Wednesday, January 3, 2007

Kasus Ahmadiyah Sebagai Masalah Identitas

Identitas religius dapat menjadi satu dimensi penting dari identitas banyak orang, juga menjadi salah satu lahan utama pemicu konflik. Perbedaan agama kerap menjadi akar konflik, seperti yang terjadi di Poso, Ambon, Timur Tengah, Irlandia Utara, India, Pakistan, hingga Bosnia-Herzegovina. Agama pun dapat membuat segelintir orang Arab-Amerika hidup di bawah kecurigaan, bahkan penghambatan, yang dilakukan masyarakat di sekelilingnya sejalan dengan upaya pemerintah AS untuk menekan terorisme. Namun, belakangan ini ada konflik yang muncul di Indonesia berkaitan dengan identitas religius yang justru berada dalam satu agama, yaitu Islam. Kasus tersebut adalah kasus Ahmadiyah. Di sini kita akan melihat bagaimana masalah identitas religius berkembang di antara kelompok Islam arus utama dengan Ahmadiyah.

Dalam kasus Ahmadiyah, yang terjadi memang bukan konflik antaragama seperti yang terjadi di Poso atau Ambon, tapi tetap merupakan kasus konflik antar-identitas religius karena Ahmadiyah dianggap memiliki identitas religius yang berbeda dengan identitas religius Muslim arus utama di Indonesia. Perbedaan itu didasarkan pada adanya pandangan yang cukup fundamental dalam keyakinan Ahmadiyah yang dianggap sangat berbeda dibandingkan Islam arus utama. Menurut sudut pandang umumnya umat Islam, ajaran Ahmadiyah (Qadian) dianggap melenceng dari ajaran Islam sebenarnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, hal yang bertentangan dengan pandangan umum kaum muslim, yang mempercayai Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir.

Kepercayaan kaum Muslim arus utama di Indonesia tersebut dapat kita lihat sebagai satu aturan tatanan sosial yang telah mengalami proses reproduksi sosial yang berulang-ulang sehingga telah mewujud menjadi satu pemahaman dan konsensus sosial tentang Islam dan orang Islam, sekaligus harapan kolektif tentang bagaimana orang Islam harus berpikir dan bertindak. Perbedaan pada Ahmadiyah dengan demikian menjadi satu fenomena yang bertentangan dengan konsensus sosial yang ada dan mengancam koherensi sosial—sehingga MUI menyatakannya sebagai sesuatu yang meresahkan masyarakat.

Karena fakta tersebut, penganut Islam arus utama meminta Ahmadiyah tidak menyatakan diri sebagai Islam.* Namun Ahmadiyah tetap merasa bahwa Islam merupakan identitas religius mereka. Ada negosiasi yang terjadi di sini. Yang dilakukan Ahmadiyah dapat dilihat sebagai upaya menegosiasikan satu nilai baru dalam satu kelompok sosial yang telah memiliki serangkaian nilai sosial yang baku. Sejauh ini, upaya Ahmadiyah tersebut belum berhasil banyak. Fatwa MUI, komentar Presiden Indonesia, hingga aksi kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah di beberapa daerah dapat kita lihat sebagai wujud belum berhasilnya negosiasi identitas yang dilakukan Ahmadiyah.

Perasaan bahwa ada ketidaksamaan identitas itu selanjutnya membuat umat Islam arus utama merasa terganggu jika Ahmadiyah tetap menyatakan diri sebagai Islam. Jika umat Islam secara keseluruhan merupakan satu kelompok budaya, maka Ahmadiyah dianggap tidak memiliki shared and learned patterns of belief and perception yang sama dengan kelompok Islam arus utama. Artinya umat Islam arus utama menolak identitas religius kelompok Ahmadiyah.

Penolakan keras kaum Muslim arus utama di Indonesia terhadap identitas keislaman Ahmadiyah jika kita lihat dari sudut pandang Anthony Giddens lebih merupakan satu ciri masyarakat tradisional. Dalam masyarakat jenis ini, tradisi dan kebiasaan telah tersedia, meskipun tradisi masih bisa dipikirkan ulang atau ditantang. Artinya adalah bahwa setiap anggota dalam kelompok sosial Islam tidak memiliki wilayah yang terlalu luas untuk memikirkan ulang beberapa konsensus dan ketetapan sosial yang telah ada. Yang menantang konsensus tersebut tentu akan berhadapan dengan konsekuensi berupa eksklusi atau bahkan dilepasnya identitas kelompok dari diri mereka. Kita tentu tahu konsekuensi logis apa yang mesti diterima oleh orang yang hamil di luar nikah atau menikah dengan orang yang berbeda agama, misalnya, pada masyarakat tradisional.

Jika kita mengacu pada pandangan-pandangan Giddens tentang modernitas dan masyarakat pascatradisional, yang dilakukan kelompok Ahmadiyah adalah sesuatu yang wajar. Jika ada anggapan bahwa kita berada dalam satu tahap pascatradisional, tindakan Ahmadiyah--seperti tindakan dan pemikiran Jaringan Islam Liberal juga, misalnya--terlihat sebagai satu tindakan yang benar-benar lepas dari tradisi. Ada upaya refleksif yang dilakukan oleh kelompok Ahmadiyah berkaitan dengan identitas religius mereka. Ada usaha untuk melihat dengan cara berbeda “diri mereka” dan cara-cara hidup yang mesti mereka jalani. Dari sudut pandang ini, kelompok Ahmadiyah tidak berbeda dengan Jaringan Islam Liberal dan Darul Arqom, misalnya, atau bahkan mungkin Negara Islam Indonesia. Segala dinamika yang berkaitan dengan diri kita sebagai kelompok dapat dianggap sebagai satu hal yang alamiah terjadi.

Bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang provisional, dapat terbukti salah di masa depan, juga merupakan satu karakteristik lain yang berkembang dalam masyarakat pascatradisional. Jika kita merupakan masyarakat pascatradisional seperti yang dikatakan Giddens, persoalan siapa nabi terakhir dapat dilihat sebagai satu hal yang provisional, dapat terbukti salah di masa depan. Dengan begitu, karakteristik keyakinan Ahmadiyah tersebut dapat juga dilihat sebagai satu pengetahuan baru dalam kelompok sosial Islam Indonesia, yang mungkin dapat terbukti salah di masa depan. Hal tersebut tidak perlu disikapi secara keras oleh kelompok Islam mayoritas di Indonesia, hanya perlu dipandang sebagai satu upaya refleksif salah satu anggota kelompok Islam untuk menata ulang identitas dirinya dan umat Islam secara umum.
Dalam masyarakat pascatradisional, hal yang dilakukan kelompok Ahmadiyah tentu dapat muncul dalam berbagai wilayah kehidupan dan membawa masyarakat menuju satu perkembangan. Nilai-nilai atau cara pandang diri yang baru yang mereka tawarkan tentu dapat diterima atau ditolak menjadi konsensus sosial oleh kelompok yang lebih besar di mana mereka menjadi anggotanya. Penerimaan dan penolakan ini dapat mewujud dalam berbagai bentuk, namun konflik yang mengandung kekerasan jelas bukan satu bentuk yang diharapkan siapa pun.

Dengan demikian, konflik yang terjadi antara kelompok Islam arus utama dengan kelompok Ahmadiyah sebenarnya muncul akibat reaksi keras umat Islam arus utama terhadap ancaman terhadap konsensus dan koherensi sosial yang datang dari Ahmadiyah. Selain itu, kenyataan bahwa umat Islam mayoritas meminta Ahmadiyah tidak mengaku diri sebagai Islam jelas merupakan konsekuensi logis dari upaya penantangan yang dilakukan Ahmadiyah terhadap konsensus sosial yang telah ada. Namun, dalam gambar yang lebih besar, kita dapat menyatakan bahwa yang dilakukan Ahmadiyah adalah upaya yang biasa dilakukan dalam masyarakat pascatradisional, sedangkan reaksi yang muncul dari kalangan Islam arus utama mencerminkan sikap masyarakat tradisional. Di sinilah pangkal segala konflik muncul.

***
* Menteri Agama (Menag) Maftuh Basyuni meminta agar Ahmadiyah menjadi agama tersendiri di luar Islam. (http://www.waspada.co.id).

No comments: