Tuesday, January 2, 2007

Kegagalan Negosiasi Identitas dan Ilusi Identitas dalam Dunia Global: Kasus Pendukung Klub Sepakbola Eropa di Indonesia

I. Pendahuluan
A. Permasalahan


”Arsenal Indonesia, The Official Supporter Club in Indonesia”. Itu bunyi tulisan besar di http://www.id-arsenal.com/, laman resmi situs Arsenal Indonesia, kelompok pendukung Arsenal, klub asal London, Inggris, yang ada di Indonesia. Para anggota kelompok ini bukan orang London yang kebetulan ada di Indonesia, melainkan para orang Indonesia asli, orang-orang yang lahir dan besar di Indonesia, yang terletak di Asia Tenggara, tapi dalam konteks sepakbola merasa bahwa mereka identik dengan orang London yang “memiliki” Arsenal.

Arsenal Indonesia bukan satu-satunya organisasi pendukung tim Eropa. Beberapa organisasi serupa lain terhitung sangat aktif: Milanisti Indonesia, United Indonesia (dulu Indomanutd), Juventini Indonesia, Big Reds, Chelsea Indonesia Supporters Club, dan Interisti Indonesia. Mereka kerap tampil di ruang publik dengan atribut klub yang mereka dukung dalam berbagai bentuk yang menampilkan identitas mereka sebagai pendukung klub yang bersangkutan.

Selain membentuk organisasi sebagai wadah berasosiasi dengan individu lain yang merupakan pendukung tim yang sama, para pendukung klub-klub Eropa bisa tampil dalam berbagai ruang publik di media. Selain mailing list (seperti BOLAML) dan berbagai weblog, mereka juga memanfaatkan rubrik “Halo OLE!-Mania” di tabloid olah raga Bola. Rubrik ini merupakan bagian dari seksi OLE! Internasional, seksi berita sepak bola internasional, yang sebagian besar isinya adalah soal sepak bola Eropa. Rubrik yang merupakan wujud komodifikasi olahraga dan identitas oleh media ini disediakan bagi para pencinta sepakbola Eropa untuk menyampaikan apa pun yang ingin mereka sampaikan berkaitan dengan minat, kesukaan, kecintaan, hingga fanatisme mereka pada klub-klub sepakbola Eropa. Untuk mengakses rubrik ini, mereka mesti membayar Rp1.000,- untuk setiap SMS yang mereka kirimkan.

Wujud kecintaan dan fanatisme yang ditampilkan para pendukung klub-klub sepakbola Eropa ini tak berhenti pada sekadar bergabung dan membentuk organisasi suporter atau menyampaikan pesan melalui media, tapi juga dengan membeli merchandise dan barang-barang yang bisa merepresentasikan identitas mereka sebagai pencinta suatu klub. Barang-barang seperti syal, kaus, hingga poster, mug, dan patung menjadi komoditas yang akrab bagi para pendukung klub-klub Eropa ini. Cara lain yang tidak kalah mahal adalah pergi ke kota tempat klub itu bermarkas dan menonton secara langsung pertandingan klub yang bersangkutan, seperti yang dilakukan salah seorang penggemar Arsenal yang juga aktivis Arsenal Indonesia, perhimpunan suporter Arsenal di Indonesia, Wiradiatma (lampiran 11). Cara ini tentu dapat dikatakan sebagai cara yang amat memerlukan potensi ekonomi yang cukup tinggi.

Fenomena ini dapat dikatakan cukup menarik serta aneh sebab orang-orang Indonesia yang berada di Asia Tenggara ini dapat dikatakan tidak memiliki ikatan primordial atau pertalian identitas apa pun dengan klub-klub sepakbola Eropa yang dibangun berdasarkan fakta geografis, wilayah kota, itu. Namun, orang-orang Indonesia ini dapat begitu terikat secara emosi dengan klub-klub tersebut, bukan hanya sebagai penikmat sepakbola yang menikmati satu permainan, melainkan juga merasa menjadi bagian dari klub-klub itu.

Kalau dilihat ke belakang, fenomena-fenomena tersebut mulai muncul sejak ditayangkannya siaran langsung sepakbola Eropa di televisi (Liga Italia di RCTI dan Liga Inggris di SCTV) pada awal 1990-an. Penayangan siaran langsung dua liga itu disusul langkah media cetak memberikan porsi cukup besar bagi pemberitaan sepakbola internasional, khususnya sepakbola Eropa. Salah satunya adalah tabloid olahraga yang menjadi pemimpin pasar tabloid sejenis, Bola, yang mulai secara khusus menyediakan rubrik Ole! Internasional sejak pertengahan 1996, memanfaatkan momentum setelah Piala Eropa 1996 di Inggris.

Tiga faktor penting yang terlihat menjadi penghubung dalam fenomena-fenomena di atas adalah faktor identitas nasional para penggemar klub-klub sepakbola Eropa itu dan identitas mereka sebagai pendukung fanatik satu klub tertentu, sepakbola, media dalam konteks globalisasi saat ini, serta perilaku yang berhubungan dengan sepakbola dan dipicu oleh faktor identitas sebagai pendukung. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana sepak bola Eropa dapat memasuki wilayah identitas orang-orang Indonesia dan bagaimana proses itu terjadi. Makalah ini akan melihat hal tersebut menggunakan beberapa penelitian dan teori yang sudah ada, termasuk dalam kajian-kajian sosiologi dan ekonomi politik sepakbola.




