Tuesday, January 2, 2007

Ilusi Identitas dalam Komunikasi Antar-Budaya: Kasus Suporter Sepakbola Eropa di Indonesia

I. Pendahuluan
1. Komunikasi Antarbudaya dan Empat Pilarnya


Kebudayaan, komunikasi, konteks, dan kekuasaan adalah empat komponen yang saling berkaitan atau building blocks dalam upaya memahami komunikasi antarbudaya. Kebudayaan dan komunikasi adalah dua hal inti, sedangkan konteks dan kekuasaan membentuk latar bagi kita untuk dapat lebih memahami komunikasi antarbudaya.
Kebudayaan sering dianggap sebagai konsep inti dalam komunikasi antarbudaya. Satu karakteristik kebudayaan adalah bahwa kebudayaan berfungsi sebagian besar pada tataran bawah sadar.
Ada begitu banyak definisi kebudayaan—mulai dari pola persepsi yang mempengaruhi komunikasi hingga ajang persaingan dan konflik. Karena itu, sangat penting bagi kita untuk berefleksi pada sentralitas kebudayaan dalam interaksi kita. Kebudayaan bukan hanya sekadar satu aspek dari komunikasi antarbudaya. Pendapat kita tentang kebudayaan membingkai gagasan dan persepsi kita.
Beberapa definisi antropologis menyatakan budaya sebagai sekelompok pola pemikiran dan kepercayaan. Definisi lain menyatakan bahwa budaya adalah sekelompok perilaku, dsb. Sementara itu, definisi psikologis biasanya menyatakan kebudayaan sebagai pemrograman pikiran dan agregat interaktif dari karakteristik bersama yang mempengaruhi respons sekelompok manusia pada lingkungannya.
Selanjutnya, dengan munculnya cultural studies, muncul pula pandangan baru terhadap kebudayaan: kebudayaan dianggap sebagai satu contested zone. Artinya adalah bahwa kebudayaan dianggap sebagai sesuatu yang cair, tidak baku dan statis. Di dalam kebudayaan ada negosiasi dan kompetisi yang berkaitan dengan isu-isu gender, kelas, dan sejarah.
Komunikasi sebagai komponen kedua yang mesti dimengerti untuk memahami komunikasi antarbudaya juga merupakan satu hal yang sama kompleksnya dengan kebudayaan. Karakteristik utama dari komunikasi adalah makna. Kita memahami bahwa komunikasi terjadi saat seseorang mengatribusikan makna pada tuturan atau tindakan orang lain. Komunikasi dapat dipahami sebagai satu proses simbolis di mana realitas diproduksi, dipertahankan, diperbaiki, dan ditransformasikan. Definisi sederhana ini mengandung beberapa gagasan.
Gagasan pertama adalah bahwa komunikasi bersifat simbolis. Artinya kata-kata yang kita ucapkan dan gerakan yang kita lakukan tidak memiliki makna yang inheren. Semua mendapatkan signifikansinya dari makna yang disepakati. Kedua, proses di mana kita menegosiasikan makna bersifat dinamis. Artinya komunikasi bukanlah kejadian tunggal, melainkan berlangsung terus--maknanya ditentukan oleh kejadian komunikasi lain.
Hubungan antara kebudayaan dan komunikasi sangat rumit. Perspektif dialektis berasumsi bahwa kebudayaan dan komunikasi berinterelasi dan bersifat resiprokal. Artinya komunikasi dan kebudayaan saling mempengaruhi.
Dalam komunikasi, shared values satu komunitas akan mempengaruhi jawaban dari satu pertanyaan tertentu yang diajukan. Jawaban atau respons yang diberikan saat seseorang menjawab satu pertanyaan merupakan cerminan dari value yang diyakini dalam komunitas orang tersebut.
Bagaimanapun, dalam satu komunitas yang ada bukan hanya value dominan. Artinya kita harus menghindari pembentukan stereotipe berdasarkan analisis orientasi value tersebut. Konflik antarbudaya kerap terjadi karena adanya perbedaan dalam hal orientasi value.
Kebudayaan tak hanya mempengaruhi komunikasi, tapi kebudayaan dibangun melalui komunikasi sehingga juga dipengaruhi oleh komunikasi. Para ilmuwan komunikasi kultural menggambarkan bagaimana berbagai aspek kebudayaan dibangun dalam guyub-guyub tutur dalam konteks. Mereka berupaya memahami pola-pola komunikasi yang terbentuk secara sosial dan ikut menentukan identitas kultural. Secara spesifik mereka mengamati bagaimana bentuk-bentuk dan kerangka-kerangka kultural terbentuk melalui norma-norma percakapan dan interaksi yang terstruktur. Perlawanan terhadap sistem budaya yang dominan selalu ada dalam berbagai komunitas budaya.
Selanjutnya adalah konteks. Konteks secara tipikal tercipta oleh aspek sosial dan fisik dari situasi di mana komunikasi terjadi. Orang berkomunikasi secara berbeda-beda bergantung pada konteks di mana ia berada. Konteks tidak bersifat statis ataupun obyektif, dan dapat bersifat multilayered atau berlapis-lapis. Konteks dapat terdiri atas struktur-struktur sosial, politik, dan historis di mana komunikasi terjadi.
Unsur berikutnya adalah kekuasaan. Kekuasaan menyebar dalam interaksi komunikasi, meskipun tak selalu tampak jelas bagaimana kekuasaan mempengaruhi komunikasi atau makna-makna seperti apa yang terkonstruksi. Kita kerap menduga bahwa komunikasi terjadi antara pihak-pihak yang setara, padahal hal ini sangat jarang terjadi. Menurut Mark Orbe, orang-orang yang memiliki kekuasaan, baik secara sadar ataupun tidak, menciptakan dan mempertahankan sistem komunikasi yang mencerminkan, memperkuat, dan menonjolkan cara berpikir dan berkomunikasi mereka. Ada dua jenis kekuasaan yang berhubungan dengan kelompok: (1) dimensi primer (usia, etnis, gender, kemampuan fisik, ras, dan orientasi seksual), yang bersifat lebih permanen dan (2) dimensi sekunder (pendidikan, lokasi geografis, status perkawinan, dan status sosial ekonomi), yang lebih dapat berubah.
Kekuasaan juga berasal dari institusi sosial dan peran-peran individu yang menempati institusi-institusi tersebut. Kekuasaan bersifat dinamis, bukan proposisi searah yang sederhana. Ketegangan antara kelompok kultural yang dominan dan yang tersubordinasi dapat terus terjadi dalam berbagai cara.

2. Budaya Populer

Budaya populer merupakan konsep hasil rekonseptualisasi istilah “low culture” atau budaya rendah. Barry Brummett (1994), seorang ahli retorika kontemporer, menawarkan satu definisi: “Budaya populer mengacu pada sistem-sistem atau artefak-artefak yang milik sebagian besar orang dan sebagian besar orang ketahui” (Brummett, 1994:21 dalam Martin dan Nakayama, 2003:307). Menurut definisi ini, televisi video musik, dan majalah populer merupakan sistem-sistem budaya populer. Sebaliknya, simfoni dan balet tidak memiliki digolongkan sebagai budaya populer karena sebagian besar orang tidak bisa mengenalinya (Martin dan Nakayama, 2003:307).
Dengan demikian budaya populer kerap dinilai bersifat populis—termasuk bentuk-bentuk budaya kontemporer yang dipopulerkan olah dan untuk masyarakat. John Fiske (1989) menyatakan bahwa “Untuk menjadi budaya populer, satu komoditas mesti mengandung minat masyarakat. Budaya populer bukan konsumsi, melainkan budaya—proses aktif menghasilkan dan menyebarkan makna-makna dan kesenangan-kesenangan dalam satu sistem sosial: budaya, bagaimanapun terindustrialisasinya, tak akan pernah dapat dideskripsikan secara memadai dalam kaitannya dengan pembelian dan penjualan komoditi” (Fiske, 1989:23 dalam Martin dan Nakayama, 2003:307).
Terbentuknya dan terpeliharanya budaya populer sangat dipengaruhi oleh kontak antarbudaya dan komunikasi antarbudaya. Artinya komunikasi antarbudaya dan budaya populer memiliki hubungan yang sangat penting (Martin dan Nakayama, 2003).
Ada empat karakteristik signifikan budaya populer: (1) budaya populer diproduksi industri-industri budaya, (2) budaya populer berbeda dari budaya rakyat, (3) budaya populer ada di mana-mana, (4) budaya populer memiliki satu fungsi sosial (Martin dan Nakayama, 2003).
Fiske (1989) menyatakan bahwa budaya populer hampir selalu diproduksi dalam sistem kapitalis yang memandang produk-produk budaya populer sebagai komoditi yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomis. Budaya populer diproduksi oleh lembaga-lembaga yang disebut industri budaya. Budaya populer dengan demikian bisa dianggap sebagai satu hal yang kedudukannya diperkuat oleh sistem kapitalis, yang salah satu agen terkuatnya adalah media massa, terutama media-media global (Martin dan Nakayama, 2003).
Budaya populer ada di mana-mana. Kita dibombardir oleh budaya populer setiap hari di mana pun kita berada. Menghindari budaya populer merupakan hal yang sulit dilakukan, bukan hanya karena ia ada di mana-mana, melainkan juga karena budaya populer memiliki satu fungsi sosial yang penting. Horace Newcomb dan Paul Hirsch (1987) menyatakan bahwa televisi berperan sebagai forum budaya untuk mendiskusikan dan membentuk gagasan-gagasan kita tentang berbagai topik, termasuk yang muncul dari program-program itu sendiri. Dengan demikian televisi memiliki satu fungsi sosial yang penting—sebagai satu forum untuk berurusan dengan isu-isu sosial (Martin dan Nakayama, 2003).
Cara orang menegosiasikan hubungan mereka dengan budaya populer sangat kompleks, dan kekompleksan itu yang membuat kita sulit memahami peran budaya populer dalam komunikasi antarbudaya menjadi sangat sulit (Martin dan Nakayama, 2003).
Jelas kita bukan resipien pasif dalam arus besar budaya populer ini. Kita bahkan pada kenyataannya cukup aktif dalam mengonsumsi atau menolak budaya populer. Sebagian orang sangat menerima beberapa bentu budaya populer, sementara pada saat yang bersamaan, sebagian orang lain menolaknya (Martin dan Nakayama, 2003).

3. Permasalahan: Sepakbola Eropa Sebagai Budaya Populer: Komunikasi Antarbudaya antara Orang Indonesia dan Eropa

Sepakbola adalah salah satu institusi budaya yang besar, seperti pendidikan dan media massa. Sebagai salah satu bentuk budaya, sepakbola memainkan banyak peran, salah satunya adalah konstruktor dan dekonstruktor identitas kebangsaan dan identitas budaya. Hal seperti terjadi pada masyarakat Catalan di Spanyol dan masyarakat Italia Selatan dan Italia Utara (Giulianotti, 2006).
Kerusuhan yang terjadi di Moskow saat Rusia kalah dari Jepang Di Piala Dunia Dunia 2002 di Korea-Jepang menjadi satu contoh bagaimana sepakbola telah menjadi satu bagian penting dari kehidupan manusia dan menjadi budaya masyarakat. Martin dan Nakayama pun menganggap sepakbola yang disiarkan di televisi sebagai budaya populer (Martin dan Nakayama, 2003:309).
Studi-studi tentang sepakbola telah banyak dilakukan di Eropa. Research Unit of Football Studies Universitas Glasgow menyatakan bahwa riset-riset yang mereka lakukan sangat terkait dengan fakta bahwa sepakbola telah ”memasuki wilayah kultural dan ekonomi baru dalam kapitalisme kontemporer” (http://www.gla.ac.uk/). Media massa sebagai agen kapitalisme global dan neoliberal, yang beroperasi di bawah kendali orientasi mencari keuntungan, menjadi pihak yang sangat berperan atas berpindahnya sepakbola ke wilayah baru kultural dan ekonomi dalam dunia global saat ini. Richard Giulianotti, dalam Football: A Sociology of The Game, menyatakan bahwa sepakbola telah menjadi komoditas yang sangat menguntungkan dan mampu menjadi dekonstruktor identitas kebangsaan sekaligus konstruktor budaya internasional yang global (Giulianotti, 2006).
Selain itu, jika kita melihat uraian dan definisi budaya populer di atas, kita dapat melihat bahwa sepakbola Eropa telah menjadi satu bentuk budaya populer, terutama di Indonesia. Sepakbola Eropa merupakan sesuatu yang diproduksi industri-industri budaya, dalam hal ini klub-klub sepakbola Eropa dan media-media global. Sepakbola Eropa pun jelas bukan merupakan budaya rakyat Indonesia. Sepakbola ada di mana-mana, saat ini, memasuki banyak wilayah kehidupan orang Indonesia. Selain itu, sepakbola Eropa memiliki satu fungsi sosial tertentu. Jika kita melihat semaraknya acara-acara nonton bareng dan banyaknya organisasi suporter di Indonesia (Arsenal Indonesia, Milanisti Indonesia, United Indonesia, Juventini Indonesia, Big Reds, Chelsea Indonesia Supporters Club, dan Interisti Indonesia, misalnya), kita dapat mengerti bahwa sepakbola Eropa di Indonesia telah menjadi dasar pembentukan identitas kontemporer sebagian masyarakat Indonesia.
Sepakbola Eropa di Indonesia merupakan salah satu komoditas yang cukup mendominasi wilayah budaya. Banyaknya tayangan langsung sepakbola (Liga Italia di Global TV, Indosiar, dan TPI; Liga Spanyol di RCTI, Liga Inggris di Trans 7; Liga Champion dan Piala UEFA di RCTI) membuat sepakbola budaya populer yang sangat akrab dengan banyak orang Indonesia. Komponen-komponen pendukung, seperti porsi pemberitaan di majalah, koran, dan tabloid semakin memperkokoh status sepakbola sebagai budaya populer di Indonesia. Bahkan beberapa media baru dibentuk berdasarkan fakta bahwa sepakbola Eropa telah menjadi satu bentu budaya populer yang menguntungkan. Beberapa di antaranya adalah Bolavaganza, Top Skor, dan majalah franchise Four-Four-Two. Penetrasi produsen apparel dan industri bisnis lain sepakbola Eropa di Indonesia semakin membuat sepakbola Eropa akrab dengan kita. Beberapa di antaranya adalah Manchester United Cafe, Manchester United Mega Store, Nike, Adidas, Puma, Umbro, dsb.
Berkaitan dengan fakta bahwa sepakbola telah memiliki peran kultural yang kuat dan sepakbola telah menjadi salah satu institusi budaya dan satu bentuk budaya populer yang cukup dominan, pengaruh sepakbola terhadap identitas orang Indonesia pun tidak terelakkan. Berbagai fans club yang mendukung klub-klub sepakbola Eropa dan beranggotakan orang Indonesia menjadi satu sikap yang dikatakan Martins dan Nakayama sebagai satu sikap “consuming popular culture” (Martin dan Nakayama, 2003:309). Makna-makna diciptakan oleh masyarakat di Indonesia terhadap sepakbola Eropa sebagai satu bentuk budaya populer.
Yang akan kita lihat di sini adalah bagaimana konsumsi sepakbola Eropa oleh masyarakat Indonesia itu menjadi satu bentuk komunikasi antarbudaya antara orang Indonesia dan orang Eropa. Implikasi nilai dan sikap seperti apa yang muncul? Bagaimana pula peran pilar-pilar komunikasi antarbudaya, terutama power dalam komunikasi antarbudaya ini?

