Sunday, January 7, 2007

Komunikasi Antarbudaya yang Mindful: Satu Perspektif Negosiasi Identitas

Perspektif yang menjadi panduan dalam buku Communicating Across Culture oleh Stella Ting-Toomey disebut teori negosiasi identitas, yang fokus pada motif keamanan identitas—kerapuhan sebagai dasar yang mempengaruhi pertemuan antarbudaya. Memahami motif keamanan identitas—kerapuhan dalam pertemuan antarbudaya menjadi amat penting karena beberapa sebab: pertama, individu membawa citra diri atau identitas dalam tiap tipe pertemuan komunikatif; kedua, individu mendapatkan identitas mereka melalui interaksi dengan yang lain dalam budaya mereka; ketiga, individu cenderung merasa aman ketika berkomunikasi dengan orang-orang yang mereka anggap mendukung mereka dan memiliki rasa keakraban yang tinggi. Bab ini akan membahas tiga sebab tersebut di atas yang ada di sekitar motif keamanan identitas dan kerapuhan. Ada tiga bagian dalam bab dua buka Ting-Toomey ini: latar belakang teoritis, asumsi-asumsi teoritis perspektif teori negosiasi, dan komunikasi antarbudaya yang mindful dari model negosiasi identitas.

1. Perspektif Negosiasi Identitas
Perspektif negosiasi identitas:
§ menekankan kaitan antara nilai-nilai kultural dan konsepsi diri;
§ menerangkan bagaimana konsepsi diri seseorang mempengaruhi kognisi, emosi, dan interaksi;
§ menjelaskan mengapa dan bagaimana orang membentuk batas-batas antarkelompok;
§ menggambarkan keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda dari para individu dalam hal menginginkan otonomi inklusi--pembedaan dan hubungan—dalam hubungan-hubungan mereka;
§ memetakan faktor-faktor yang berkontribusi pada terjadinya keguncangan identitas.
Perspektif teori identitas adalah satu teori integratif yang berakar pada karya teori identitas sosial (psikologi sosial), interaksionisme simbolis (sosiologi) (lihat artikel symbolic interactionism di sini), negosiasi identitas (baca lebih lanjut soal negosiasi identitas di sini) dan dialektika relasional (komunikasi).

A. Latar Belakang Teoritis
§ Dasar fundamental teori negosiasi identitas: individu dalam semua budaya memiliki keinginan untuk menjadi komunikator yang kompeten dalam berbagai situasi interaktif.
§ Dua sumber identitas yang mempengaruhi interaksi keseharian individu: identitas group-based dan identitas person-based.
§ Kesadaran kita tentang identitas keanggotaan kelompok dan personal kita berasal terutama dari internalisasi sudut pandang orang lain di sekeliling kita (Mead, 1934).
§ Proses inti konsepsi diri reflektif para individu dibentuk melalui komunikasi simbolis dengan orang lain (McCall & Simmons, 1978) (lihat salah satu tulisan kedua orang ini di sini).
§ Dalam mengembangkan teori identitas sosial, Tajfel dan rekan (Tajfel, 1981, 1982;J.C. Turner, 1985, 1987) menyatakan bahwa identitas sosial mengacu pada konseptualisasi diri para individu yang berasal dari keanggotaan dalam kategori atau kelompok yang signifikan secara emosional (Brewer & Miller, 1996). Identitas personal, di sisi lain, mengacu pada konsepsi diri para individu yang “mendefinisikan individu dalam kaitannya dengan individu-individu lain” (Brewer & Miller, 1996, p.24).
§ Yang termasuk identitas sosial: identitas keanggotaan etnis atau budaya, identitas gender, identitas orientasi seksual, identitas kelas sosial, identitas usia, identitas kecacatan, atau identitas profesional. Yang termasuk identitas pribadi: segala atribut unik yang kita asosiasikan dengan diri yang kita individualisasikan dalam perbandingannya dengan milik orang lain.
§ Lebih jauh lagi, teori identitas sosial mengasumsikan bahwa we berhubungan dengan orang lain melalui dua tipe persepsi: persepsi intergroup-based dan persepsi interpersonal-based. Namun, dalam pertemuan antarbudaya yang sebenarnya, dua tipe keterkaitan itu hadir.
§ Teori identitas sosial dan teori interaksi simbolis menyatakan secara jelas bahwa proses mendefinisikan diri pribadi merupakan proses sosial.

B. Domain-Domain Identitas Primer
§ Dalam perspektif negosiasi identitas, istilah identitas berarti konsepsi diri atau citra diri refektif yang kita dapat dari proses sosialisasi budaya, etnis, dan gender. Identitas didapat melalui interaksi dengan orang lain dalam situasi yang khusus. Dengan demikian identitas pada dasarnya mengacu pada pandangan refleksif kita tentang diri kita—dalam level identitas sosial dan personal.
§ Perspektif negosiasi identitas menekankan delapan domain dalam mempengaruhi identitas dalam interaksi keseharian kita, empat di antaranya, domain-domain citra diri, identitas budaya, etnis, gender, dan pribadi, merupakan identitas primer yang memasukkan pengaruh yang penting dan terus berlangsung sepanjang hidup, sedangkan empat yang lain, yakni identitas peran, relasional, facework, interaksi simbolis, bergantung pada situasi, berubah dari satu situasi ke situasi lain. Kedua jenis identitas itu saling mempengaruhi. Selain itu, kedelapan domain identitas itu dipandang sebagai satu konsep diri komposit tiap individu terhadap budaya.

2. Teori Negosiasi Identitas
§ Teori negosiasi identitas menekankan bahwa identitas atau konsepsi diri refleksif dipandang sebagai mekanisme eksplanatori bagi proses komunikasi antarbudaya. Identitas dipandang sebagai citra diri reflektif yang dikonstruksi, dialami, dan dikomunikasikan oleh para individu dalam satu budaya dan dalam satu situasi interaksi tertentu.
§ Konsep negosiasi didefinisikan sebagai proses interaksi transaksional di mana para individu dalam satu situasi antarbudaya mencoba memaksakan, mendefinisikan, mengubah, menantang, dan/atau mendukung citra diri yang diinginkan pada mereka atau orang lain. Negosiasi identitas merupakan aktivitas komunikasi.
§ Beberapa individu bersikap mindless dalam menghadapi negosiasi identitas, sedangkan individu lain bersikap mindful menghadapi dinamika proses ini. Mindfulness ini merupakan satu proses “pemfokusan kognitif” yang dipelajari melalui latihan-latihan keterampilan yang dilakukan berulang-ulang.
§ Ada 10 asumsi teoritis inti berkaitan dengan komunikasi antarbudaya yang mindful ini.

3. Komunikasi Antarbudaya yang Mindful
Mindfulness berarti kesiapan untuk menggeser kerangka referensi, motivasi untuk menggunakan kategori-kategori baru untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya atau etnis, dan kesiapan untuk bereksperimen dengan kesempatan-kesempatan kreatif dari pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Sebaliknya mindlessness adalah ketergantungan yang amat besar pada kerangka referensi yang familiar, kategori dan desain yang rutin dan cara-cara melakukan segala hal yang telah menjadi kebiasaan.
Untuk menjadi komunikator yang mindful, individu mesti mempelajari sistem nilai yang mempengaruhi konsepsi diri orang lain. Ia perlu membuka diri terhadap satu cara baru konstruksi identitas. Ia juga perlu siap untuk memahami satu perilaku atau masalah dari sudut pandang budaya orang lain. Ia juga mesti waspada bahwa banyak perspektif hadir dalam upaya interpretasi satu fenomena dasar.

Kriteria komunikasi yang mindful:
o Kecocokan: ukuran di mana perilaku dianggap cocok dan sesuai dengan yang diharapkan oleh budaya.
o Keefektifan: ukuran di mana komunikator mencapai shared meaning dan hasil yang diinginkan dalam satu situasi tertentu.
Komponen komunikasi yang mindful:
o Pengetahuan: pemahaman kognitif yang dimiliki seseorang dalam rangka berkomunikasi secara tepat dan efektif dalam satu situasi tertentu.
o Motivasi: kesiapan kognitif dan afektif serta keinginan untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif dengan orang lain.
o Keterampilan:kemampuan operasional sebenarnya untuk menampilkan perilaku-perilaku yang dianggap sesuai dan efektif dalam situasi tertentu.

No comments: