kelompok yang terlibat. Perlu ada kesiapan untuk menggeser referensi dalam diri tiap kelompok, menghapus ketergantungan yang amat besar pada kerangka referensi yang familiar, kategori dan desain, serta cara-cara yang telah menjadi rutin dan biasa dilakukan.
Tiap kelompok perlu mempelajari sistem nilai yang mempengaruhi konsepsi diri kelompok lain. Perlu ada upaya untuk membuka diri terhadap satu cara konstruksi identitas baru, atau bahkan konstruksi identitas baru itu sendiri. Memahami sikap dan perilaku kelompok lain pun mesti ditanamkan. Artinya adalah bahwa mesti ada kesadaran pada dua kelompok tersebut bahwa perbedaan di antara mereka adalah perbedaan yang sama dengan begitu banyak perbedaan lain yang ada dalam kehidupan mereka yang hadir karena adanya perspektif baru sebagai wujud perbedaan interpretasi terhadap satu fenomena dasar--dalam kasus ini agama.
Dalam kasus ini terlihat bahwa tiga komponen komunikasi yang mindful, yakni pengetahuan, motivasi, dan keterampilan, tidak terpenuhi pada dua kelompok. Pada kelompok Islam main stream jelas tidak ada motivasi untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif. Itu terbukti dengan digunakannya kekerasan dalam interaksi dengan Ahmadiyah. Komponen pengetahuan juga tampaknya mempengaruhi mereka. Kurangnya pengetahuan tentang perbedaan interpretasi di masa lalu Islam atau bagaimana Al Quran dapat diinterpretasi mungkin mempengaruhi sikap ekstrem kelompok arus utama. Selain itu, kelompok ini tidak memiliki keterampilan untuk melakukan komunikasi secara efektif dan produktif, sehingga yang mereka pilih adalah cara-cara yang mindless. Dengan begitu, penerangan yang lengkap dan holistik tentang semua hal di atas dapat menjadi jawaban dan solusi bagi ketegangan antara dua kelompok tersebut. Kecenderungan untuk menghindari ekspose terhadap perbedaan antara dua kelompok ini juga dapat menjadi satu solusi yang dapat dilakukan.
Dari sisi kelompok Ahmadiyah, motivasi mereka pun mesti muncul. Kecenderungan untuk bersikap eksklusif jelas merupakan wujud ketiadaan motivasi dan keterampilan. Saat mereka beribadah secara eksklusif dan membentuk komunitas yang eksklusif pula, saat itu pula mereka menutup diri dan menarik garis nyata yang membuat perbedaan mereka dengan kelompok Islam arus utama jelas tergambar. Yang terbentuk adalah satu ekspose terhadap perbedaan yang akhirnya membentuk satu konsepsi identitas antara dua kelompok tersebut. Akhirnya, ekspose terhadap perbedaan itu menggiring kedua kelompok pada ketegangan identitas. Pembauran secara alami menjadi yang definitif guna mengekspose kesamaan, yang jumlahnya jelas jauh lebih banyak. Dalam situasi di mana kedua kelompok membaur, identitas pun menjadi cair dan negosiasi identitas dapat terjadi secara lebih mulus.


Catatan Kaki:

[1] Meskipun pengikut Ahmadiyah Lahore mengaku mempercayai Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai Mujaddid dan tidak disetarakan dengan posisi Nabi Muhammad (sesuai keterangan Ahmadiyyah Lahore untuk Indonesia, yang berpusat di Yogyakarta).

* Menteri Agama (Menag) Maftuh Basyuni meminta agar Ahmadiyah menjadi agama tersendiri di luar Islam. (http://www.waspada.co.id).
* Martins & Nakayama, 2003:79
* Sebetulnya tindak kekerasan seperti itu tidak mereka alami sekali ini, tetapi sudah berkali-kali. Pada tahun 2000, ketika penulis belajar di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Mataram,NTB, ada peristiwa penggrebekan yang ujung-ujungnya pengusiran dan kekerasan terhadap Ahmadiyah oleh sekelompok organisasi mayoritas di NTB. Alasannya, ajaran-ajaran ahmadiyah “menyesatkan” akibatnya “meresahkan” masyarakat. Anggapan inilah ‘titik api’ yang membuat emosi masyarakat NTB meluap-luap sehingga ingin selalu mengusir bahkan ‘membunuh’ jika pengikut Ahmadiyah masih tetap tinggal dan menyebarkan ajaran yang dianggap “sesat” di negeri yang dikenal sebagai pulau “seribu masjid” itu (http://lkassurabaya.blogspot.com).
* “Masih tentang Ahmadiyah” oleh Ulil Abshar-Abdalla di
http://islamlib.com/id
“Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama” oleh Dawam Rahardjo, http://islamlib.com/id
Dalam “Tapal Batas Tafsir Bebas” di
http://islamlib.com/id
* Lihat Lampiran satu tentang Fatwa MUI dan berita tentang pernyataan Menteri Agama RI.
* Adanya perasaan seperti ini dapat dilihat antara lain di
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/02/23/0072.html, www.ham.go.id/index_HAM, “Damai Sekarang atau Perang Berlanjut” di http://media.isnet.org/ambon/Kastor/Ancaman.html, dan http://www.sidogiri.com/modules.php?name=News&file=article&sid=865.
* Menteri Agama (Menag) Maftuh Basyuni meminta agar Ahmadiyah menjadi agama tersendiri di luar Islam. (http://www.waspada.co.id).
* Lihat Lampiran satu tentang Fatwa MUI dan berita tentang pernyataan Menteri Agama RI.
* Antara lain dapat dilihat di
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=156 dan http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/10/04/brk,20051004-67525,id.html
* Antara lain dapat dilihat di
http://www.islamemansipatoris.com dan “Ulil: Fatwa MUI soal Ahmadiyah Tolol dan Konyol” di detik.com.
* pengikut Ahmadiyah Lahore mengaku mempercayai Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai Mujaddid dan tidak disetarakan dengan posisi Nabi Muhammad (sesuai keterangan Ahmadiyyah Lahore untuk Indonesia, yang berpusat di Yogyakarta (wikipedia)


Lampiran 1

KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor : 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang ALIRAN AHMADIYAH
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426H./ 26-29 Juli 2005 M. setelahMENIMBANG :
Bahwa sampai saat ini aliran Ahmadiyah terus berupaya untuk mengembangkan pahamnya di Indonesia, walaupun sudah ada fatwa MUI dan telah dilarang keberadaannya;
Bahwa upaya pengembangan paham Ahmadiyah tersebut telah menimbulkan keresahaan masyarakat;
Bahwa sebagian masyarakat meminta penegasan kembali fatwa MUI tentang faham Ahmadiyah sehubungan dengan timbulnya berbagai pendapat dan berbagai reaksi di kalangan masyarakat;
Bahwa untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan menjaga kemurnian aqidah Islam, MUI memandang perlu menegaskan kembali fatwa tentang aliran Ahmadiyah.
MENGINGAT :
Firman Allah SWT.,Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi; dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Ahzab [33]: 40)Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu di perintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa (QS. Al- An’am [6]: 153)Hai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk…. (QS. Al-Ma’idah [5]: 105)
Hadist Nabi S.A.W.; A.l.:Rasulullah bersabda: Tiadak ada Nabi sesudahku (HR. al-Bukhari).Rasulullah bersabda: “Kerasulan dan kenabian telah terputus; karena itu, tidak ada Rasul maupun Nabi sesudahku (HR Tirmidzi)
MEMPERHATIKAN :
Keputusan Majma al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406H./22-28 Desember 1985M tentang Aliran Qodiyaniyah, yang antara lain menyatakan; bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan di sepakati oleh seluruh Ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
Keputusan Majma’ al-Fiqh Rabitha’ Alam Islami.
Keputusan Majma’ al-Buhuts.
keputusan Fatwa MUNAS II MUI pada tahun1980 tentang Ahmadiyah Qodiyaniyah.
Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
M E M U T U S K A N
MENETAPKAN : FATWA TENTANG ALIRAN AHMADIYAH
Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam)’
Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.
Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.

Ditetapkan di : JakartaPada tanggal : 22 Jumadil Akhir 1426 H29 Juli 2005 M
MUSYAWARAH NASIONAL VIIMAJELIS ULAMA INDONESIA,Pimpinan Sidang Komisi C Bidang FatwaKetua, Sekretaris,K.H. MA’RUF AMIN HASANUDIN


[*] Meskipun pengikut Ahmadiyah Lahore mengaku mempercayai Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai Mujaddid dan tidak disetarakan dengan posisi Nabi Muhammad (sesuai keterangan Ahmadiyyah Lahore untuk Indonesia, yang berpusat di Yogyakarta).

* Menteri Agama (Menag) Maftuh Basyuni meminta agar Ahmadiyah menjadi agama tersendiri di luar Islam. (http://www.waspada.co.id).
* Martins & Nakayama, 2003:79
* Sebetulnya tindak kekerasan seperti itu tidak mereka alami sekali ini, tetapi sudah berkali-kali. Pada tahun 2000, ketika penulis belajar di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Mataram,NTB, ada peristiwa penggrebekan yang ujung-ujungnya pengusiran dan kekerasan terhadap Ahmadiyah oleh sekelompok organisasi mayoritas di NTB. Alasannya, ajaran-ajaran ahmadiyah “menyesatkan” akibatnya “meresahkan” masyarakat. Anggapan inilah ‘titik api’ yang membuat emosi masyarakat NTB meluap-luap sehingga ingin selalu mengusir bahkan ‘membunuh’ jika pengikut Ahmadiyah masih tetap tinggal dan menyebarkan ajaran yang dianggap “sesat” di negeri yang dikenal sebagai pulau “seribu masjid” itu (http://lkassurabaya.blogspot.com).
* “Masih tentang Ahmadiyah” oleh Ulil Abshar-Abdalla di http://islamlib.com/id
“Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama” oleh Dawam Rahardjo, http://islamlib.com/id
Dalam “Tapal Batas Tafsir Bebas” di http://islamlib.com/id
* Lihat Lampiran satu tentang Fatwa MUI dan berita tentang pernyataan Menteri Agama RI.
* Adanya perasaan seperti ini dapat dilihat antara lain di http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/02/23/0072.html, www.ham.go.id/index_HAM, “Damai Sekarang atau Perang Berlanjut” di http://media.isnet.org/ambon/Kastor/Ancaman.html, dan http://www.sidogiri.com/modules.php?name=News&file=article&sid=865.
* Menteri Agama (Menag) Maftuh Basyuni meminta agar Ahmadiyah menjadi agama tersendiri di luar Islam. (http://www.waspada.co.id).
* Lihat Lampiran satu tentang Fatwa MUI dan berita tentang pernyataan Menteri Agama RI.
* Antara lain dapat dilihat di http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=156 dan http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/10/04/brk,20051004-67525,id.html
* Antara lain dapat dilihat di http://www.islamemansipatoris.com/ dan “Ulil: Fatwa MUI soal Ahmadiyah Tolol dan Konyol” di detik.com.
* pengikut Ahmadiyah Lahore mengaku mempercayai Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai Mujaddid dan tidak disetarakan dengan posisi Nabi Muhammad (sesuai keterangan Ahmadiyyah Lahore untuk Indonesia, yang berpusat di Yogyakarta (wikipedia)