II. Pembahasan

Dari bagian pendahuluan, kita bisa melihat ada beberapa hal penting dalam makalah ini: sepakbola Eropa, budaya populer, globalisasi dan media global, identitas, komunikasi antarbudaya antara orang Indonesia dan Eropa melalui sepakbola Eropa. Sepakbola Eropa di Indonesia jelas merupakan budaya populer yang diproduksi dan diproduksi oleh globalisasi dan media-media global. Kehadiran sepakbola Eropa di Indonesia melalui media-media ini telah membawa dampak identitas pada sebagian orang Indonesia. Hal selanjutnya—ini yang akan coba diungkapkan dalam makalah ini—adalah bagaimana keseluruhan proses itu sebagai komunikasi antarbudaya antara orang Indonesia dan Eropa.
Martin dan Nakyama menganggap bahwa budaya populer dan komunikasi antarbudaya memiliki hubungan yang sangat penting. Komunikasi termediasi antara Eropa dan Indonesia yang memunculkan dan memelihara sepakbola sebagai budaya populer di Indonesia. Munculnya media franchise seperti Four-Four-Two di Indonesia atau berafiliasinya media Indonesia dengan media asing (misalnya berafiliasinya Top Skor dengan Gazetta Dello Sport di Italia) dapat kita lihat sebagai komunikasi antarbudaya yang memunculkan dan memelihara sepaknola sebagai budaya populer di Indonesia. Begitu juga dengan ketergantungan berita media Indonesia dengan media atau agensi berita internasional (misalnya Bola dengan situs seperti Marca atau BBC dan agensi foto Getty Images).
Nakayama juga menyatakan dalam studi kritisnya tentang film Showdown in Little Tokyo menyatakan bahwa representasi-representasi budaya populer membantu kita memahami identitas dalam kaitannya dengan identitas lain (Nakayama 1994 dalam Martin dan Nakayama, 2003: 314). Kita diajak melihat diri dan identitas kita dalam relasi komparatif dengan identitas orang Eropa secara umum melalui sepakbola Eropa sebagai budaya populer. Ekspresi impresional orang Indonesia tentang identitas mereka dibandingkan dengan orang Eropa (sepakbola Indonesia dibandingkan dengan sepakbola Eropa) tercermin misalnya di kartun editorial Nunk di Tabloid Bola (lihat lampiran 1,2, dan 3). Di situ terlihat bahwa Nunk memandang dirinya dan orang Indonesia lain sebagai komponen sepakbola Indonesia sebagai sosok-sosok suram. Ekspresi serupa terlihat di rubrik “Forum Pembaca” Tabloid Bola (lihat lampiran 4 dan 5). Kejayaan sepakbola Eropa menjadi penggerak utama narasi yang tercipta dalam fenomena kehadiran sepakbola Eropa di Indonesia. Representasi sepakbola Eropa di media, yang selalu digambarkan sebagai kompetisi yang kaya, megah, dan glamor (lihat lampiran 10, 11, dan 12), sementara sepakbola Indonesia merupakan satu hal yang kusam dan buram (lihat lampiran 13, 14, dan 15) menjadi pemikat yang dikonstruksi media di hadapan sebagian besar orang Indonesia. Penggambaran pesepakbola Eropa yang kaya, tampan, berkemampuan teknik tinggi menjadi penggambaran identitas yang dikonstruksi dan dinegosiasikan oleh media-media di Indonesia.
Faktor lain yang membuat komunikasi antarbudaya dan sepakbola Eropa menjadi penting adalah masalah stereotipe. Kehadiran sepakbola Eropa Indonesia membuat orang-orang Indonesia membangun stereotipe tentang orang Eropa dan diri mereka sendiri. Jika kebanyakan stereotipe bersifat negatif dalam arti kita memandang orang lain sebagai sosok-sosok negatif, di Indonesia justru sebaliknya. Yang terjadi adalah orang Indonesia memandang orang Eropa dengan berbagai stereotipe positif, lalu membangun stereotipe negatif tentang diri sendiri (lihat lampiran 1, 2, 3, 4, 5, 13, 14, dan 15). Pada gilirannya, stereotipe negatif komparatif tentang diri sendiri ini memunculkan inferiority complex. Dalam psikologi dan psikoanalisis, inferiority complex merupakan perasaan inferior pada orang lain dalam beberapa hal. Hal ini sering berlangsung subconsciously. Tidak seperti perasaan inferior yang normal, yang bisa menjadi pemicu untuk menjadi lebih berprestasi, inferiority complex merupakan tahap lanjutan di mana orang menjadi kehilangan motivasi, kerap menjadi skeptis. Alfred Adler dan beberapa sosiolog berpendapat bahwa inferiority complex dapat muncul bukan hanya pada level individu, melainkan pada level yang lebih luas, mempengaruhi keseluruhan budaya. Teori ini disebut cultural cringe (http://en.wikipedia.org/).
Inferiority complex pada level kultural ini memicu perubahan perilaku kultural yang berbeda pula. Apalagi, seperti dikatakan Richard Dyer, stereotipe memberi pengaruh yang sangat kuat karena stereotipe ini yang menentukan bagaimana kita menilai kelompok budaya lain. Nilai-nilai yang kita miliki tentang orang Eropa menjadi landasan perilaku dan pilihan-pilihan kita. Konsekuensi logis dari kenyataan ini adalah bahwa apa pun yang kita lakukan, pakaian yang kita kenakan, tempat liburan yang kita pilih (lihat lampiran 6), dan berbagai hal lain, dipengaruhi oleh sikap inferior kompleks tersebut.
Imitasi kultural tersebut (mengenakan apa yang mereka kenakan, memakan apa yang mereka makan, dsb.) tentu membawa dampak ekonomi yang menguntungkan bagi institusi-institusi budaya Eropa. Adanya motivasi mencari keuntungan ini dapat menjadi landasan berpikir bagi kita untuk menarik kesimpulan bahwa fenomena kehadiran sepakbola Eropa sebagai budaya populer di Indonesia merupakan satu hal yang memang dirancang dengan rapi (lihat lampiran 16). Model ekspor budaya seperti ini oleh Straubhaar dan LaRose disebut sebagai cultural imperialism (imperialisme budaya), yang merupakan salah satu isu kunci dalam globalisasi (Straubhaar dan LaRose, 2000:516). Giulianotti pun menyatakan bahwa sepakbola Eropa saat ini telah menjadi satu komoditas internasional yang menguntungkan industri budaya di negara-negara dominan (Giulianotti, 2006)
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa dalam komunikasi antarbudaya antara orang Indonesia dan orang Eropa ini, faktor kekuasaan merupakan satu unsur yang memegang peran penting. Orang-orang Eropa sebagai penguasa kapital menjadi kelompok yang mendominasi nilai-nilai dan mengendalikan pola komunikasi antarbudaya yang terjadi ini. Faktor status sosial ekonomi Eropa, yang merupakan faktor kekuasaan sekunder dalam komunikasi antarbudaya, yang mebuat mereka mampu menonjolkan sikap-sikap mereka.
Selain itu, komunikasi antarbudaya ini juga memunculkan pengaruh pada identitas orang Indonesia. Seperti diungkapkan Ting-Toomey dalam Communicating Accross Culture, identitas kultural ditentukan oleh signifikansi emosional bahwa kita terikat pada rasa memiliki atau afiliasi dengan kultur yang lebih besar (Ting-Toomey, 1999: 30). Itu terlihat dari berdirinya komunitas suporter pendukung klub-klub Eropa (Arsenal Indonesia, Milanisti Indonesia, United Indonesia, Juventini Indonesia, Big Reds, Chelsea Indonesia Supporters Club, dan Interisti Indonesia, misalnya). Ada keterikatan emosional antara sekelompok orang Indonesia pada klub-klub sepakbola Eropa itu sehingga mereka merasa identitas mereka sangat terkait pada klub tersebut, bahkan pada kota asal klub tersebut.
Terbentuknya komunitas suporter itu juga terjadi karena individu cenderung merasa aman ketika mereka berkomunikasi dengan orang-orang yang mereka anggap suportif dan memiliki banyak kesamaan (Ting-Toomey, 1999: 26). Jadi, kehadiran sepakbola Eropa sebagai budaya populer di Indonesia menciptakan masyarakat dapat dikatakan memecah masyarakat Indonesia menjadi beberapa subkultur berdasarkan identitas semu. Semu karena sebenarnya orang-orang Indonesia in tidak akan pernah benar-benar menjadi anggota sosiohistori dan budaya klub tersebut. Hegemoni dan imperialisme budaya ini telah memunculkan satu kesadaran palsu pada diri mereka dalam memandang identitas mereka sendiri.
Melalui berbagai perilaku, seperti membeli kaus dan berbagai merchandise asli tim yang mereka dukung, membentuk wadah suporter dan secara aktif menjadi pengurusnya, menyatakan dukungan melalui media (misalnya rubrik “Halo OLE!-Mania” di Tabloid Bola, lihat lampiran 7,8, dan 9), mengunjung kota asal dan stadion klub yang mereka dukung, dan berbagai perilaku lain, mereka mencoba melakukan negoosiasi identitas dengan membangun citra diri reflektif (Ting-Toomey, 1999: 39). Ada upaya ingin menjadi bagian dari kelompok Eropa tersebut dengan melakukan imitasi-imitasi perilaku. Sebaliknya, pada saat yang bersamaan, mereka seolah ingin mengingkari identitas primordial sebagai orang Indonesia yang merupakan bagian dari sepakbola Indonesia.

III. Kesimpulan

Kehadiran Sepakbola di Eropa sebagai budaya populer di Indonesia merupakan produksi berbagai institusi budaya globalisasi yang kapitalistik dan berorientasi profit. Sebagai wujud imperialisme budaya dan ekonomi, sepakbola Eropa di Indonesia berhasil memanipulasi identitas sebagian besar orang Indonesia.
Kehadiran sepakbola Eropa sebagai budaya populer ini berkaitan erat dengan komunikasi antarbudaya antara orang Indonesia dan Eropa: yang satu memperkuat yang lain. Sepakbola Eropa sebagai budaya populer diperkokoh oleh komunikasi antarbudaya yang terus terjadi antara orang Eropa dan Indonesia melalui berbagai media. Karena adanya motif ekonomi, dapat disimpulkan bahwa, unsur kekuasaan (kekuasaan ekonomi) menjadi faktor yang menentukan arah komunikasi antarbudaya ini: orang Eropa-lah yang menentukan sikap dan nilai dalam komunikasi antarbudaya.
Semua proses itu pada akhirnya mempengaruhi identitas sebagian besar orang Indonesia—seperti proses homogenisasi lain dalam globalisasi. Pada akhirnya, tujuan semua proses ini adalah imperialisme budaya dan ekonomi karena negosiasi identitas yang dilakukan orang-orang Indonesia itu merupakan upaya semu dan identitas yang dinegosiasikan pun semu.




ÂȘALÂȘ
Dec 2006
Bibliografi


Artz, Lee dan Yahya R. Kamalipour, eds. The Globalization of Corporate Media Hegemony. New York: State University of New York Press. 2003

Curran, James dan Michael Gurevitch,eds. Mass Media and Society. New York: Edward Arnold. 1991.

Dominick, Joseph R. The Dynamics of Mass Communication. New York: McGraw-Hill. 1996.

Giulianotti, Richard. Football: A Sociology of The Game. Cambridge: Polity Press. 2006.

Graham, Chris. “Soccer at A Pop-Culture Crossroads,” http://www.augustafreepress.com

Gurevitch, Michael. “The Globalization of Electronic Journalism”. Mass Media and Society. eds. James Curran and Michael Gurevitch. Arnold Publishing Ltd. 1991.

http://en.wikipedia.org/wiki/Imagined_Communities

http://www.gla.ac.uk/departments/sociology/units/football.htm

Martin-Barbero, Jesus. “The Processes: From Nationalism to Transnasionals”. Media in Global Context: A Reader. eds. Annabelle Sreberny-Mohammadi, Dwayne Winseck, Jim McKenna, Oliver Boyd-Barret. Arnold Publishing Ltd. 1997.

Martin, Judith N. dan Thomas K. Nakayama. Intercultural Communication in Context. Boston: McGraw-Hill. 2004

McChesney, Robert, Ellen Meiksins Wood, dan John Bellamy Foster. Capitalism and the Information Age: The Political Economy of the Global Communication Revolution. New York: Monthly Review Press. 1998

Mosco, Vincent. The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. London: Sage Publication. 1996

Ting-Toomey, Stella. Communicating Across Culture. New York, Gilford Press. 1999.

Vivian, John. The Media of Mass Communication. New York: Pearson. 2006.






No comments: