Samuel Mulia di Kompas Minggu, 18 Maret 2007, menceritakan pengalamannya yang tidak mengasyikkan saat diperkosa: oleh klien dan pengiklan. Untungnya dia sadar dia diperkosa. Paling tidak dia tahu bahwa dia berada dalam “satu keadaan yang tidak seharusnya terjadi”. Di sekeliling kita banyak yang tidak sadar dirinya diperkosa; bahkan menawarkan untuk diperkosa!
Keluhan Samuel Mulia adalah fenomena relasi kekuasaan, yang dalam tiap masyarakat jelas ada. Perspektif fungsional khas Amerika menyatakan bahwa relasi kekuasaan dalam stratifikasi sosial seperti itu memberi kontribusi keuntungan bagi semua kelas dalam masyarakat. Sebaliknya, perspektif konflik ala Marxis menegaskan bahwa yang mendapat privilese dari tatanan yang seperti itu adalah kelas-kelas tertentu saja.
Salah satu elemen penting dalam relasi kekuasaan sejak zaman modern hingga pascamodern atau latemodern ini adalah uang. Uang selalu dapat berperan sebagai pembicara yang mampu menyampaikan keinginannya secara asertif, bahkan agresif. It doesn’t take ”no” for an answer. Uang tidak menginginkan keengganan sebagai respons. Kepatuhan total selalu harus menjadi jawaban atas tuntutan yang diajukan uang.
Seorang penentu kebijakan mesti mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada uang dan penghasilnya. Penyelesaian perkara di pengadilan wajib berjalan sesuai dengan skenario uang. Bagaimana televisi, radio, majalah, dan koran memuat berita harus sesuai dengan kepentingan uang. Siapa yang salah dalam kasus pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas serta bagaimana penyelesaiannya pun ditentukan uang. Bahkan, lokasi pemakaman Anda pun pun tak lepas dari kuasa uang.
We experience in the nature of money itself something of the essence of prostitution. The indifference as to its use, the lack of attachment to any individual because it is unrelated to any of them, the objectivity inherent in money as a means which excludes any emotional relationship—all this produces an ominous analogy between money and prostitution (The Philosophy of Money. Georg Simmel, diterjemahkan oleh T. Bottomore dan D. Frisby, 1990).
Jika menelaah lebih jauh “keluhan” Georg Simmel di atas, kita dapat melihat satu esensi uang yang sangat dingin, impersonal, dan penuntut. Sama seperti pelacuran, tidak ada rasa dan emosi yang terlibat; bahkan tak ada simpati dan empati yang terkandung di dalamnya.
Menurut Simmel, seorang sosiolog Jerman, kehadiran uang dalam interaksi sosial dalam masyarakat, yang sebelumnya berwujud barter, memungkinkan segala pengukuran terjadi secara akurat dan obyektif. Kalkulasi rasional pun hadir dalam kehidupan manusia karena uang. Rasionalisasi itu merupakan syarat utama dalam kehidupan modern.
Akan tetapi, sebagai dampaknya, segala interaksi manusia menjadi kering dan impersonal karena kehadiran uang. Rasionalitas ala uang mengikis karakter humanistik interaksi sosial. Seperti dalam pelacuran. Emosi, penilaian, dan kognisi seorang jurnalis, misalnya, yang merupakan elemen penting seorang jurnalis sebagai manusia, kerap disisihkan uang. Rasionalitas efisiensi dan efektivitas yang berorientasi pada uang sebagai seorang CEO kelompok usaha media raksasa pun bisa meminggirkan kemanusiaan. Pun begitu dampak uang pada proses pendidikan yang berorientasi pada dan menjadi unit pendukung industri pencetak uang.
Kalkulabilitas dan impersonalitas uang, sayangnya, begitu berkuasa dalam masyarakat modern dan pascamodern sehingga semua daya hidup kemanusiaan diarahkan ke sana. Dalam satu derap besar roda kapitalisme global, kehidupan berorientasi pada uang. Cuma ada satu logika: uang.
Pembentukan kelompok-kelompok sosial yang dulu bersifat sukarela berdasarkan banyak alasan primordial, misalnya, kini dikendalikan oleh uang. Stratifikasi sosial pun berada di bawah kendali uang. Jika ada stratifikasi berdasarkan elemen sosial lain, yang memiliki hierarki paling tinggi tetap yang memiliki banyak uang. Anda boleh pintar, berdarah biru, religius, atau berkelakuan semulia santo, tapi jika tak memiliki uang, semua atribut sosial yang Anda kenakan bagaikan pakaian simbolis yang hanya membuat gerah.
Kembali ke Samuel Mulia. Apakah dia diperkosa? Pada awalnya iya. Tapi, ia lalu mengakui bahwa pada pemerkosaan berikutnya atas kemanusiaan dan otonominya sebagai manusia, ia sendiri yang mengundang para pemerkosa untuk melakukan perkosaan. Mmmm?
Well, paling tidak Samuel Mulia ”diberkati” karena mau dan mampu melihat pemerkosaan pada dirinya. Lihat di sekeliling Anda: jutaan orang di republik ini memohon-mohon pada uang untuk diperkosa!
Mmmm....
Palmerah, Senin, 19 Maret 2007
Pukul 02.05 Pagi
Ketika sedang ”diperkosa” di kantor
Sunday, March 18, 2007
Uang dan Pemerkosaan
Sunday, February 11, 2007
Papan Mas, Korban Korupsi Pejabat?
Bekasi, sama dengan Jakarta, digerus banjir. Kakak saya tinggal di Bekasi, tepatnya di Perumahan Papan Mas, Tambun. Sebagai warga perumahan, kakak saya membayar pajak pembelian dan berbagai pajak lain saat membeli rumah dan tanah yang kini menjadi tempat tinggalnya. Ia juga membayar PBB dan pajak lain, Begitu juga dengan listrik dan iuran lain. Dengan begitu, kakak saya dan warga lain di perumahan Papan Mas merupakan konributor pemasukan bagi kota Bekasi.
Di depan rumah kakak saya di perumahan Papan Mas, ada satu kali kecil yang kerap disebut "Kali Jambe" oleh warga sekitar. Di bantaran kali itu kini terlihat berdiri berderet-deret rumah liar. Rumah-rumah itu didirikan "secara gratis" oleh sekelompok orang. Kenapa saya bilang "secara gratis"? Pasalnya orang-orang itu tidak mengeluarkan sepeser uang pun dalam bentuk pajak pembelian, pajak bumi dan bangunan, atau pajak kepemilikan lain. Namun, anehnya mereka bisa menerima aliran listrik dari PLN.
Keberadaan rumah-rumah liar itu membawa dampak negatif secara ekologis maupun sosila bagi penghuni Perumahan Papan Mas, yang sebenarnya merupakan perumahan bagi kalangan masyarakat sederhana yang ingin memiliki lingkungan yang baik. Secara ekologis, keberadaan rumah-rumah liar itu telah membuat Kali Jambe meluap sehingga saat banjir kemarin, Perumahan Papan Mas, yang letaknya sebenarnya relatif tinggi, terendam hingga sedengkul orang dewasa di dalam rumah. Ironisnya, rumah-rumah liar itu justru tidak kebanjiran karena mereka meninggikan letak rumahnya. Padahal tindakan meninggikan rumah itu yang membuat aliran air dari jalanan ke kali menjadi terhambat.
Selain dampak ekologis tadi, ada juga dampak sosialnya. Salah satu rumah liar itu membukan usaha penjualan minuman keras yang kerap didatangi preman-preman yang berpesta minuman hingga tengah malam dan subuh. Itu jelas mengganggu warga sekitar, yakni warga Perumahan Papan Mas, yang sebagian besar merupakan komuter, pemasok pendapatan asli bagi daerah Bekasi. Selain itu, istirahar anak-anak pada malam hari juga terganggu. Belum lagi jika kita memperhitungkan buruknya fenomena itu dalam rangka pendidikan keseharian anak-anak di wilayah tersebut.
Rumah-rumah serupa di wilayah yang sama telah dibongkar oleh Pemda Bekasi, namun anehnya, rumah liar di seberang kali ini tidak dibongkar. Isu berembus: pemilik rumah-rumah liar itu telah mengumpulkan sejumlah uang lalu memberikannya sebagai suap kepada penguasa setempat, entah lurah, camat, atau bupati setempat. Ini jelas isu, tapi jelas terdengar masuk akal.
Oleh karena itu, kepada pihak yang terkait dengan permasalahn ini (lurah, camat, dan bupati yang menaungi Perumahan Papan Mas sekitarnya) ini tentu tantangan agar bisa membuktikan isu suap itu tidak benar. Caranya: tegakkan aturan dengan membasmi rumah liar.
Bisakah?
11 Februari 2007
Friday, February 9, 2007
Manusia Rasional Nirperspektif
Buat dia, kesadaran seseorang tidak bisa diubah oleh faktor eksternal orang tersebut. Segalanya berasal dari dalam. Jelas asumsi dasarnya adalah tiap manusia adalah manusia bebas yang memiliki pilihan. Tiba-tiba dengan lantang dia bilang bahwa yang bisa mengubah hanya Tuhan. Artinya buat dia manusia adalah makhluk yang dikooptasi oleh Tuhan secara mutlak. Identik dengan paradigme pemikiran teokrasi pramodern Abad Kegelapan Eropa ’kan? Luar biasa sekali melihat dia berargumen berdasarkan asumsi dasar yang berpindah-pindah dari corak pemikiran postmodern lalu ke pemikiran teokrasi secara cepat dan otomatis. Luar biasa menyedihkan.
Tapi, itulah memang masalah mendasar orang-orang di zaman global ini, yang sarat dengan ideologi. Tiap hari mereka menerima informasi dan menguasai teknologi, tapi dari segi pemikiran, hal-hal ideologis yang tampak mata tidak tertangkap. Yang muncul adalah zombi-zombi hidup yang wara-wiri di arus deras hal-hal remeh kehidupan global. Percakapan dan dialog kerap terbentur di aspek-aspek teknis, tak ada upaya dekonstruksi pemikiran atau evaluasi total terhadap kerangka perspektif.
Menyedihkan? Memang! Pesimistis? Jangan!
Palmerah
Jumat, 090207
Sunday, January 7, 2007
Komponen-Komponen Komunikasi Antarbudaya
Kebudayaan
Kebudayaan sering dianggap sebagai konsep inti dalam komunikasi antarbudaya. Satu karakteristik kebudayaan adalah bahwa kebudayaan berfungsi sebagian besar pada tataran bawah sadar.
Komunikasi
Komunikasi sebagai komponen kedua yang mesti dimengerti untuk memahami komunikasi antarbudaya juga merupakan satu hal yang sama kompleksnya dengan kebudayaan.
Hubungan antara Komunikasi dan Konteks
Konteks secara tipikal tercipta oleh aspek sosial dan fisik dari situasi di mana komunikasi terjadi. Orang berkomunikasi secara berbeda-beda bergantung pada konteks di mana ia berada. Konteks tidak bersifat statis ataupun obyektif, dan dapat bersifat multilayered atau berlapis-lapis. Konteks dapat terdiri atas struktur-struktur sosial, politik, dan historis di mana komunikasi terjadi.
Hubungan antara Komunikasi dan Kekuasaan
Kekuasaan menyebar dalam interaksi komunikasi, meskipun tak selalu tampak jelas bagaimana kekuasaan mempengaruhi komunikasi atau makna-makna seperti apa yang terkonstruksi. Kita kerap menduga bahwa komunikasi terjadi antara pihak-pihak yang setara, padahal hal ini sangat jarang terjadi. Menurut Mark Orbe, orang-orang yang memiliki kekuasaan, baik secara sadar ataupun tidak, menciptakan dan mempertahankan sistem komunikasi yang mencerminkan, memperkuat, dan menonjolkan cara berpikir dan berkomunikasi mereka. Ada dua jenis kekuasaan yang berhubungan dengan kelompok: (1) dimensi primer (usia, etnis, gender, kemampuan fisik, ras, dan orientasi seksual), yang bersifat lebih permanen dan (2) dimensi sekunder (pendidikan, lokasi geografis, status perkawinan, dan status sosial ekonomi), yang lebih dapat berubah.
Masalah elanjutnya yang akan dibahas di sini adalah bagaimana masa lalu merupakan satu segi yang sangat penting dari komunikasi antarbudaya. Bagian ini juga memeriksa beberapa cara di mana sejarah menjadi hal yang penting dalam memahami komunikasi antarbudaya. Banyak interaksi antarbudaya melibatkan satu dialektika interplay antara masa kini dan masa lalu. Dalam skala besar kita lihat bagaimana sejarah mempengaruhi interaksi interkultural dalam berbagai konteks, antara lain konflik di Tepi Barat antara Israel dan Palestina. Dialektika antara sejarah/masa lalu-masa kini/ masa depan adalah fokus dari bagian ini. Sebagaimana kita ketahui, budaya dan identitas budaya secara ketat terikat pada sejarah karena dua hal itu tak memiliki makna tanpa sejarah. Namun, mesti diingat bahwa tak ada satu versi tunggal sejarah: masa lalu ditulis dalam begitu banyak cara.
Dari Sejarah ke Sejarah-Sejarah
Sejarah, Kekuasaan, dan Komunikasi Antar-Budaya
Sejarah dan Identitas
Keempat adalah sejarah kolonial, yakni sejarah penjajahan atau pendudukan satu negara atas negara lain.
Komunikasi Antar-Budaya dan Sejarah
Pertama, sangatlah penting untuk menyadari bahwa kita semua membawa sejarah masing-masing dalam interaksi. Kedua, kita harus mengerti peran bahwa sejarah memainkan dalam identitas, pada apa yang kita bawa dalam interaksi.
(Ting-Toomey, Stella. Communicating Across Culture. New York: The Guilford Press, 1999)
Perubahan Identitas dan Adaptasi Budaya
Adaptasi Antar-Budaya: Faktor-Faktor Antecedent
Adaptasi antarbudaya mengacu pada proses perubahan yang berkaitan dengan identitas yang terjadi secara meningkat yang terjadi pada para penduduk musiman dan imigran di lingkungan baru.
Penyesuaian mengacu pada proses adaptif jangka pendek dan menengah yang dilakukan para penduduk musiman dalam masa penugasan mereka di luar negeri.
Istilah akulturasi digunakan dalam literatur antarbudaya untuk menggambarkan proses perubahan jangka panjang para imigran dan pengungsi saat beradaptasi dengan tempat tinggal baru mereka.
Enkulturasi, pada sisi lain, kerap mengacu pada proses sosialisasi primer terus-menerus para orang asing di budaya asal mereka di mana mereka telah menginternalisasikan nilai-nilai budaya utama.
Ada tiga faktor antecedent yang biasanya mempengaruhi proses adaptasi para pendatang: faktor di level sistem, level individu, dan interpersonal.
Faktor-Faktor di Level Sistem
Faktor-faktor di level sistem adalah faktor-faktor yang ada di lingkungan yang didatangi yang mempengaruhi para adaptasi pendatang baru terhadap budaya baru. Ada lima observasi yang terkumpul berdasarkan temuan dari riset adaptasi yang tersedia.
Pertama, keadaan sosioekonomi budaya yang didatangi mempengaruhi iklim adaptasi. Keadaan yang makmur akan membuat para anggota budaya tersebut lebih toleran terhadap pendatang baru.
Kedua, pendirian sikap budaya yang didatangi berkaitan dengan asimilasi budaya atau pluralisme budaya menghasilkan efek tak langsung pada kebijakan-kebijakan institusional terhadap proses adaptasi para pendatang baru. Pendirian asimilasi budaya menuntut konfirmitas lebih tinggi dari para orang asing dalam beradaptasi dengan lingkungan yang didatangi dibandingkan dengan pendirian pluralis budaya.
Ketiga, institusi lokal berperan sebagai agensi kontak pertama yang memfasilitasi atau menghambat proses adaptasi para penduduk musiman atau imigran.
Keempat, definisi makna budaya yang didatangi soal peran para pendatang dapat mempengaruhi proses awal dari adaptasi para penduduk musiman dan imigran.
Kelima, jarak budaya antara kedua budaya--milik para pendatang dan tuan rumah--berdampak kuat pada adaptasi para pendatang.
Faktor-Faktor di Level Individu
Di level individu, ada faktor-faktor yang mempengaruhi adaptasi antarbudaya: motivasi individual, ekspektasi individual, pengetahuan berdasarkan interaksi dan pengetahuan budaya, dan atribut pribadi.
Orientasi motivasi pendatang baru untuk meninggalkan tempat asalnya dan memasuki satu budaya baru memiliki pengaruh yang tak terhindarkan pada mode-mode adaptasinya.
Ekspektasi individual pun dipandang secara luas sebagai satu faktor krusial dalam proses adaptasi antarbudaya. Ekspektasi mengacu pada proses antisipatori dan hasil prediktif dari situasi yang akan datang.
Pengetahuan budaya dan pengetahuan berdasarkan interaksi yang dimiliki para pendatang baru tentang budaya yang didatangi juga berperan sebagai faktor penting lain dalam proses adaptasi mereka. Pengetahuan budaya dapat mencakup informasi soal sejarah perbedaan etnik dan budaya, geografi, sistem politik dan ekonomi, keyakinan agama dan spiritul, sistem nilan berganda, dan norma-norma situasional. Pengatahuan berdarkan interaksi mencakup bahasa, gaya verbal dan nonverbal, isi-isu komunikasi yang berkaitan dengan perbedaan, dan berbagai gaya pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Berkaitan dengan atribut pribadi, profil-profil kepribadian seperti toleransi tinggi terhadap ambiguitas, locus internal kontrol, fleksibilitas dan keterbukaan personal secara konstan dihubungkan dengan pemfungsian psikologis yang positif dalam satu budaya baru. Ward mengajukan satu proposisi ”cultural fit”, yang menekankan pentingnya kecocokan antara tipe kepribadian para acculturators dengan norma-norma budaya yang jadi tuan rumah.
Sebagai tambahan, variabel-veriabel demografis seperti usia dan tingkat pendidikan juga mempengaruhi keefektifan adaptasi.
Faktor-Faktor di Level Antarpribadi
Faktor-faktor di level interpersonal mencakup faktor jaringan hubungan tatap muka, faktor kontak yang dimediasi, dan faktor-faktor kemampuan interpersonal. Faktor jaringan kontak dan media massa dapat meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri interpersonal dalam perjalanan pembelajaran budaya yang mereka lakukan.
Jaringan kontak mengacu pada kombinasi ikatan personal dan sosial dalam budaya baru di mana sumber-sumber daya afektif, instrumental, dan informasional dipertukarkan. Sumber daya afektif mencakup pertukaran dukungan identitas dan pesan-pesan emphatic relasional. Sumber daya instrumental mencakup dukungan tujuan yang berkaitan dengan tugas, bantuan-bantuan praktis, dan pertukaran sumber daya yang tangible. Sumber daya informasional mencakup berbagi pengetahuan dan membuat orang lain mengetahui satu berita penting tertentu.
Studi menemukan bahwa dalam tahap adaptasi awal, jaringan pertemanan/sosial yang berdasarkan etnis berperan penting bagi para pendatang baru dalam hal fungsi dukungan identitas dan dukungan emosional.
Media etnis juga memainkan peran yang penting dalam tahap awal adaptasi para imigran. Hambatan bahasa membuat para imigran cenderung memilih media etnis.
Di sisi lain, media tuan rumah juga memainkan peran edukatif dalam menyediakan lingkungan yang aman bagi para pendatang baru untuk mempelajari bahasa dan keterampilan bersosialisasi dari budaya tuan rumah.
Dari semua variabel, kemampuan berbahasa memainkan peran yang paling penting dalam konsumsi media tuan rumah. Semakin baik kemampuan bahasa para pendatang, semakin mungkin mereka memilih media tuan rumah. Pada tahap awal adaptasi, para imigran mungkin cenderung memilih acara-acara hiburan, namun pada tahap berikutnya, mereka lebih memilih acara-acara informasi.
Para peneliti manajemen internasional mengidentifikasi beberapa kemampuan adaptif interpersonal yang penting bagi para pelaku bisnis yang bekerja di luar negeri: pemeliharaan keadaan psikologis, kesadaran yang memadai soal perilaku dan nila-nilai tuan rumah, interaksi interpersonal dengan orang dari negara tersebut. Sebagai perbandingan, peneliti komunikasi antarbudaya mendefinisikan beberapa kemampuan sebagai keterampilan antarbudaya yang penting: (1) kemampuan mengelola tekanan psikologis, (2) kemampuan berkomunikasi secara efektif, dan (3) kemampuan membangun hubungan antarpribadi yang meaningful.
Ada lima langkah yang dapat diterapkan oleh para penduduk musiman dan imigran dalam mengasah kemampuan interpersonal khusus-budaya mereka dalam budaya baru:
1. identifikasi satu keterampilan yang memfasilitasi komunikasi yang lebih baik dengan orang-orang dari satu budaya tertentu
2. pahami mengapa keterampilan ini penting-pasangkan nilai budaya tertentu dengan kemampuan ini
3. cari tahu mengapa, di mana, dan dalam situasi apa keterampilan ini digunakan secara tepat
4. sadari keunikan para individu yang berinteraksi dengan kita—mungkin saja dia tidak cocok dengan norma di atas tadi
5. latih keterampilan ini dalam interaksi keseharian dengan orang-orang dari budaya baru
Dalam tiap proses pembelajaran budaya yang berhasil, anggota budaya tuan rumah perlu bersikap sebagai tuan rumah yang baik sedangkan pendatang bersikap sebagai orang-orang yang bersedia belajar.
Adaptasi Antar-Budaya: Proses Perubahan Identitas
Proses adaptasi antarbudaya melibatkan perubahan identitas dan tantangan-tantangan bagi para pendatang baru. Tantangan-tantangan yang dimaksud:
Mengelola Proses Guncangan Budaya
Culture shock mengacu pada proses transisional di mana individu merasa adanya ancaman pada keberadaannya dalam satu lingkungan yang secara budaya baru baginya. Dalam lingkungan yang kurang akrab baginya itu, identitas individu tersebut tampak tak terlindungi. Scenes dan script budaya tak beroperasi dalam setting baru dan jaringan budaya yang akrab sebelumnya telah hilang.
Culture shock menghasilkan pelanggaran ekspektansi, yang pada gilirannya memunculkan kerapuhan emosional. Culture shock pada awalnya merupakan fenomena emosional, lalu muncul disorientasi kognitif dan disonansi identitas.
Menurut Oberg, culture shock menghasilkan satu keadaan disequilibrium identitas, yang dapat memunculkan transformasi adaptif dalam diri seorang pendatang pada level moral, afektif, kognitif, perilaku. Culture shock melibatkan:
Semua penduduk musiman dan imigran mengalami beberapa derajat hilangnya identitas dan duka dalam lingkungan yang asing. Guncangan budaya--tak dapat dihindari--merupakan satu pengalaman yang menekan dan memunculkan disorientasi.
Guncangan budaya dapat memunculkan efek negatif dan positif. Yang termasuk dalam implikasi negatif adalah masalah psikosomatik akibat stres berkepanjangan; disorientasi kognitif akibat kesulitan-kesulitan dalam membuat atribusi yang akurat; letupan afektif yang terdiri dari perasaan kesepian, depresi, dan perubahan mood yang drastis; dan kecanggungan dalam interaksi sosial akibat ketidakmampuan untuk tampil optimal dalam bahasa dan latar baru.
Sebaliknya, jika dikelola dengan penuh pertimbangan, guncangan budaya dapat menimbulkan efek positif pada pendatang baru: rasa tenteram dan meningkatnya harga diri; fleksibilitas dan keterbukaan kognitif; kompetensi dalam interaksi sosial dan meningkatnya kepercayaan diri dan rasa percaya pada orang lain.
Banyak penduduk musiman yang gagal karena pengalaman guncangan budaya menjadi sangat agresif atau menyendiri secara total. Anderson mengidentifikasi empat tipe “culture shockers”: (1) early returnees--mereka yang keluar pada tahap awal dan menggunakan strategi pulang-pergi untuk berurusan dengan lingkungan “yang tak bersahabat”;
Model Penyesuaian Penduduk Sementara
Model Perubahan Identitas Penduduk Sementara
Beberapa penelitian mengonseptualisasikan proses penyesuaian penduduk musiman dari berbagai perspektif developmental. Konsekuensi menarik dari model-model deskriptif yang berorientasi jenjang ini berpusat pada pertanyaan apakah adaptasi penduduk musiman merupakan satu proses kurva-U atau kurva-W. Lysgaard mengembangkan satu model penyesuaian antarbudaya yang terdiri atas tiga fase yang mencakup penyesuaian awal, krisis, dan penyusaian yang diperoleh kembali. Penyesuaian awal adalah fase optimistis dari proses penyesuaian para penduduk musiman; yang kedua merupakan fase yang menekan ketika realitas terbentuk dan penduduk musiman diluapi ketidakmampuan mereka; yang ketiga adalah fase penetapan, saat penduduk musiman belajar mengatasi lingkungan baru.
Dari gagasan-gagasan tersebut, Lysgaard mengajukan model kurva-U proses penyesuaian penduduk musiman, sekaligus menyatakan bahwa penduduk musiman melalui fase awal ”bulan madu”, lalu mengalami ”kemerosotan” atau fase yang membuat tertekan, dan akhirnya menguasai diri mereka hingga mencapai satu fase dalam mengelola tugas-tugas mereka di luar negeri. Dalam mengembangkan model kurva-U, Gullahorn dan Gullahorn mengajukan model kurva-W dengan enam jenjang: fase bulan madu, permusuhan, penuh humor, merasa seperti di rumah sendiri, guncangan budaya reentry, dan resosialisasi. Sebagai pengembangan lebih lanjut dari model Gullahorn dan Gullahorn ini, dikembangkan model penyesuaian berbentuk W hasil revisi dengan tujuh jenjang untuk menjelaskan proses penyesuaian jangka pendek dan menengah dari penduduk musiman.
Ketujuh jenjang tersebut adalah jenjang bulan madu, permusuhan, penuh humor, in-sync, ambivalensi, guncangan budaya, dan resosialisasi.
Pada tahap bulan madu, penduduk musiman sangat bersemangat menghadapi lingkungan budaya baru mereka. Pada tahap permusuhan, mereka mengalami kebingungan dan disorientasi identitas yang hebat; tak ada satu hal pun yang berhasil dalam fase ini. Dalam tahap penuh humor, penduduk musiman belajar menertawakan kecerobohan-kecerobohan budaya mereka dan mulai menyadari bahwa ada pro dan kontra dalam tiap budaya—seperti ada baik dan buruk dalam tiap masyarakat. Dalam tahap in-sync, mereka mulai merasa seperti ada di lingkungan sendiri dan mengalami keamanan dan inklusi identitas. Batas antara outsider dan insider semakin kabur dan para pendatang mengalami penerimaan dan dukungan sosial. Saat telah berada di zona kenyamanan, mereka harus pulang. Dalam tahap ambivalensi, mereka mengalami duka, nostalgia, dan kebanggaan, yang bercampur dengan rasa lega sekaligus sedih karena mereka akan pulang. Dalam tahap guncangan budaya saat masuk kembali, penduduk musiman menghadapi satu sentakan tak terduga. Karena sifatnya yang tak terduga, guncangan budaya reentry biasanya berdampak lebih hebat. Mereka biasanya merasa lebih tertekan dibandingkan dengan ketika mereka masuk. Pada tahap resosialisasi, beberapa individu secara diam-diam mengasimilasikan diri mereka kembali pada peran-peran dan perilaku lama mereka tanpa menimbulkan gelombang atau tanpa tampil berbeda dari kolega-kolega mereka. Beberapa individu lain tak dapat masuk kembali ke dalam budaya asal mereka (alienator). Beberapa individu lain mungkin menjadi agen perubahan dalam budaya atau organisasi asal mereka. Mereka secara penuh pertimbangan mengintegrasikan pengalaman belajar di luar negeri dengan hal-hal positif lain dari budaya asal mereka. Mereka menerapkan cara berpikir multidimensional, kecerdasan emosi yang diperkaya, dan berbagai sudut pandang dalam memecahkan masalah atau mendorong perubahan demi terciptanya organisasi pembelajaran yang benar-benar inklusif. Mereka juga tidak takut terlihat berbeda di tempat asal mereka karena mereka memiliki pengalaman menjadi orang yang berbeda saat di luar negeri. Mereka merasa nyaman dengan proses berayun identitas ganda. Para transformer ini menjadi individu-individu yang telah memiliki kecermatan, rasa iba, dan kebijakan.
Pada dasarnya, model penyesuaian berbentuk W yang telah direvisi menekankan beberapa karakteristik selama proses perubahan identitas para penduduk musiman:
1. mereka perlu memahami puncak dan titik rendah, pergeseran positif dan negatif, yang membentuk perubahan identitas dalam lingkungan asing, menyadari bahwa perubahan naik-turun perasaan merupakan bagian dari proses perubahan dan perkembangan,
2. Mereka mesti menyadari dan mengikuti tujuan instrumental, relasional dan identitas mereka dalam budaya baru; kesuksesan dalam satu set tujuan tertentu mempengaruhi keberhasilan mencapai tujuan lain,
3. mereka perlu memberikan diri mereka waktu dan ruang untuk menyesuaikan diri,
4. mereka perlu mengembangkan ikatan kuat dan ikatan lemah untuk melindungi mereka dan tempat mencari bantuan pada saat diperlukan,
5. mereka perlu mencari kesempata untuk berpartisipasi dalam event budaya besar milik budaya tuan rumah dan melibatkan diri dalam kesempatan langka itu serta belajar menikmati budaya lokal semaksimal mungkin.
Reentry Culture Shock
Reentry culture shock melibatkan penyelarasan identitas baru seseorang dengan lingkungan yang dulunya akrab dengan orang tersebut, dan biasanya lebih menekan dan mengguncangkan dibandingkan dengan guncangan budaya entry. Setelah tinggal di luar negeri selama beberapa lama, hal ini tak terhindarkan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi guncangan budaya reentry:
1. perubahan identitas penduduk musiman
2. citra-citra nostalgia dan ideal tentang budaya asal mereka
3. kesulitan mereka dalam melakukan reintegrasi diri mereka menuju jalur karier lama dan peran karier karena sudut pandang budaya baru mereka
4. kekecewaan mereka karena tak terpenuhinya harapan akan keeratan ikatan dengan keluarga dan teman, yang kini telah jauh karena perpisahan yang lama
5. keluarga dan teman tak begitu berminat mendengarkan cerita mereka sebagai returnees lalu mereka jadi tak sabar
6. tuntutan budaya asal atas konformitas dan harapan sesuai dengan peran lama mereka
7. tak adanya perubahan dalam budaya asal atau sebaliknya terlalu banyak perubahan
Dengan demikian, reentry culture shock dapat dipahami dari tiga domain: kesiapan returnees untuk melakukan resosialisasi dalam lingkungan asal, derajat perubahan dalam pertemanan dan jaringan keluarga returnees, kondisi penerimaan di tempat asal.
Rekomendasi Sussman:
Pada level individu, kesadaran akan perubahan mesti menjadi komponen utama pelatihan reentry karena individu menghadapi banyak tantangan psikologis dan lingkungan.
Rekomendasi Pusch dan Loewenthall:
1. pengenalan apa yang ditinggalkan dan apa yang didapatkan para sojourner selama penugasan di luar negeri,
2. harga emosional dari transisi
3. nilai kecemasan—mengantisipasi dan bersiap menghadapi kesulitan yang mungkin muncul
4. kebutuhan akan sistem pendukung dan cara mengembangkannya
5. perlunya mengembangkan strategi seseorang saat pulang.
Menurut Adler, ada tiga tipe manajer returnee dalam kaitannya dengan strategi transisi tertentu yang mereka terapkan:
1. resocialized returnees: mereka yang tak menyadari bahwa mereka telah mempelajari kemampuan-kemampuan baru dalam budaya baru, secara psikologis memiliki jarak dengan pengalaman internasional tersebut
2. alienated returnees: mereka yang menyadari kemampuan-kemampuan, dan gagasan-gagasan baru dari pengalaman mereka di luar negeri, namun mengalami kesulitan menerapkannya di organisasi asal.
3. proactive returnees: mereka yang amat menyadari kemampuan-kemampuan, dan gagasan-gagasan baru dari pengalaman mereka di luar negeri dan berusaha mengintegrasikan nilai-nilai dan praktik-praktik baru dengan budaya asal dan mengembangkan pandangan sinergistis dalam fase reentry mereka.
Model Perubahan Identitas Imigran dan Minoritas
Akulturasi adalah proses beranekasegi dan multidimensional yang melibatkan proses perubahan level sistem dan individu.
Para antropologis: akulturasi adalah kontak langsung yang berlangsung terus-menerus antara kelompok-kelompok individu yang memproduksi perubahan berikutnya dalam pola-pola budaya salah satu atau dua kelompok tersebut.
Komunikasi antarbudaya: akulturasi mengacu pada proses perubahan level individu yang terjadi karena kontak langsung yang diperpanjang dengan budaya baru.
Transformasi individu ini dapat terjadi dalam masyarakat yang monokultural atau pluralistis.
Dalam masyarakat monokultural dengan tuntutan akan konformitas yang tinggi, akulturasi bagi inhabitan jangka panjang secara tipikal bersifat unidirectional. Dalam masyarakat pluralistis, akulturasi dapat mengambil banyak bentuk dan arah. Konsep akulturasi melibatkan banyak isu, seperti batas dalam kelompok/ luar kelompok, tekanan konformitas, perilaku dan hubungan kelompok minoritas-mayoritas, dan pemeliharaan warisan etnis serta asimilasi budaya yang lebih besar.
Dari perspektif tipologis minoritas-mayoritas, penonjolan identitas etnis/kultural dapat dipandang sebagai model empat rangkap yang menekankan orientasi individu terhadap isu-isu pemeliharaan identitas etnis dan identitas budaya yang lebih besar.
Menurut Berry, imigran yang cenderung mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan merendahkan siginifikansi nilai-nilai dan norma-norma budaya baru menerapkan opsi yang berorientasi tradisional. Individu yang mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan pada saat bersamaan menampakkan gerakan untuk menjadi bagian dari masyarakat yang lebih besar menerapkan opsi yang berorientasi bikultural atau integratif. Individu yang menganggap rendah signifikansi nilai-nilai dan norma-norma etnis mereka dan cenderung memandang diri mereka sebagai anggota masyarakat yang lebih besar menerapkan opsi asimilasi. Individu yang kehilangan kontak psikologis/etnis dengan kelompok etnis sekaligus masyarakat yang lebih besar dan mengalami perasaan alienasi dan kehilangan identitas mengalami marjinalisasi.
Perspektif pengembangan identitas rasial/ etnis lebih menekankan sifat opresif-adaptif hubungan antarkelompok dalam satu masyarakat pluralistis. Dari perspektif ini, penonjolan identitas rasial/etnis berkenaan dengan pengembangan kesadaran etnis atau rasial sepanjang satu jalur linear progresif dari perubahan identitas.
Secara integratif, perspektif tipologis dan jenjang memunculkan kerangka ayng membantu kita memahami peran penonjolan identitas/rasial dalam masyarakat pluralistis.
Studi penonjolan identitas etnis mengandung unsur-unsur ethnic-specific dan ethnic-general. Untuk memahami peran penonjolan identitas etnis dalam masyarakat pluralistis, pemeliharaan identitas etnis dan pemeliharaan identitas budaya yang lebih besar mesti dipertimbangkan.
Adaptasi Antar-Budaya: Hasil Efektif
Hasil di Level Sistem dan Level Interpersonal
Ketidakperhatian terhadap berbagai isu di tempat kerja dapat menyebabkan:
1. rendahnya moral karena benturan budaya,
2. tingginya ketidakhadiran karena tekanan psikis,
3. tingginya biaya akibat turnover karyawan yang tinggi,
4. banyaknya waktu terbuang karena miskomunikasi antara pegawai yang berbeda-beda,
5. tersia-sianya sejumlah besar energi dan kreativitas personal yang dikeluarkan dalam resistensi aktif terhadap perubahan yang tak terhindarkan.
Keuntungan jangka panjang dari pengelolaan keragaman secara efektif pada level sistem dan organisasi:
1. pemanfaatan maksimal modal manusia pada organisasi,
2. meningkatnya pengetahuan dan saling menghargai di antara berbagai karyawan,
3. dengan begitu, komitmen pun meningkat di antara karyawan yang berbeda-beda pada berbagai level organisasi di semua fungsi,
4. inovasi dan fleksibilitas meningkat karena ”others” terlibat lebih aktif dalam kelompok pemecah masalah,
Hasil Perubahan Identitas Personal
Dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi komunikator yang resourceful dalam satu budaya yang baru, seseorang mesti secara konstan menjalani satu jalur yang sempit seraya menyeimbangkan berbagai tindakan identitas. Ia harus mengabaikan stabilitas demi mendapatkan stabilitas, harus mengalami pembedaan untuk dapat masuk ke dalam kelompok, harus berani mengambil risiko kehilangan kepercayaan untuk meraih kepercayaan. Akhirnya, seorang pendatang baru mesti bersedia untuk menjadi satu anonimitas dalam satu teritori tak dikenal dalam rangka menjadi anggota penuh yang diakui dalam budaya baru.
Rekomendasi
Secara keseluruhan, berdasarkan berbagai temuan riset, ada beberapa rekomendasi untuk mengelola guncangan budaya para pendatang baru secara efektif:
1. Pendatang baru mesti menyadari bahwa guncangan budaya merupakan satu pengalaman tak terhindarkan bagi sebagian besar orang ketika pindah dari satu lingkungan yang dikenal ke yang tak dikenal. Culture shock disebabkan oleh ketakutan dan ancaman identitas dalam lingkungan tak terduga.
2. Pendatang baru mesti memahami bahwa guncangan budaya meningkat karena lingkungan tak dikenal yang dipenuhi isyarat-isyarat tak dikenal. Mengembangkan satu jaringan pertemanan berdasarkan etnis yang mendukung dan masuk ke dalam latar baru secara pelan-pelan membantu mereka memulihkan keadaan ekuilibrium identitas.
3. Para pendatang musiman dan imigran mesti menyadari bahwa bagian tekanan budaya itu diakibatkan rasa mereka tentang disorientasi akut dalam kaitannya dengan norma-norma dan skrip-skrip tak dikenal dalam budaya baru. Dengan begitu, berupaya untuk membangun kontak dengan anggota lain dalam budaya tuan rumah dan belajar berkomunikasi dengan mereka dapat meningkatkan pengetahuan lokal dan mengurangi perasaan rapuh. Pada saat yang bersamaan, semakin besar upaya anggota budaya tuan rumah untuk membantu dan meningkatkan keakraban mereka dengan pendatang baru, semakin mungkin mereka meningkatkan rasa aman dan diterima pada diri pendatang baru.
4. Guncangan budaya sebagian disebabkan oleh perasaan ketidakmampuan. Dengan mencari peran-peran positif anutan dan mentor, pendatang baru dapat menemukan translator andal untuk memuluskan fase awal dan developmental adaptasi mereka.
5. Pendatang baru harus menyadari bahwa guncangan budaya adalah fase afektif transisional stres yang surut dan mengalir dari intensitas tinggi ke rendah. Mereka perlu berpegangan pada rasa humor dan menekankan aspek positif lingkungan ketimbang memikirkan aspek negatifnya.
6. Pendatang baru dapat menyingkirkan ancaman identitas mereka dengan (a) meningkatkan motivasi untuk mempelajari budaya baru, (b) menjaga harapan mereka tetap realistis dan meningkatkan familiarity berkenaan dengan berbagai segi budaya baru, (c) meningkatkan kefasihan linguistik mereka dan mempelajari mengapa, bagaimana, dan dalam situasi apa frasa-frasa dan gestures tertentu cocok, serta memahami nilai-nilai inti budaya berhubungan dengan perilaku tertentu, (d) memperhatikan toleransi mereka terhadap ambiguitas dan atribut personal fleksibel mereka, (e) mengembangkan ikatan yang kuat (persahabatan) dan ikatan lemah (kenalan) untuk mengelola tekanan dan kesepian identitas, (f) menggunakan mass media untuk memahami kompleksitas budaya tuan rumah, (g) bersikap penuh pertimbangan soal perilaku antarpribadi mereka dan menunda evaluasi yang terburu-buru terhadap budaya tuan rumah atau yang baru diterima.
Identitas dan Komunikasi Antarbudaya
Terdapat tiga perspektif kontemporer utama pada identitas:
§ Menekankan bahwa identitas tersebut dibentuk sebagian oleh diri dan sebagian lagi dalam hubungannya dengan anggota kelompok. Berdasarkan perspektif ini, diri terdiri dari berbagai banyak identitas dan pengetahuan tentang identitas ini terikat pada budaya. Karena itulah, bagaimana kita memahami diri sangat bergantung pada latar belakang budaya.
§ Perspektif lintas budaya. Budaya Amerika selalu menekankan pada generasi mudanya untuk mengembangkan rasa yang kuat akan identitas, untuk mengetahui siapa diri mereka, menjadi mandiri dan bergantung pada diri sendiri. Hal ini mencerminkan sebuah penekanan pada nilai budaya individualisme. Akan tetapi, hal ini tentu saja tidak terjadi di negara lain. Psikolog lintas budaya Alan Roland (1988) telah mengidentifikasikan tiga aspek universal dari identitas yang ada di dalam semua individu: (1) identitas individu, rasa independen ‘aku’ yang berbeda dengan yang lain; (2) identitas keluarga, hadir dalam budaya kolektif, menekankan pada pentingnya kedekatan dan ketergantungan emosional satu sama lain; (3) identitas spiritual, kenyataan spiritual dalam diri manusia
B. Perspektif Komunikasi
§ Dibangun di atas gagasan-gagasan tentang pembentukan identitas yang telah disinggung sebelumnya, tetapi dalam pengertian yang lebih dinamis. Perspektif ini menekankan bahwa identitas dinegosiasikan, dibentuk, dikuatkan, dan ditantang melalui komunikasi dengan orang lain; mereka muncul ketika pesan-pesan dikomunikasikan (Hecht, Collier, & Ribeau, 1993). Mempresentasikan pemikiran kita bukanlah proses yang sederhana. Apakah seseorang melihat diri kita seperti adanya? Mungkin tidak. Untuk itulah untuk memahami bagaimana gambaran ini saling berhubungan, dibutuhkan konsep avowal dan ascription.
§ avowal: proses di mana individu menggambarkan diri.
ascription: proses di mana orang lain memberikan atribut pada identitas individual.
§ Inti dari perspektif komunikasi adalah pemikiran bahwa identitas diekspresikan secara komunikatif dalam simbol inti, label, dan norma. Simbol inti merupakan kepercayaan mendasar dan konsep utama yang membedakan identitas tertentu. Label adalah sebuah kategori simbol inti. Label merupakan istilah yang digunakan untuk mengacu pada aspek tertentu dari identitas milik kita dan orang lain. Norma adalah beberapa nilai-nilai dari tingkah laku yang berhubungan/berkaitan dengan identitas tertentu.
C. Perspektif Kritis
§ Melihat identitas secara lebih dinamis, sebagai akibat dari konteks yang cukup jauh dari individu.
§ Pembentukan identitas kontekstual: pembentukan identitas dengan melihat konteks sejarah, ekonomi, politik, dan wacana.
§ Resisting ascribed identities: ketika seseorang dihadapkan pada berbagai wacana mengenai identitas, ia itu ditarik ke dalam dorongan sosial yang memunculkan wacana tersebut. Seseorang mungkin akan menolak posisi (identitas) yang mereka berikan dan mencoba mengambil identitas lain.
§ Sifat dinamis identitas: dorongan sosial yang membangkitkan identitas-identitas tersebut tidak pernah stabil dan selalu berubah.
2. Identitas Sosial dan Budaya
§ Identitas gender: ditentukan bukan oleh jenis kelamin sebagai pria dan perempuan secara biologis, tetapi lebih pada peran sebagai pria dan perempuan dalam lingkungan sosial masyarakat.
§ Identitas umur: seseorang dituntut oleh budaya mereka untuk bersikap dan berpenampilan sesuai dengan umurnya.
§ Identitas rasial: identitas ini berbeda dengan identitas etnis. Identitas rasial lebih didasarkan kepada perluasan karakteristik fisik. Identitas ini juga dikonstruksi di dalam konteks sosial. Sifatnya tidak menentu, kompleks dengan berbagai makna sosial.
§ Identitas etnis: sering dilihat sebagai serangkaian pemikiran mengenai anggota kelompok etnis seseorang. Hal ini terdiri dari berbagai dimensi: (1) identifikasi diri, (2) pengetahuan mengenai budaya etnis (tradisi, kebiasaan, nilai-nilai dan tingkah laku, (3) perasaan memiliki pada kelompok etnis tertentu.
§ Identitas religi: identitas ini berkaitan pada keyakinan yang dianut kelompok masyarakat. Sering dikaitkan dengan suatu kelompok etnis tertentu dan sering pula menimbulkan konflik antarbudaya.
§ Identitas kelas: identitas yang dilihat berdasarkan kelas ekonomi dan sosial di dalam masyarakat. Kemampuan ekonomi dapat mengangkat kelas sosial seorang individu di dalam masyarakat. Identitas ini memainkan peranan yang sangat penting dalam membentuk persepsi dan pemahaman kita akan budaya.
§ Identitas nasional: identitas ini dilihat dari kewarganegaraan seseorang.
§ Identitas regional: identitas yang dilihat dari wilayah suatu negara yang ditempati.
§ Identitas pribadi: identitas pribadi seorang individu. Identitas ini sangat penting karena memegang peranan penting berhasil atau tidaknya sebuah interaksi atau komunikasi.
3. Identitas, Stereotipe, dan Prasangka
§ Karakteristik identitas yang telah dibahas sebelumnya sering membentuk dasar stereotipe, prasangka, dan rasialisme. Kita menggunakan stereotipe untuk mengkategorikan dan menggeneralisasikan informasi-informasi yang kita terima. Stereotipe dapat menjadi hal positif ataupun negatif.
§ Prasangka; merupakan sikap negatif pada kelompok budaya yang didasarkan kurangnya pengetahuan ataupun pengalaman mengenai kelompok budaya tersebut. Apabila stereotipe menggambarkan pada kita seperti apa kelompok budaya tersebut, maka prasangka menggambarkan bagaimana perasaan kita seharusnya mengenai kelompok tersebut (Newberg, 1994).
§ Mengapa masyarakat memiliki prasangka? Richard Brislin (1999) mengidentifikasikannya dalam empat fungsi:
a. The utilitarian function: orang memiliki prasangka tertentu karena prasangka itu dapat membawanya pada imbalan tertentu.
b. The ego-defensive function: seseorang memiliki prasangka karena dia tidak ingin mempercayai hal-hal yang tidak menyenangkan mengenai dirinya sendiri.
c. The value-expressive function: orang memiliki prasangka tertentu karena prasangka tersebut memperkokoh aspek-aspek yang amat dihargai dalam kehidupan.
d. The knowledge function: seseorang memiliki prasangka karena itu membuat mereka bisa mengatur dan mengonstruksi dunia mereka dalam cara yang masuk akal untuk mereka sendiri.
§ Diskriminasi merupakan sikap yang dihasilkan dari stereotipe dan prasangka
4. Masalah-Masalah Perkembangan Identitas
§ Perkembangan Identitas Minoritas
Psikolog sosial mengidentifikasikan empat tahap dalam perkembangan identitas minoritas (Ponterotto & Pedersen, 1993).
a. Unexamined identity: tahap ini ditandai oleh kurangnya etnis yang dieksplorasi. Dalam tingkat ini, pemikiran mengenai identitas dapat datang dari orangtua ataupun teman.
b. Comformity: tahap ini ditandai oleh internalisasi nilai dan norma dari kelompok dominan dan keinginan yang kuat untuk berasimilasi ke dalam budaya yang dominan.
c. Resistance and separatism: berbagai macam peristiwa dapat memicu gerakan dari tahap tiga ini, termasuk diskriminasi atau hinaan terhadap seseorang.
d. Integration: menurut model ini, pengeluaran ideal dari proses perkembangan identitas adalah diraihnya sebuah identitas. Individu yang telah mencapai tahap ini memiliki sebuah rasa yang amat kuat terhadap kelompok identitas mereka (baik itu gender, ras, etnis, orientasi seksual, dan lain sebagainya) dan penghargaan pada kelompok budaya lainnya.
§ Perkembangan Identitas Mayoritas
Rita Hardiman (1994) mempresentasikan suatu model perkembangan identitas mayoritas untuk anggota kelompok dominan. Ia menguraikannya dalam lima tahap sebagai berikut:
a. Unexamined Identity: tahap pertama ini hampir sama dengan tahap pertama pada perkembangan identitas minoritas. Hanya, dalam hal ini individu harus waspada pada beberapa perbedaan fisik dan budaya. Tetapi, kewaspadaan tersebut tidak harus sampai pada tahap di mana seorang individu takut pada kelompok rasial lain atau merasa ada superioritas.
b. Acceptance: tahap kedua ini merepresentasikan internasionalisasi, sadar ataupun tidak sadar, dari sebuah ideologi rasial. Intinya adalah bahwa individu tidak waspada bahwa mereka telah diprogram untuk menerima satu pandangan yang telah mengglobal.
c. Resistance: tahap ini mempresentasikan sebuah pergantian paradigma besar.
d. Redefinition: dalam tahap ini, masyarakat mulai kembali fokus atau mengatur energi mereka pada pendefinisian ulang, yaitu menegaskan kembali makna kulit putih di dalam terminologi yang bebas rasialisme.
e. Integration: sebagai tahap akhir dari perkembangan identitas minoritas, individu kelompok mayoritas saat ini telah dapat menyatukan identitas ras mereka ke dalam semua rupa identitas mereka. Mereka tidak hanya menyadari identitas mereka sebagai sebuah ras, tetapi juga menghargai kelompok budaya lain.
§ Karakteristik Identitas Kulit Putih
Ruth Frankenburg (1993) mengatakan bahwa ‘whiteness’ dapat didefinisikan tidak hanya pada terminologi ras atau etnisitas tetapi juga serangkaian dimensi yang saling berhubungan, antara lain:
o Hak Istimewa sebuah ras yang dominan.
o Keyakinan di mana orang-orang kulit putih melihat diri mereka sendiri, kelompok lain, dan masyarakat.
o Serangkaian praktik budaya--terkadang tidak terlihat dan tak bernama.
§ Masyarakat Multirasial dan Multikultural
o Masyarakat multikultural adalah mereka yang besar dan tumbuh di dalam dua budaya atau lebih.
o Masyarakat multirasial adalah mereka yang dilahirkan dari dua ras yang berbeda.
5. Identitas dan Bahasa
§ Label-label yang mengacu pada identitas tertentu merupakan bagian penting dari komunikasi antarbudaya. Label-label ini tidak ada di luar makna relasional mereka. Adalah hubungan itu--bukan hanya interpersonal tetapi juga sosial--yang membantu kita memahami pentingnya sebuah label.
6. Identitas dan Komunikasi
Identitas telah memberikan pengaruh yang amat besar dalam proses komunikasi.
§ Dinamika individu-budaya. Dapat digunakan untuk meneliti masalah yang muncul ketika bertemu dengan seseorang yang identitasnya tidak kita ketahui. Dalam interaksi komunikasi antarbudaya, identitas yang salah kerap jadi lebih buruk dan dapat menciptakan masalah komunikasi. Seringkali kita berasumsi bahwa pengetahuan mengenai identitas orang lain didasarkan pada keanggotaannya pada kelompok budayanya. Namun, hal itu jelas mengesampingkan aspek individual dari seseorang tersebut. Perspektif dialektikal dapat membantu kita mengenali dan menyeimbangkan aspek individual dan budaya dari identitas orang lain.
§ Dialektika statis-dinamis. Setiap harinya kita dihujani informasi dari berbagai belahan dunia mengenai tempat atau orang lain. Informasi yang berlimpah dan kontak antarbudaya telah meningkatkan pentingnya perkembangan sebuah pandangan kompleks mengenai identitas lebih banyak lagi.
§ Dialektika personal-kontekstual. Walaupun beberapa dimensi dari identitas kita adalah hal yang pribadi dan tetap konsisten, kita tidak dapat melewati hambatan kontekstual dari identitas kita.
Komunikasi Antarbudaya yang Mindful: Satu Perspektif Negosiasi Identitas
1. Perspektif Negosiasi Identitas
Perspektif negosiasi identitas:
§ menekankan kaitan antara nilai-nilai kultural dan konsepsi diri;
§ menerangkan bagaimana konsepsi diri seseorang mempengaruhi kognisi, emosi, dan interaksi;
§ menjelaskan mengapa dan bagaimana orang membentuk batas-batas antarkelompok;
§ menggambarkan keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda dari para individu dalam hal menginginkan otonomi inklusi--pembedaan dan hubungan—dalam hubungan-hubungan mereka;
§ memetakan faktor-faktor yang berkontribusi pada terjadinya keguncangan identitas.
A. Latar Belakang Teoritis
§ Dasar fundamental teori negosiasi identitas: individu dalam semua budaya memiliki keinginan untuk menjadi komunikator yang kompeten dalam berbagai situasi interaktif.
§ Dua sumber identitas yang mempengaruhi interaksi keseharian individu: identitas group-based dan identitas person-based.
§ Kesadaran kita tentang identitas keanggotaan kelompok dan personal kita berasal terutama dari internalisasi sudut pandang orang lain di sekeliling kita (Mead, 1934).
§ Proses inti konsepsi diri reflektif para individu dibentuk melalui komunikasi simbolis dengan orang lain (McCall & Simmons, 1978) (lihat salah satu tulisan kedua orang ini di sini).
§ Dalam mengembangkan teori identitas sosial, Tajfel dan rekan (Tajfel, 1981, 1982;J.C. Turner, 1985, 1987) menyatakan bahwa identitas sosial mengacu pada konseptualisasi diri para individu yang berasal dari keanggotaan dalam kategori atau kelompok yang signifikan secara emosional (Brewer & Miller, 1996). Identitas personal, di sisi lain, mengacu pada konsepsi diri para individu yang “mendefinisikan individu dalam kaitannya dengan individu-individu lain” (Brewer & Miller, 1996, p.24).
§ Yang termasuk identitas sosial: identitas keanggotaan etnis atau budaya, identitas gender, identitas orientasi seksual, identitas kelas sosial, identitas usia, identitas kecacatan, atau identitas profesional. Yang termasuk identitas pribadi: segala atribut unik yang kita asosiasikan dengan diri yang kita individualisasikan dalam perbandingannya dengan milik orang lain.
§ Lebih jauh lagi, teori identitas sosial mengasumsikan bahwa we berhubungan dengan orang lain melalui dua tipe persepsi: persepsi intergroup-based dan persepsi interpersonal-based. Namun, dalam pertemuan antarbudaya yang sebenarnya, dua tipe keterkaitan itu hadir.
§ Teori identitas sosial dan teori interaksi simbolis menyatakan secara jelas bahwa proses mendefinisikan diri pribadi merupakan proses sosial.
B. Domain-Domain Identitas Primer
§ Dalam perspektif negosiasi identitas, istilah identitas berarti konsepsi diri atau citra diri refektif yang kita dapat dari proses sosialisasi budaya, etnis, dan gender. Identitas didapat melalui interaksi dengan orang lain dalam situasi yang khusus. Dengan demikian identitas pada dasarnya mengacu pada pandangan refleksif kita tentang diri kita—dalam level identitas sosial dan personal.
§ Perspektif negosiasi identitas menekankan delapan domain dalam mempengaruhi identitas dalam interaksi keseharian kita, empat di antaranya, domain-domain citra diri, identitas budaya, etnis, gender, dan pribadi, merupakan identitas primer yang memasukkan pengaruh yang penting dan terus berlangsung sepanjang hidup, sedangkan empat yang lain, yakni identitas peran, relasional, facework, interaksi simbolis, bergantung pada situasi, berubah dari satu situasi ke situasi lain. Kedua jenis identitas itu saling mempengaruhi. Selain itu, kedelapan domain identitas itu dipandang sebagai satu konsep diri komposit tiap individu terhadap budaya.
2. Teori Negosiasi Identitas
§ Teori negosiasi identitas menekankan bahwa identitas atau konsepsi diri refleksif dipandang sebagai mekanisme eksplanatori bagi proses komunikasi antarbudaya. Identitas dipandang sebagai citra diri reflektif yang dikonstruksi, dialami, dan dikomunikasikan oleh para individu dalam satu budaya dan dalam satu situasi interaksi tertentu.
§ Konsep negosiasi didefinisikan sebagai proses interaksi transaksional di mana para individu dalam satu situasi antarbudaya mencoba memaksakan, mendefinisikan, mengubah, menantang, dan/atau mendukung citra diri yang diinginkan pada mereka atau orang lain. Negosiasi identitas merupakan aktivitas komunikasi.
§ Beberapa individu bersikap mindless dalam menghadapi negosiasi identitas, sedangkan individu lain bersikap mindful menghadapi dinamika proses ini. Mindfulness ini merupakan satu proses “pemfokusan kognitif” yang dipelajari melalui latihan-latihan keterampilan yang dilakukan berulang-ulang.
§ Ada 10 asumsi teoritis inti berkaitan dengan komunikasi antarbudaya yang mindful ini.
3. Komunikasi Antarbudaya yang Mindful
Mindfulness berarti kesiapan untuk menggeser kerangka referensi, motivasi untuk menggunakan kategori-kategori baru untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya atau etnis, dan kesiapan untuk bereksperimen dengan kesempatan-kesempatan kreatif dari pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Sebaliknya mindlessness adalah ketergantungan yang amat besar pada kerangka referensi yang familiar, kategori dan desain yang rutin dan cara-cara melakukan segala hal yang telah menjadi kebiasaan.
Untuk menjadi komunikator yang mindful, individu mesti mempelajari sistem nilai yang mempengaruhi konsepsi diri orang lain. Ia perlu membuka diri terhadap satu cara baru konstruksi identitas. Ia juga perlu siap untuk memahami satu perilaku atau masalah dari sudut pandang budaya orang lain. Ia juga mesti waspada bahwa banyak perspektif hadir dalam upaya interpretasi satu fenomena dasar.
Kriteria komunikasi yang mindful:
o Kecocokan: ukuran di mana perilaku dianggap cocok dan sesuai dengan yang diharapkan oleh budaya.
o Keefektifan: ukuran di mana komunikator mencapai shared meaning dan hasil yang diinginkan dalam satu situasi tertentu.
o Pengetahuan: pemahaman kognitif yang dimiliki seseorang dalam rangka berkomunikasi secara tepat dan efektif dalam satu situasi tertentu.
o Motivasi: kesiapan kognitif dan afektif serta keinginan untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif dengan orang lain.
o Keterampilan:kemampuan operasional sebenarnya untuk menampilkan perilaku-perilaku yang dianggap sesuai dan efektif dalam situasi tertentu.
Kompetensi Komunikasi Transkultural (TCC)
TCC mengacu pada satu pendekatan teori-praktik yang integratif dan membuat kita bisa mengaplikasikan secara mindful pengetahuan antarbudaya yang kita pelajari secara sensitif. Secara spesifik, TCC mengacu pada satu proses transformasi yang menghubungkan pengetahuan interkultural dengan praktik yang kompeten.
Kata transkultural menyampaikan gagasan bahwa ada bagian pengetahuan dan kemampuan dalam literatur komunikasi antarbudaya yang dirancang untuk membantu orang berkomunikasi secara pantas dan efektif dalam beragam situasi antarbudaya.
Empat hal yang dibahas di sini adalah kriteria-kriteria TCC, komponen-komponen TCC, diskusi etika antarbudaya, dan beberapa rekomendasi akhir.
Kriteria Kompetensi Komunikasi Transkultural
Dari perspektif negosiasi identitas, kita bisa menekankan bahwa tujuan utama dari tiap situasi antaretnis dan antarbudaya adalah mengelola isi, proses, dan isu-isu relasional dan identitas keanggotaan kelompok secara layak, efektif, dan memuaskan.
Sebagai tambahan dari isu-isu yang berkaitan dengan isi, pandangan ini menekankan betapa pentingnya memahami berbagai tipe dan kebutuhan identitas para individu dari berbagai kebudayaan. Pandangan ini juga mementingkan kemampuan operasional yang dibutuhkan untuk mengelola keragaman dalam berbagai episode antarbudaya.
Ada tiga kriteria TCC yang akan dibahas di sini: Kriteria kelayakan, kefektifan, dan kepuasan. Ketiga kriteria tersebut didapat melalui pertukaran kompeten pesan-pesan verbal dan nonverbal antara orang-orang dari budaya yang berbeda. Pertukaran pesan yang kompeten berarti bahwa para komunikator dari budaya yang berbeda itu dipahami dalam konteks yang tepat dan mencapai efek yang diinginkan.
Kelayakan mengacu pada tingkat di mana perilaku yang dipertukarkan dianggap pantas dan cocok dengan harapan para orang dalam budaya tersebut
Kefektifan mengacu pada tingkat di mana para komunikator mencapai makna yang sama dan hasil goal-related yang diinginkan.
Teori nedosiasi identitas mengasumsikan bahwa manusia dalam semua budaya menginginkan afirmasi positif dari manusia lain dalam hal identitas kelompok dan identitas personal. Para individu cenderung lebih puas dalam interaksi di mana citra-citra identitas yang mereka inginkan dapat diperoleh atau divalidasi. Mereka cenderung akan merasa tidak puas jika citra identitas yang mereka inginkan ditolak atau tidak dikonformasi.
Ketiga kriteria TCC dapat berfungsi sebagai alat ukur evaluasi episode interaksi antarbudaya. Komunikator transkultural yang dinamis, adalah orang yang menciptakan dan mengelola makna-makna secara layak, efektif, dan memuaskan dalam berbagai situasi budaya.
Komponen-Komponen TCC
TCC mengacu pada proses operasionalisasi pengintegrasian pengetahuan, mindfulness, dan kemampuan berkomunikasi dalam mengelola perbedaan-perbedaan keanggotaan kelompok pada level transkultural. Untuk bisa terlibat dalam TCC yang optimal, kita mesti memiliki pengetahuan mendalam, minfulness yang tinggi, dan kemampuan komunikasi yang kompeten dan dapat menerapkannya secara etis dalam berbagai situasi antarbudaya.
Tiga komponen TCC yang dibahas di sini adalah blok pengetahuan, mindfulness, dan kemampuan komunikasi.
Pengetahuan di sini mengacu pada beberapa informasi berikut: asumsi-asumsi pemandu tentang komunikasi antarbudaya, satu model komunikasi antarbudaya yang mindful, perbedaan-perbedaan orientasi nilai budaya, fungsi-fungsi bahasa dan gaya interaksi verbal lintas budaya, perbedaan-perbedaan komunikasi nonverbal antarbudaya, aturan-aturan batas antarkelompok/dalam kelompok dan proses pembentuka stereotipe, identitas dan tema-tema relasional dalam mengelola pengembangan hubungan-hubungan antarbudaya, faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan konflik antarbudaya, dan isu-isu TCC.
Secara keseluruhan, blok pengetahuan di sini fokus pada bagaimana para individualis dan kolektivis menegosiasikan komunikasi, konflik, perbedaan hubungan melalui gaya-gaya komunikasi verbal dan nonverbal yang distingtif.
Mindfulness (Thich, 1991) berarti mengikuti asumsi internal, kognisi, dan emosi seseorang dan secara terus-menerus menyesuaikan diri dengan asumsi, kognisi, dan emosi orang lain. Refleksivitas yang mindful mengharuskan kita mendengarkan asumsi-asumsi habitual budaya dan pribadi kita dalam memandang satu interaksi. Bersikap mindful membuat kita menyadari posisi orang lain dan lebih banyak menyaring pandangan etnosentris kita.
Kemampuan berkomunikasi mengacu pada kemampuan operasional kita untuk berinteraksi secara layak, efektif, dan memuaskan dalam satu situasi. Ada empat kemampuan komunikasi utama yang dapat digunakan dalam situasi antarbudaya yang berbeda-beda: mindful observation, mindful listening, konfirmasi identitas, dan dialog kolaboratif.
Dari Etika Antarbudaya ke Etika Transkultural
Etika merupakan sebuah prinsip tingkah laku yang mengatur sikap individu dan kelompok. Pendekatan etis mewakili sebuah pandangan komunitas tentang yang baik dan buruk pada tingkah laku manusia dan menuju pada suatu norma yang mengatur tindakan. Etika mengatur apa yang boleh dan tidak boleh serta menetapkan standar sikap manusia.
Etika antarbudaya digunakan untuk melingkupi pendekatan dan isu dari absolutisme etis versus relativismne etis. Etika transkultural digunakan untuk melihat lebih dalam pendirian moral, karakter, dan sikap dari komunikator transkultural.
Absolutisme Etis versus Relativisme Etis
Absolutisme etis menekankan prinsip benar atau salah sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan secara universal tanpa mengindahkan perbedaan budaya. Sebaliknya, relativisme etis menekankan prinsip benar atau salah dalam konteks nilai dan tujuan dari sebuah kelompok budaya tertentu. Kedua hal tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Pada pendekatan absolutisme etis, pentingnya konteks budaya sangat diminimalkan. Pendekatan ini percaya bahwa standar evaluatif yang sama dan sudah ditetapkan harus dijalani semua budaya dalam mengevaluasi tingkah laku baik dan buruk.
Pada pendekatan relativisme etis, salah atau benar ditentukan sendiri oleh budaya individu tersebut. Pendekatan ini mencoba untuk memahami bahwa setiap kelompok budaya memiliki aturan sendiri. Tindakan tidak dievaluasi kriteria budaya lain.
Pendekatan lain adalah derived ethical-universalism, yang menekankan pentingnya panduan universal etis yang dapat mengatur, tetapi juga menempatkan evaluasi etis pada konteks yang benar, budaya dan waktu. Namun, pendekatan lain yang lebih realistis, yaitu relativisme kontekstual menekankan pada pentingnya memahami praktik problematis dari sebuah perspektif kontekstual. Pendekatan ini mengaplikasikan etika secara kasus per kasus dan konteks.
Eksklusi Moral versus Inklusi Moral
Moralitas melibatkan pengondisian kognitif dan emosi individu atau kelompok dalam satu masyarakat atau komunitas tertentu. Moralitas mengacu pada konsepsi “kesalahan” dan “kebenaran”, atau “a way of being” yang berkenaan dengan pilihan-pilhan dan dilema-dilema etis.
Ekslusi moral terjadi ketika individu atau kelompok dilihat sebagai suatu hal yang berada di luar batas di mana nilai moral, aturan, pertimbangan keadilan berlaku. Eksklusi moral exclusion dapat terjadi dalam kapasitas yang ringan dan berat. Berat, bisa dalam bentuk kekerasan dari hak asasi manusia dan lain sebagainya.
Moral inklusi, sebaliknya, menerapkan cakupan keadilan pada beberapa komunitas yang cencerned dan self-interested. Karateristik yang menggarisbawahi inklusi moral adalah:
1. Kepercayaan bahwa pertimbangan tentang keadilan berlaku di semua kelompok identitas lain.
2. Kemauan untuk mendistribusikan kembali sumber daya ekonomi dan sosial kepada yang tak beruntung.
3. Kemauan untuk berkorban bagi kesejahteraan orang lain.
4. Pandangan bahwa konflik merupakan suatu kesempatan untuk belajar dan bahwa individu berkemauan untuk mengintergasikan berbagai perspektif.
5. Kepercayaan asli tentang kelompok “kita” dalam menginkorporasi para individu dari segala lapisan—pada level global yang sesungguhnya.
Rekomendasi Akhir
Komunikator transkultural yang etis menghargai kesakralan rasa yang dimilikinya tentang diri dan kesakralan rasa orang lain tentang diri mereka. Sebagai kesimpulan, seorang komunikator transkultural yang etis:
1. Menghormati orang dari berbagai budaya dan kelompok atas dasar kesetaraan.
2. Bersedia terlibat dalam mempelajari selama seumur hidup pengetahuan komunikasi culture-universal dan culture-specific.
3. Bersedia membuat pilihan-pilihan yang mindful sebagai respons terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan situasional dari praktik-praktik budaya yang problematis.
4. Bersedia memikul komitmen sosial untuk bekerja demi perubahan yang mindful guna menciptakan masyarakat yang inklusif secara moral.
5. Bersedia menjunjung martabat manusia lain melalui pemikiran yang penuh rasa hormat, hati yang terbuka, visi yang iklusif melalui sudut pandang etnorelatif dan mempraktikkan kompetensi komunikasi transkultural yang mindful.
INVENTING THE COSMO GIRL
Bagaimana Cosmo Girl dibentuk? Apa yang melatarbelakangi kehadiran majalah ini? Bagaimana Cosmo Girl mempengaruhi pembacanya? Informasi di bawah ini dapat menunjukkan bagaimana konsumsi media dapat membentuk persepsi tentang realitas sosial.
Helen Gurley Brown (lihat informasi lengkapnya di sini) adalah mantan sekretaris yang menjadi pemimpin redaksi Cosmopolitan, yang kemudian melahirkan Cosmo Girl. Brown menekankan satu Impian Amerika ala gadis yang menjanjikan transendensi dari peran kelas dan peran seksual.
Melalui Cosmo Girl, majalah pertama yang berpembaca sasaran perempuan lajang yang bekerja, Brown mengubah banyak hal yang berkaitan dengan pandangan dan kehidupan perempuan lajang.
Kredo Brown mensyaratkan pemahaman bahwa identitas merupakan satu hal yang selalu dapat digarap ulang, ditingkatkan, bahkan diubah secara dramatis. Kecantikan bukanlah satu hal yang diperlukan; begitu juga pendidikan tinggi.
Brown menyarankan berbagai saran bagi para perempuan untuk menampilkan ilusi kecantikan, kepalsuan yang cantik, dan menjadi perempuan yang memiliki daya tarik di hadapan para pria. Saat daya tarik itu sudah mereka miliki, para perempuan itu dapat menggunakannya untuk mengambil manfaat-manfaat dari pria (traktiran makan malam, hadiah-hadiah, bahkan ongkos masuk ke taman hiburan). Bahkan menurut Brown, imbalan seks menjadi satu hal yang wajar.
Bukan hanya kepalsuan cantik lahiriah yang disarankan untuk dimiliki, melainkan peniruan total terhadap para model dan perempuan-perempuan kaya serta apa pun yang mereka miliki yang merupakan penanda kultural kelas perempuan-perempuan kaya tersebut: makanan Eropa, seni, bahasa asing, dan buku-buku yang bagus. Strategi performatif ini berakar pada konsep ”modal budaya” Pierre Bourdieu (cari tahu siapa Bourdieu di sini), yang berarti sumber daya simbolis yang menandai dan memperkuat dominasi kelas dalam demokrasi kapitalis.
Setiap gadis dapat memiliki aura yang menarik dan penuh gaya dengan meniru para model busana dan wanita kaya. Pengeluaran untuk pakaian, kosmetika, dan aksesori dianggap sebagai investasi yang sangat penting. Prinsip dasarnya: tidak ada gadis miskin yang seksi.
Upaya para wanita menggunakan segala aura kepalsuan yang cantik itu bermuara pada kesempatan mendapatkan pria kaya yang berkelas. Seorang pria kelas pekerja yang berpenampilan fisik baik pun tetap tidak pantas dipilih karena yang paling penting adalah mendapatkan pria yang bisa membawanya ”naik kelas”.
Helen Gurley Brown (soal Brown juga bisa dilihat di sini) dengan begitu telah menumbuhkan satu wacana baru yang berkaitan dengan identitas, kelas, dan mekanisme kapitalisme. Identitas bukanlah sesuatu yang alamiah dan beku, melainkan cair dan dapat diubah total, bahkan dirombak. Begitu juga dengan kelas sosial. Kita dapat pindah kelas sosial dengan memperluas aura modal budaya kepada massa perempuan. Saratnya anjuran Brown pada para pembaca sasaran untuk bekerja dengan keras dan bersikap amat konsumtif berkaitan dengan fakta bahwa pada tahun pertama penerbitannya, penjualan iklan Cosmo Girl mencapai angka 43 persen dengan oplah sebanyak 100.000.
Wilayah negosiasi identitas yang ditawarkan Brown menjadi wilayah yang nyaman bagi para produsen barang-barang konsumtif. Kebutuhan akan modal budaya pada para perempuan itu--berdasarkan anjuran Brown--menjadi faktor pemicu utama meningkatnya penjualan consumer goods, barang-barang konsumtif. Motif ekonomi terlihat jelas dalam wacana rekonstruksi identitas yang dilakukan Brown ini.
Konsumsi Media dan Persepsi Realitas Sosial: Efek dan Proses yang Melatarbelakangi
Meneliti proses kognitif yang mendasari efek media adalah satu hal yang sangat penting. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita dapat melakukannya dengan dua cara:
1. membahas beberapa prinsip umum yang muncul dari penelitian kognisi sosial dan bagaimana prinsip-prinsip tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan efek media tertentu,
2. menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip umum tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan satu model proses kognitif untuk menjelaskan satu efek media tertentu: efek kultivasi.
Media massa memberikan pengaruh yang sangat besar pada pemirsanya. Itu dianggap sebagai mitos “massive media impact”. Ada dua kritik yang ditujukan pada “mitos” itu:
1. bukti-bukti yang ada hanya memperlihatkan sedikit indikasi soal efek media pada pikiran, perasaan, atau tindakan pemirsa.
2. Kurangnya fokus pada mekanisme eksplanatori. Penelitian efek media lebih menyoroti hubungan antara variabel input dengan variabel output, tapi tidak terlalu mempertimbangkan proses-proses kognitif yang mungkin memediasi hubungan tersebut.
Apakah media hanya memberikan sedikit atau banyak pengaruh, ini belum diketahui dengan pasti. Karena itu, pengembangan model proses kognitif efek media berpotensi untuk mengungkap hubungan-hubungan baru sekaligus memahami hubungan-hubungan yang lama.
Kognisi Sosial dan Efek Media
Kognisi sosial dapat diigambarkan sebagai orientasi pada proses-proses yang terjadi dalam situasi-situasi sosial. Secara lebih spesifik, kognisi sosial berupaya untuk membuka ”black box” yang beroperasi antara stimulus dan response dan dengan begitu fokus pada proses kognitif yang memediasi hubungan antara informasi sosial dan penilaian.
Berkaitan dengan tujuan dalam bab ini, ada dua prinsip penting yang berkaitan yang mendasari penelitian kognisi sosial. Yang pertama adalah prinsip heuristic/sufficiency, yang berkaitan dengan informasi apa yang diingat ketika seseorang akan mengonstruksi satu penilaian. Menurut prinsip ini, saat akan mengonstruksi satu penilaian, seseorang tidak akan mencari dalam memorinya semua informasi yang relevan dengan penilaian yang akan dibuatnya, melainkan hanya mengingat sekumpulan kecil informasi yang tersedia. Keriteria dalam proses penarikan kembali informasi tersebut adalah kecukupan. Artinya yang ditarik kembali hanyalah informasi yang cukup untuk mengonstruk penilaian. Penentu kecukupan di sini adalah berkaitan dengan konsep-konsep seperti motivasi dan kemampuan memproses informasi.
Prinsip kedua adalah prinsip aksesibilitas, yang berkaitan dengan peran aksesibilitas informasi dalam konstruksi penilaian. Dalam bentuknya yang paling sederhana, prinsip ini menyatakan bahwa informasi yang paling cepat masuk ke pikiran adalah informasi yang terdiri atas sekumpulan kecil informasi yang tersedia dan pada gilirannya merupakan informasi yang paling mungkin digunakan untuk mengonstruksi penilaian.
Implikasi dari dua prinsip tersebut di atas berkisar antara penentu aksesibilitas dan konsekuensi aksesibilitas.
Penentu Aksesibilitas
Ada tiga penentu aksesibilitas: frekuensi aktivasi konstruk, kebaruan aktivasi konstruk, kegamblangan suatu konstruk, dan hubungan-hubungan dengan konstruk-konstruk yang dapat diakses.
Tampaknya masuk akal jika kita berpikir bahwa konsumsi media meningkatkan aksesibilitas konstruk-konstruk tertentu. Konsumsi media meningkatkan aksesibilitas, yang mempengaruhi informasi yang menjadi bagian dari sekumpulan kecil informasi yang tersedia.
Konsekuensi Aksesibilitas
Konsekuensi aksesibilitas berkaitan langsung dengan prinsip 2: informasi yang paling mungkin diakses adalah informasi yang paling mungkin digunakan untuk mengonstruksi penilaian. Lebih jauh lagi, bagaimana informasi yang paling mudah diakses digunakan merupakan satu fungsi tipe penilaian yang dibuat.
Ada tiga penilaian dibahas di sini: penilaian tentang orang, penilaian tentang perilaku dan keyakinan, penilaian tentang set-size dan kemungkinan.
Efek Media dan Konsekuensi Aksesibilitas
Ketiga penilaian tersebut dipilih dalam pembahasan karena berkaitan dengan tipe-tipe penilaian yang digunakan dalam studi-studi efek media. Efek-efek berita pada persepsi isu-isu, efek menonton televisi pada persepsi sosial, dan efek penggambaran media pada kekerasan menunjukkan bahwa aksesibilitas berperan sebagai mediator kognitif efek media. Namun, bukti-bukti yang ditampilkan bersifat tidak langsung karena penelitian-penelitian tersebut tidak difokuskan pada prosesnya, melainkan hanya menawarkan penjelasan proses berkaitan dengan hasil yang dicapai.
Model Pemrosesan Heuristik Efek Kultivasi
Efek kultivasi didefinisikan sebagai satu hubungan positif antara frekuensi menonton televisi dengan persepsi sosial yang kongruen dengan dunia sebagaimana digambarkan di televisi—menonton televisi dianggap sebagai faktor kausal.
Proposisi Umum Model
Dua proposisi sederhana dan umum yang didasarkan pada prinsip heuristik/kecukupan dan aksesibilitas membentuk dasar dari model proses kognitif ini. Proposisi umum pertama adalah bahwa menonton televisi meningkatkan aksesibilitas konstruk. Proposisi kedua adalah bahwa persepsi sosial yang berperan sebagai indikator efek kultivasi dibangun melalui pemrosesan heuristik.
Proposisi-Proposisi yang Dapat Diuji
1. Menonton televisi mempengaruhi aksesibilitas
2. Aksesibilitas memediasi Efek Kultivasi
3. Percontohan di televisi tidak diabaikan
4. Motivasi untuk memproses informasi mengurangi kekuatan efek kultivasi
5. Kemampuan untuk memproses informasi mengurangi kekuatan efek kultivasi
Model proses kognitif ini selanjutnya dapat mempertemukan temuan-temuan di masa lalu yang sebelumnya terasa bertentangan.