B. Latar Belakang Teoritis
1. Beberapa Konsep Kunci
a. Identitas dan Globalisasi

Ada beberapa definisi identitas yang dapat membantu kita memahami fenomena fanatisme orang-orang Indonesia terhadap klub-klub sepakbola Eropa. Yang pertama adalah definisi identitas dari Chris Barker. Menurut Barker, identitas adalah sebuah esensi yang bisa dilihat dari tanda-tanda seperti rasa, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup (Barker, 1998). Jadi identitas merupakan titik tolok dalam diri manusia yang memunculkan sikap dan gaya hidup manusia tersebut.

Sementara itu, John Locke memiliki pandangan yang agak berbeda. Menurutnya identitas personal “bergantung pada kesadaran, bukan pada substansi” atau pada jiwa. Kita adalah orang yang sama dalam arti bahwa kita menyadari pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan masa lalu kita seperti kita menyadari pikiran dan perbuatan kita di masa kini. Jika kesadaran merupakan “pikiran” yang menggandakan semua “pikiran”, identitas personal hanya dapat dibentuk di atas kesadaran yang berulang-ulang (John Locke "On Identity and Diversity", An Essay Concerning Human Understanding 1689 chapter XXVII). Jadi, jika Barker melihat identitas sebagai satu entitas dalam diri, Locke melihatnya sebagai satu kesadaran.

Selanjutnya ada istilah identitas personal yang disampaikan Tajfel dan Turner. Mereka menyatakan bahwa identitas personal adalah identitas yang kita dapatkan dari karakteristik pribadi dan hubungan-hubungan individual (Tajfel and Turner 1986, Turner 1982, Breakwell 1978). Dalam defini kita melihat ada perbedaan dengan definisi Locke dan Barker. Dalam definisi Tajfel dan Turner, identitas merupakan hasil dari hubungan-hubungan individual, bukan hanya sesuatu yang pribadi.

Hal yang sama terlihat dalam definisi identitas yang diberikan Gudykunst. Human identity dalam definisi Gudykunst merupakan pandangan mengenai diri sendiri yang dipercayai dimiliki juga oleh orang lain. Manusia dan budaya tidak hidup dalam isolasi, tetapi lahir dan dilahirkan dengan kontrak dengan orang lain, orang dari budaya dan ras yang berbeda. Sementara itu, identitas sosial adalah pandangan mengenai diri yang sama dengan anggota lain dari in-group. Identitas sosial mungkin berdasarkan pada peran kita, misalnya murid, guru, orang tua, atau kategori demografis serta keanggotaan pada organisasi secara formal. Selain itu, ada personal identity, yang merupakan pandangan mengenai diri yang membedakan kita dari anggota lain dalam in-group yang merupakan karakteristik yang membuat kita unik, seperti kepribadian yang kita miliki (Gudykunst, 1997: 29-30).

Definisi lain adalah definisi Stuart Hall. Menurut Hall, dalam masyarakat pascamodern, the postmodernism subject adalah seseorang yang memiliki bukan cuma satu, melainkan beberapa identitas yang kadang-kadang kontradiktif satu sama lain (Stuart Hall). Kunci yang membedakan definisi Hall di sini adalah adanya tumpang tindih antara satu identitas dengan identias lain pada seseorang. Ini tentu tak bisa dipisahkan dari lingkungan dan masyarakat orang itu atau kekompleksan yang menjadi ciri masyarakan pascamodern.

Hal serupa diungkapkan pula oleh Giddens. Perbedaannya hanya satu: Giddens tidak menggunakan istilah pascamodern, melainkan pasca tradisional atau late modernity karena baginya kita belum melampaui fase modern. Dalam tatanan pascatradisional, identitas diri tidak diwariskan atau bersifat statis. Identitas diri merupakan sebuah proyek refleksif—satu upaya yang kita lakukan dan pikirkan terus-menerus. Kita menciptakan, mempertahankan, dan merevisi sekumpulan narasi bibliografis—cerita tentang siapa kita dan bagaimana kita ada di tempat kita saat ini (Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity pp. 54). Dalam teori strukturasinya Giddens juga menekankan adanya interplay antara struktur dan agen, sehingga keduanya saling mempengaruhi.

Itu juga yang dikatakan Peter Berger. Identitas dibentuk oleh proses sosial. Identitas dibentuk oleh interplay antara organisme, kesadaran pribadi, dan struktur sosial yang bereaksi terhadap struktur sosial yang ada, mempertahankannya, memodifikasi, atau bahkan mengubahnya (Berger, 1979: 194).

Selain identitas diri dan sosial, kita juga perlu melihat identitas kebangsaan karena yang kita hadapi adalah dinamika identitas kebangsaan orang Indonesia. Menurut Ben Anderson, “bangsa” adalah sebuah “komunitas imajiner” dan identitas nasional adalah sebuah konstruksi yang diciptakan lewat simbol-simbol dan ritual-ritual dalam hubungannya dengan kategori administratif dan teritori (Ben Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread of Nationalism 1983). Ben Anderson memahami kekuatan dan kontinuitas dari sentimen dan gerakan sebagai cikal bakal mewujudkan identitas nasional. Sebuah bangsa (nation) adalah sebuah konstruksi ideologi yang tampak sebagai bentuk garis antara (definisi diri) kelompok budaya dan state (negara), dan keduanya membentuk komunitas abstrak berdasarkan perbedaan dari negara atau komunitas berdasarkan kekerabatan yang mendahului pembentukan mereka.

Sementara itu, James G. Kellas, yang menggunakan istilah nasionalisme, menyatakan bahwa nasionalisme merupakan suatu bentuk ideologi. Kellas (1998) menegaskan bahwa sebagai sebuah ideologi, nasionalisme membangun kesadaran rakyat sebagai sebuah bangsa serta memberi seperangkat sikap dan program tindakan. Tingkah laku seorang nasionalis selalu berdasar pada perasaan menjadi bagian dari suatu komunitas.

Dalam konteks globalisasi, nasionalisme menghadapi tantangan besar dari pusaran peradaban baru bernama globalisasi. Nasionalisme sebagai basic drive bangsa Indonesia sedang diuji fleksibilitasnya. Nasionalisme dituntut untuk bermetamorfosis saat globalisasi memaksa individu melepaskan diri dari keterikatannya dengan nation-state bangsa.
Globalisasi telah melahirkan proses deteritorialisasi yang menghapus keterikatan individu dengan wilayah dan negaranya. Identitas budaya yang bisa menjadi perangkai identitas komunal yang merekat keterikatan dengan nation-state telah retas karena muncul kebudayaan baru yang tidak lagi berangkat dari identitas sendiri.

Setiap individu menjadi dan mengonsumsi identitas yang lain, sehingga identitas nasional mejadi kabur. Nasionalisme pun sebagai sebuah ideologi menjadi sangat kabur sejalan mengkaburnya identitas nasional digantikan identitas global. Boleh dikatakan telah muncul nasionalisme global yang tak lagi dibatasi oleh nation-state (bangsa-negara) (dalam Widarmanto, ”Nasionalisme di Tengah Globalisasi” di http://www.unisosdem.org).


b. Media dan Globalisasi
Straubhaar dan LaRose dalam Media Now: Communications Media in The Information Age menyatakan bahwa globalisasi mengacu pada menyebarnya ke seluruh dunia perusahaan-perusahaan besar media, lalu berfungsi sebagai model bagi media-media negara lain (Straubhaar dan LaRose, 2000:486). Artinya adalah bahwa media internasional yang beroperasi secara global masuk ke satu negara, lalu mempengaruhi bentuk media di negara tersebut.

Selanjutnya, menurut John Vivian dalam The Media of Mass Communication, globalisasi bekerja melawan isi media yang bersifat indigenous dan berbeda-beda (Vivian, 2006:413). Dapat disimpulkan bahwa homogenisasi adalah efek tak terelakkan dari proses globalisasi media.

Homogenisasi yang terjadi tidak bersifat demokratis. Kooptasi budaya dominan terhadap budaya lain terjadi. Akibatnya nilai-nilai budaya da masyarakat dominan pun terserap oleh budaya dan masyarakat lain (Vivian, 2006:413). Hal ini oleh Straubhaar dan LaRose disebut sebagai cultural imperialism (imperialisme budaya), yang merupakan salah satu isu kunci dalam globalisasi. Imperialsme budaya terjadi ketika beberapa negara mendominasi negara lain melalui ekspor media, iklan, dan model institusi media (Straubhaar dan LaRose, 2000:516).

Globalisasi dan media memang merupakan dua hal yag sulit dipisahkan. Media guru Marshal McLuhan dulu memprediksi bahwa komunikasi massa dan media akan mengubah dunia menjadi sebuah desa global, dan kini hal itu terwujud (Dominick, 1996: 55). Joseph R. Dominick juga melihat bahwa isu penting dalam globalisasi komunikasi massa dan media massa adalah dominasi budaya. Menurut Dominick dalam The Dynamics of Mass Communication, dominasi budaya mengacu pada satu proses di mana budaya nasional dibanjiri impor berita dan hiburan dari negara lain, terutama Amerika Serikat dan negara industri lain (Dominick, 1996: 55).

c. Sepakbola dalam Kaitannya dengan Identitas, Kultur, Sosial, Ekonomi, dan Globalisasi
Sepakbola adalah salah satu institusi budaya yang besar, seperti pendidikan dan media massa, yang membentukan dan merekatkan identitas nasional si seluruh dunia. Difusi internasional sepakbola pada akhir ke-19 dan awal abad ke-20 terjadi ketika sebagian besar negara di Eropa dan Amerika Latin tengah menegosiasikan batas-batas wilayah dan memformulasikan identitas budaya mereka. Kota-kota besar sedang dibangun, yang kemudian diisi oleh warga-warga kota yang berasal dari pedesaan atau luar negeri. Proses-proses yang menjadi karakteristi modernisasi (industrialisasi, urbanisasi, dan migrasi di mana-mana) membongkar ikatan-ikatan sosial dan budaya yang ada pada masyarakat pedesaan. Negara-negara modern dituntut untuk menemukan cara segar untuk menyatukan orang-orang yang beragam sebagai satu komunitas terbayangkan (imagined community) (Anderson 1983 dalam Giulianotti, 2006:23).

Satu bahasa yang sama, sistem pendidikan, dan media massa informasi menjadi alat budaya yang vital bagi terciptanya rasa kebangsaan modern (Gellner 1983 dalam Giulianotti 2006). Tiap negara memproduksi “sejarah resmi”, memperingati figur-figur pahlawan yang telah mempertahankan masyarakat mereka dari kekuatan-kekuatan musuh. Secara lebih kuat, budaya populer menyediakan sumber-sumber daya ini dengan komponen-komponen estetis dan ideologis. Peristiwa olah raga, terutama pertandingan sepakbola, menjadi kontributor yang sangat penting. Tim-tim sepakbola dari berbagai bagian negara mungkin merepresentasikan rivalitas lokal, namun dalam kerangka pemersatu sistem liga nasional. Pada level internasional, tim membubuhkan negara modern, tak jarang secara harfiah membungkus dirinya dalam bendera kebangsaan, dan memulai pertandingan dengan satu nyanyian komunal “lagu kebangsaan”. Kuasa teknologi media massa menjamin bahwa tiap sudut negara tersebut dapat ikut menikmati aksi tim (dengan demikian ikut berpartisipasi) dengan menonton televisi atau mendengarkan di radio (Gruneau et al., 1988:273 dalam Giulianotti, 2006:23).

Nexus modern sepakbola dan bangsa didukung oleh meningkatnya kompleksitas kehidupan sosial dan budaya. Kompleksitas budaya mengacu pada kuantitas informasi (pengetahuan) yang digunakan para aktor dalam keterlibatannya dengan dunia. Kompleksitas sosial mengacu pada interaksi sosial aktor-aktor ini, luasnya posisi sosial mereka, hubungan-hubungan yang mereka bentuk (Archetti 1997b:128 dalam Giulianotti, 2006:24). Menggunakan sumbu-sumbu perubahan ini, kita dapat mengidentifikasi bagaimana sepakbola menjadi lebih kompleks. Secara sosial, level interaksi yang lebih besar tercipta antara para pemain, pendukung, ofisial, dan pelaku-pelaku lain (seperti reporter televisi, politisi, dan sponsor bisnis) dalam satu bangsa mana pun. Lebih jauh lagi, seiring dengan kian mengglobalnya sepakbola, jumlah pelaku sosial dan frekuensi interaksi mereka kian berganda. Batas-batas lama antara lokal, regional, nasional, dan global kerap ditembus dan dirobohkan. Meningkatnya kompleksitas budaya atau hibriditas sepakbola lebih jauh merefleksikan globalisasi. Perbedaan ruang dan waktu kian ditekan (Harvey, 1989). Teknologi memungkinkan sifat informasi sepakbola menjadi global alih-alih nasional. Mobilitas para pemain, reporter, ofisial, suporter, dan yang lebih penting lagi citra-citra sepakbola, secara kolektif menjamin bahwa para individu kini membawa keragaman informasi yang sangat luas ke dalam tindakan bermain atau menonton sepakbola.

Appadurai (1990) menggunakan istilah flow (aliran) untuk menggambarkan sirkulasi global produk-produk budaya, orang, dan jasa. Aliran global ini beroperasi pada sejumlah “scapes”, misalnya mediascape atau financescape. Kita mungkin dapat menambahkan “soceerscape” untuk mengacu pada bagian-bagian konstituen sirkulasi sepakbola yang bersifat geokultural: pemain dan pelatih, pendukung dan ofisial, barang-barang dan jasa, atau informasi dan artefak.
Bagaimanakah relasi-relasi sosial dan budaya yang kompleks dalam “soccerscape” ini bergeser dari ‘modern’ dan ‘nasional’ menjadi ‘pascamodern’ dan ‘global’. Itu bisa dilihat dari pembicaraan soal perkembangan historis secara umum yang ada di balik bergantinya kontrol politis dan budaya atas sepakbola, dari Britain (dan dunia lama) ke FIFA (dan dunia baru) (Giulianotti, 2006:24).

Dalam perkembangan selanjutnya, kelanjutan modernisasi sepakbola secara potensial menghancurkan sentralitas nation-state. Giddens’ (1990:139) metafora menyatakan kekuatan dahsyat modernitas dapat menembus batas-batas, melampaui kontrol pencetus awalnya. Untuk mengeksplorasi kemungkinan ini, Giulianotti, menggunakan istilah pascamodernisme sepakbola dan mengamati kasus-kasus sepakbola pascanasional.

Inggris mungkin dapat dianggap sebagai ajang terbesar bagi tumbuhnya kontribusi sepakbola dalam konstruksi (dan juga dekonstruksi) identitas kebangsaan. Semua dimulai pada era sepakbola tradisional, yang melibatkan budaya pop kelas pekerja yang berjumlah besar dan berpusat pada sepakbola, konflik kelas mengenai amatirisme, dan kebijakan luar negerio isolasionis. Selanjutnya muncul era awal modernisme pada masa perang, di mana kemerosotan (dari sisi kualitas) sepakbola Inggris masih terlindungi rasa hormat negara-negara lain dan kemenangan-kemenangan internasional yang bersifat sempit. Pada era berikutnya, periode awal pascaperang, sepakbola internasional Inggris memasuki era kemerosotan yang serius—linear dengan menurunnya pengaruh mereka di dunia internasional (di mana putaran final Piala Dunia 1966 dianggap sebagai pengecualian). Kemerosotan ini terjadi dalam waktu yang sangat lama, bersamaan dengan stagnasi ekonomi dan budaya nasional, yang kian terjebak dalam nostalgia kejayaan masa lampau. Baru pada era sepakbola pascamodern ini, Inggris kembali menemukan bentuk kejayaannya. Itu dapat terjadi setelah mereka membukan diri terhadap pengaruh-pengaruh Eropa daratan dan pengaruh dari bangsa lain, meninggalkan kebijakan isolasionis yang dulu mereka anut sebagai wujud upaya mempertahankan identitas kebangsaan Inggris dalam konteks persaingan dengan FIFA, yang notabene dimotori oleh Perancis.

Hubungan serupa antara sepakbola dan identitas kebangsaan juga dapat terbaca di Jerman, Brasil, Argentina, Cekoslowakia, dan kebanyakan negara lain di dunia ini. Dalam catatan panjang sejarah sepakbola mereka, olah raga ini menjadi alat perekat identitas kebangsaan pada era sepakbola modern (karena tidak semua negara memiliki era sepakbola tradisional seperti Inggris), lalu menjadi sesuatu yang global pada era pascamodern sekarang ini. Era pasca modern di mana sepakbola menjadi begitu global ditandai dengan lunturnya sentimen-sentimen yang bersifat primordialistik yang didasarkan pada identitas wilayah, termasuk identitas kebangsaan.
Tiap negara memang memiliki fitur-fitur unik dalam sejarah sepakbola dan identitasnya, namun sejarah sepakbola nasional mereka memiliki peran serupa. Pada era trasional, permainan ini mengutamakan amatirisme. Sepakbola biasanya dikontrol oleh elite-urban kelas menengah atau aristokrat, yang mencari pengakuan tertentu atas identitas kebangsaan melalui permainan ini, mengasimilasikan kelompok imigran baru. Minat orang kelas bawah terhadap sepakbola meninggi, membuat mereka jadi kelompok yang dominan di antara penggemar dan pendukung sepakbola.

Era awal sepakbola modern ditandai profesionalisasi pemain dan meningkatnya jumlah tim-tim kelas pekerja. Kompetisi internasional kian mantap berdiri; gaya-gaya kebangsaan tertentu kian keras berbicara dalam pertandingan-pertandingan internasional yang terlaksana secara teratur. Hegemoni Inggris atas sepakbola pun kian ditekan.

Era berikutnya dalam sepakbola modern dimulai setelah Perang Dunia II, yang fitur-fiturnya menguat selama 1970 dan 1980-an. Kompetisi antarklub internasional dibentuk, finanscape (alir keuangan) sepakbola meluas menjamin meningkatnya klub-klub kaya. Selain itu, transfer pemain internasional meningkat. Negara-negara yang tadinya mendominasi, seperti Argentina, Inggris, dan Uruguay, mengalami kemerosotan, baik di luar maupun di dalam lapangan.

Selanjutnya sepakbola memasuki masa pascamodernitas. Deindustrialisasi memutus kelas-kelas pekerja dengan klub-klub pusat kota. Televisi mendominasi keuangan dan administrasi liga-liga sepakbola dan klub-klub anggota mereka. Negara-negara besar mengambil keuntungan dari situasi di mana mereka mampu mendatangkan pemain dari seluruh penjuru dunia, sementara negara-negara kecil menggantungkan hidup mereka dari transfer pemain internasional. Sirkulasi global tenaga kerja dan gagasan mulai menghacurkan tradisi bersepakbola, meningkatkan hibriditas gaya bermain.

Dengan terjadinya hal-hal tersebut di atas, tidak berarti bahwa tradisi kebangsaan dalam satu kultur sepakbola didestabilisasi oleh pascamodernitas semata. Ketidaksetaraan antara negarta-negara sudah ada sejak era tradisional dna modern, yang dengan begitu meminggirkan kapasitas negara-negara yang lemah untuk memformulasikan identitas nasional melalui permainan ini. Dalam epoch pascamodern, peran sepakbola dalam memperkenalkan identifikasi kebangsaan di Argentina dan Uruguay terancam oleh penjualan pemain ke Eropa. Namun, ketimpangan struktural ini dan ancamannya terhadap ”nation-building” telah ada sejak lama. Uruguay dan Argentina bergantung pada Inggris dalam mempelajari permainan ini; hibriditas berperan sentral dalam tradisi sepakbola mereka. Pada awal era sepakbola modern, kesuksesan sepakbola mereka dilukai praktik-praktik tajam yang dilakukan Italia. Pemain-pemain top Amerika Latin menjadi oriundi karena setelah memiliki kewarganegaraan ganda, mereka dapat bermain untuk Italia. Orsi, Monti, dan Gualita (orang Argentina) membela Italia saat negara ini menjuarai Piala Dunia 1934. Pada 1938, saat Italia menjuarai Piala Dunia sekali lagi, Andreolo (Uruguay) menjadi pemain tengah Italia. Pada tahun 1950-an, Italia merekrut ”trio maut” Argentina (Maschio, Angelilo, dan Sivori) dan pemain brilian asal Uruguay, Schiaffino dan Ghiggia. Ketergantungan Uruguay dan Argentina pada pendominasi “Dunia Lama” terus berlanjut; mereka meminjam taktik dari Spanyol dan Italia, sementara para pemain dan manajer mereka terus mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri. Namun, belum pernah terjadi sepanjang sejarah sepakbola terjadi penjualan yang tertinstusi atas pemain top dan medioker dengan volume sebesar pada era sepakbola pascamodern sekarang ini. Para agen pemain di Amerika Latin mempekerjakan banyak kontak di Eropa untuk melakukan transfer pemain saat si pemain masih muda.

Komodifikasi menjadi satu kata kunci dalam era sepakbola pascamodern. Semua berawal dari kegagalan Sir Stanley Rous, sebagai representasi dari Dunia Lama sepakbola, membaca perkembangan sepakbola dalam konteks politik dunia. Ia gagal menyikapi ramifikasi politis soccerscape global yang baru. Keyakinan simplistiknya yang menganggap bahwa sepakbola mesti terpisah dari politik mengalienasi sejumlah delegasi negara-negara berkembang. Pendirian naturalistik Rous ini berujung pada kegagalannya menangani isu-isu politik yang sensitif, seperti status politik dan sepakbola Cina, rezim brutal Pinochet di cili, dan sistem aparteid di Afrika Selatan. Akibat kegagalan sepakbola merespons kenyataan ini, kepemimpinan FIFA bergeser dari personel Dunia Lama (Inggris) ke FIFA yang independen, dalam hal ini diwakili oleh sosok Joao Havelange dari Brasil. Havelange-lah yang pertama kali memaksimalkan aktivitas-aktivitas komersial FIFA sebagai imbalan atas meningkatnya keterlibatan dan pengaruh anggota-anggota baru (sebagian besar berasal dari Asia dan Afrika). Upaya Havelange lalu diteruskan penerusnya dari Swiss, Sepp Blatter, pada 1998. Blatter yang meneruskan semua proses komodifikasi yang hingga kini digariskan oleh FIFA. Di bawah Blatter pula, Inggris sebagai sosok penting dunia lama dipaksa untuk melakukan perubahan total pada sisi aturan sepakbolanya demi memenuhi selera konsumen baru alih-alih memuaskan penikmat tradisional sepakbola.

II. Analisis
A. Analisis Teoritis

Dari berbagai teori di atas, kita bisa melihat bagaimana sejarah sepakbola berkembang melalui fase-fase (tradisional, modern, dan pascamodern), dan bagaimana peran sepakbola dalam tiap fase tersebut berbeda-beda. Sepakbola bukan hanya merupakan olah raga per se melainkan juga merupakan satu perangkat sosial budaya. Kita juga melihat bagaimana fungsi sepakbola dalam kaitannya dengan identitas berubah dari konstruktor identitas nasional atau kebangsaan menjadi dekonstruktor identitas nasional atau kebangsaan sekaligus konstruktor identitas internasional dan transnasional, sejalan dengan munculnya konteks globalisasi.

Kita juga lihat bagaimana media sebagai agen utama globalisasi memainkan peran sentral dalam mengubah sepakbola menjadi sesuatu yang bersifat global. Media yang mengubah peran primordial dan lokal sepakbola menjadi satu komoditi global. Komodifikasi atas sepakbola yang memang dilakukan secara sengaja dan terencana oleh FIFA sebagai organisasi tertinggi sepakbola dunia diperkokoh oleh media global. menjalani fungsi pentingnya yang berkaitan dengan konstruksi dan dekonstruksi identias nasional dan konstruksi identitas transnasional atau internasional.

Sepakbola yang telah menjadi komoditi, terutama sejak FIFA dipimpin Joao Havelange, itu dalam dunia global tersebar ke mana-mana menembus batas-batas nation-state. Bahkan batas-batas nation-state dan national identity dalam sepakbola pun kian cair. Bukan hanya klub yang dapat memakai pemain atau personel asing, melainkan negara (tim nasional) pun dapat melakukannya melalui proses naturalisasi. Orang Inggris bermain untuk Singapura, orang Brasil bermain untuk Portugal, orang Brasil bermain untuk Qatar, orang Argentina bermain untuk Italia, dan seterusnya. Bahkan beberapa hal paradoksal yang berkaitan dengan identitas pun muncul dalam dunia sepakbola. Contoh yang paling nyata adalah dari empat klub teratas di Inggris saat ini, tak satu pun pelatihnya berasal dari Inggris.

Sepakbola yang menyebar ke seluruh dunia pun bukan sepakbola dunia, melainkan hanya sepakbola Eropa. Ini berkaitan dengan fakta bahwa yang memiliki kekuatan ekonomi dan kekuatan sepakbola amat baik adalah Eropa. Amerika dengan kekuatan ekonomi dominan tidak memiliki kekuatan sepakbola yang tinggi. Sebaliknya, kekuatan sepakbola Amerika Latin tak diimbangi kekuatan ekonomi yang baik. Dengan begitu, sepakbola Eropa mendominasi dunia tanpa kompetitior.

Dengan begitu jelas bahwa persebaran sepakbola Eropa ke seluruh dunia membawa satu motif ekonomi: satu-satunya motif neoliberalisme, kapitalisme, dan globalisasi. Melalui manipulasi identitas dan nilai, sepakbola Eropa mendapat tempat di seluruh dunia, juga Indonesia. Ekspose terus-menerus yang dilakukan media memungkinkan semua itu terjadi.

Seperti diungkapkan dalam analisis marxis, neomarxis, atau teori kritis, orang-orang di Indonesia sebagai kelas atau bangsa yang didominasi tidak merasakn adanya proses eksploitasi dan manipulasi yang dilakukan aktor-aktor sepakbola Eropa. Seperti diungkapkan oleh Gramsci, karena hegemoni ini dilakukan melalui berbagai saluran kehidupan, orang-orang Indonesia yang menyatakan diri sebagai pendukung fanatik klub-klub sepakbola Eropa ini memandang semuanya sebagai satu kewajaran. Dalam keadaran palsu itu, mereka kadang dapat melakukan hal-hal yang irasional: membeli kaus dengan harga yang sangat tinggi, menghabiskan tabungan untuk menonton satu pertandingan di luar negeri, hingga merasa bahwa dirinya tidak memiliki kaitan emosional sama sekali dengan tim nasional negaranya sendiri.

B. Analisis Data
Pada tahap ini, kita akan mencoba melihat sikap identitas para pendukung klub-klub sepakbola Eropa saat menyuarakan pendapatnya dalam media. Media yang akan kita amati di sini adalah rubrik “Halo OLE!-Mania”, yang merupakan bagian dari seksi OLE! Internasional, seksi berita sepak bola internasional, di Tabloid Bola. Sementara itu, data yang akan kita amati adalah data pesan-pesan pendek (SMS) yang dikirimkan para pembaca Tabloid Bola. Di sini ita akan menggunakan content analysis atau analisis isi untuk melihat tema-tema yang muncul, keterkaitan tema yang satu dengan yang lain, dan pandangan serta sikap pengirim SMS.

Hal pertama yang menonjol dalam pesan-pesan singkat pada rubrik “Halo OLE!-Mania” ini adalah digunakannya kata-kata yang merupakan julukan atau sebutan klub yang bersangkutan, yang tentu saja dalam bahasa asal klub tersebut. Julukan-julukan tersebut bukan sekadar kata-kata tanpa makna, melainkan kata-kata yang memiliki latar belakang sosiohistoris yang sangat kuat, yang amat mungkin saat diadopsi ke Indonesia, latar belakang sosiohistoris itu tidak tertangkap oleh para pendukung di Indonesia (lampiran 5).

Fenomena berikutnya adalah digunakannya kata-kata yang sebenarnya merupakan kata-kata umum, tapi memiliki makna asosiatif dengan klub-klub tertentu walaupun tidak berbentuk julukan. Dalam konteks ini, kata-kata tersebut secara implisit mengacu pada satu klub tertentu (lampiran 6).

Selain itu, para pengirim pesan juga menggunakan kata-kata yang merupakan istilah-istilah atau jargon-jargon yang kerap digunakan dalam kompetisi di mana klub tersebut tampil. Istilah-istilah yang dimaksud dapat berupa slogan dan semboyan klub maupun pendukung aslinya di kota yang menjadi markas klub tersebut. Namun, istilah yang dimaksud di sini dapat pula merupakan istilah yang biasa digunakan komunitas sepakbola di negara di mana klub tersebut berada (lampiran 7).

Hal menarik keempat adalah penggunaan istilah-istilah asing umum yang tidak mengacu secara khusus pada satu klub tertentu tapi biasa digunakan dalam wacana-wacana berita sepakbola Eropa atau oleh para pendukung sepakbola Eropa. Istilah-istilah ini berasal dari berbagai bahasa di Eropa, seperti Italia, Spanyol, dan Inggris (lampiran 8).

Masalah kelima adalah digunakannya kata-kata yang merupakan nama tempat (stadion, wilayah asal, dsb.) atau etnis oleh para pendukung. Dengan begitu kita dapat melihat dengan jelas betapa para pendukung asal Indonesia ini secara parsial merasa bahwa mereka berhubungan dengan tempat-tempat tersebut. Sentimen emosional itu juga yang terlihat saat Wiradiatma, salah seorang pendukung Arsenal Indonesia, mengunjungi Stadion Emirates milik Arsenal di London (lampiran 9).

Selain lima masalah di atas, masalah sikap pengirim pesan juga dapat terbaca secara implisit. Pesan yang disampaikannya mengandung identitas dirinya dalam kaitannya dengan klub mana yang didukungnya atau yang dianggap menjadi kompetitor klub yang didukungnya. Berbagai cara dilakukan dari mulai yang paling eksplisit hingga yang paling implisit. Baberapa pesan berisi sindiran yang sangat halus yang tak akan bisa dipahami pembaca yang tidak akrab atau mengikuti secara teratur perkembangan sepakbola Eropa (lampiran 10).

Dari uraian-uraian di atas terlihat bahwa ada identifikasi diri yang dilakukan para pendukung klub-klub sepakbola Eropa itu pada klub yang mereka dukung. Ada ilusi identitas (jelas bukan ketumpangtindihan identitas) bahwa identitas mereka sama (paling tidak secara parsial) dengan identitas klub yang mereka dukung. Sentimen emosional mereka yang begitu kuat tanpa ada ikatan sosiohistoris maupun primordial membuat identitas yang mereka negosiasikan itu terlihat seperti satu bentuk ilusi identitas—kalau tidak disebut sebagai krisis. Segala atribut mereka kenakan (nama-nama tambahan, kaus, organisasi, bahasa, dsb.) untuk mendukung upaya negosiasi identitas yang mereka lakukan yang sekaligus mempertegas ilusi identitas yang melanda diri mereka. Ilusi identitas pada diri akan menguat (ditandai dengan menipisnya identitas kebangsaan yang dibatasi wilayah geografis), bukan negosiasi identitas yang berhasil karena sampai kapan pun mereka tak akan pernah berhasil memiliki identitas ideal yang biasanya dimiliki seorang pendukung satu klub sepakbola, yang merupakan satu institusi sosial yang memiliki aspek sosial dan historis yang berbeda satu sama lain.


III. Kesimpulan
Kefanatikan orang-orang Indonesia terhadap klub-klub sepakbola Eropa adalah ujung dari satu proses panjang yang direncanakan oleh sekelompok aktor sepakbola Eropa. Ada desain besar di balik fenomena ini.

Semua berawal dari berubahnya tatanan kehidupan internasional dan bergesernya kekuasaan dalam sepakbola. Globalisasi dan komodifikasi, dengan agen utamanya media global, terutama televisi internasional, adalah dua proses utama yang dirancang dan dilakukan untuk membuat orang di seluruh dunia, termasuk Indonesia, menjadi konsumen sepakbola Eropa dan segala atribut ekonominya: cendera mata, hak siar, sponsor, dan lain-lain.

Proses globalisasi dan komodifikasi itu berujung pada runtuhnya batas-batas dan munculnya faktor ekonomi serta profit sebagai motif utama segala kegiatan kapital, termasuk sepakbola Eropa. Konsekuensi logis dari globalisasi, yakni imperialisme dan hegemoni budaya, membawa dampak lunturnya identitas lama yang berdasarkan kebangsaan atau etnis dan geografis. Yang kemudian hidup adalah identitas transnasional dan internasional. Keadaan ini kian memudahkan kelas dominan melakukan eksploitasi dalam komodifikasi yang bergerak dalam semangat neoliberalisme.

Orang-orang di Indonesia dan kelas lain yang didominasi mengalami ilusi dan krisis identitas karena globalisasi membawa dampak homogenisasi budaya dan nilai. Apa yang dinikmati di Amerika dan Eropa, misalnya, juga dinikmati di Indonesia. Gejala itu disebut ilusi identitas karena sikap dan pendirian para pendukung fanatik klub-klub Eropa asal Indonesia ini tidak benar-benar pernah dan tidak akan pernah memiliki identitas yang secara sosiohistori berkaitan dengan klub yang mereka dukung. Yang mereka alami hanyalah ilusi, mereka berpikir mereka memiliki identitas itu, sehingga mereka bersedia melakukan hal-hal irasional demi identitas tersebut, yang sebenarnya merupakan keinginan kelas dominan sebagai pemegang kapital dan pihak yang melakukan komodifikasi dan diuntungkan dalam situasi ini. Fenomena ini juga dapat dianggap sebagai negosiasi identitas yang gagal.



۩ A L ۩
Dec 2006
Bibliografi
Artz, Lee dan Yahya R. Kamalipour, eds. The Globalization of Corporate Media Hegemony. New York: State University of New York Press. 2003

Curran, James dan Michael Gurevitch,eds. Mass Media and Society. New York: Edward Arnold. 1991.

Dominick, Joseph R. The Dynamics of Mass Communication. New York: McGraw-Hill. 1996.

Giulianotti, Richard. Football: A Sociology of The Game. Cambridge: Polity Press. 2006.

Graham, Chris. “Soccer at A Pop-Culture Crossroads,” http://www.augustafreepress.com

Gurevitch, Michael. “The Globalization of Electronic Journalism”. Mass Media and Society. eds. James Curran and Michael Gurevitch. Arnold Publishing Ltd. 1991.

http://en.wikipedia.org/wiki/Imagined_Communities

http://www.gla.ac.uk/departments/sociology/units/football.htm

Martin-Barbero, Jesus. “The Processes: From Nationalism to Transnasionals”. Media in Global Context: A Reader. eds. Annabelle Sreberny-Mohammadi, Dwayne Winseck, Jim McKenna, Oliver Boyd-Barret. Arnold Publishing Ltd. 1997.

McChesney, Robert, Ellen Meiksins Wood, dan John Bellamy Foster. Capitalism and the Information Age: The Political Economy of the Global Communication Revolution. New York: Monthly Review Press. 1998

Mosco, Vincent. The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. London: Sage Publication. 1996
Savitri, Dian. “Champion Adalah Sumber Uang,” Bolavaganza, Maret 2005, hal. 16-17.

Straubhaar, Joseph dan Robert LaRose. Media Now: Communication Media in The Information Age. Belmont: Wadsworth-Thomson Learning. 2000.

Ting-Toomey, Stella. Communicating Across Culture. New York, Gilford Press. 1999.

Vivian, John. The Media of Mass Communication. New York: Pearson. 2006.



1 comment:

geagee said...

tulisan yang menarik.. :)

saya Gea, mahasiswa Komunikasi, sedang mencari bahan untuk skipsi dengan teman Fanatisme. jika ada waktu saya ingin bertukar pikiran mengenai fanatisme dalam olahraga.

jika boleh, saya minta saran untuk refenrensi tulisan saya.

terimakasih perhatiannya.