Sunday, January 7, 2007

Komponen-Komponen Komunikasi Antarbudaya

Ini adalah pembahasan tentang pendekatan dialektis terhadap komunikasi antarbudaya dan mengidentifikasi empat komponen yang saling berkaitan atau building blocks dalam upaya memahami komunikasi antarbudaya: kebudayaan, komunikasi, konteks, dan kekuasaan. Kebudayaan dan komunikasi adalah dua hal inti, sedangkan konteks dan kekuasaan membentuk latar bagi kita untuk dapat lebih memahami komunikasi antarbudaya.

Kebudayaan
Kebudayaan sering dianggap sebagai konsep inti dalam komunikasi antarbudaya. Satu karakteristik kebudayaan adalah bahwa kebudayaan berfungsi sebagian besar pada tataran bawah sadar.
Ada begitu banyak definisi kebudayaan—mulai dari pola persepsi yang mempengaruhi komunikasi hingga ajang persaingan dan konflik. Karena itu, sangat penting bagi kita untuk berefleksi pada sentralitas kebudayaan dalam interaksi kita.
Kebudayaan bukan hanya sekadar satu aspek dari komunikasi antarbudaya. Pendapat kita tentang kebudayaan membingkai gagasan dan persepsi kita.
Tak ada satu pun definisi kebudayaan yang dianggap paling benar karena tiap definisi bersifat sangat restriktif. Pendekatan dialektis menyatakan bahwa berbagai definisi menawarkan lebih banyak fleksibilitas saat kita mencoba mendekati topik komunikasi antarbudaya.
Pembagian high culture dan low culture adalah salah satu upaya untuk mendefinisikan kebudayaan dengan penekanan kualitas. Selain itu, ada pula definisi-definisi dari antropologi dan sosiologi, yang banyak digunakan dalam studi komunikasi antarbudaya. Beberapa definisi antropologis menyatakan budaya sebagai sekelompok pola pemikiran dan kepercayaan; definisi lain menyatakan bahwa budaya adalah sekelompok perilaku, dsb. Sementara itu, definisi psikologis biasanya menyatakan kebudayaan sebagai pemrograman pikiran dan agregat interaktif dari karakteristik bersama yang mempengaruhi respons sekelompok manusia pada lingkungannya. Selain itu, ada pula definisi-definisi yang dipinjam dari etnografi.
Selanjutnya, dengan munculnya cultural studies, muncul pula pandangan baru terhadap kebudayaan: kebudayaan dianggap sebagai satu contested zone. Artinya adalah bahwa kebudayaan dianggap sebagai sesuatu yang cair, tidak baku dan statis. Di dalam kebudayaan ada negosiasi dan kompetisi yang berkaitan dengan isu-isu gender, kelas, dan sejarah.

Komunikasi
Komunikasi sebagai komponen kedua yang mesti dimengerti untuk memahami komunikasi antarbudaya juga merupakan satu hal yang sama kompleksnya dengan kebudayaan.
Karakteristik utama dari komunikasi adalah makna. Kita memahami bahwa komunikasi terjadi saat seseorang mengatribusikan makna pada tuturan atau tindakan orang lain. Komunikasi dapat dipahami sebagai satu proses simbolis di mana realitas diproduksi, dipertahankan, diperbaiki, dan ditransformasikan. Definisi sederhana ini mengandung beberapa gagasan.
Gagasan pertama adalah bahwa komunikasi bersifat simbolis. Artinya kata-kata yang kita ucapkan dan gerakan yang kita lakukan tidak memiliki makna yang inheren. Semuanya mendapatkan signifikansinya dari makna yang disepakati. Kedua, proses di mana kita menegosiasikan makna bersifat dinamis. Artinya komunikasi bukanlah kejadian tunggal, melainkan berlangsung terus--maknanya ditentukan oleh kejadian komunikasi lain.
Hubungan antara kebudayaan dan komunikasi sangat rumit. Perspektif dialektis berasumsi bahwa kebudayaan dan komunikasi berinterelasi dan bersifat resiprokal. Artinya komunikasi dan kebudayaan saling mempengaruhi.
Dalam komunikasi, shared values satu komunitas akan mempengaruhi jawaban dari satu pertanyaan tertentu yang diajukan. Jawaban atau respons yang diberikan saat seseorang menjawab satu pertanyaan merupakan cerminan dari value yang diyakini dalam komunitas orang tersebut.
Bagaimanapun, dalam satu komunitas yang ada bukan hanya value dominan. Artinya kita harus menghindari pembentukan stereotipe berdasarkan analisis orientasi value tersebut. Konflik antarbudaya kerap terjadi karena adanya perbedaan dalam hal orientasi value.
Kebudayaan tak hanya mempengaruhi komunikasi, tapi kebudayaan dibangun melalui, sehingga juga dipengaruhi oleh, komunikasi. Para ilmuwan komunikasi kultural menggambarkan bagaimana berbagai aspek kebudayaan dibangun dalam guyub-guyub tutur dalam konteks. Mereka berupaya memahami pola-pola komunikasi yang terbentuk secara sosial dan ikut menentukan identitas kultural. Secara spesifik mereka mengamati bagaimana bentuk-bentuk dan kerangka-kerangka kultural terbentuk melalui norma-norma percakapan dan interaksi yang terstruktur.
Perlawanan terhadap sistem budaya yang dominan selalu ada dalam berbagai komunitas budaya.

Hubungan antara Komunikasi dan Konteks
Konteks secara tipikal tercipta oleh aspek sosial dan fisik dari situasi di mana komunikasi terjadi. Orang berkomunikasi secara berbeda-beda bergantung pada konteks di mana ia berada. Konteks tidak bersifat statis ataupun obyektif, dan dapat bersifat multilayered atau berlapis-lapis. Konteks dapat terdiri atas struktur-struktur sosial, politik, dan historis di mana komunikasi terjadi.

Hubungan antara Komunikasi dan Kekuasaan
Kekuasaan menyebar dalam interaksi komunikasi, meskipun tak selalu tampak jelas bagaimana kekuasaan mempengaruhi komunikasi atau makna-makna seperti apa yang terkonstruksi. Kita kerap menduga bahwa komunikasi terjadi antara pihak-pihak yang setara, padahal hal ini sangat jarang terjadi. Menurut Mark Orbe, orang-orang yang memiliki kekuasaan, baik secara sadar ataupun tidak, menciptakan dan mempertahankan sistem komunikasi yang mencerminkan, memperkuat, dan menonjolkan cara berpikir dan berkomunikasi mereka. Ada dua jenis kekuasaan yang berhubungan dengan kelompok: (1) dimensi primer (usia, etnis, gender, kemampuan fisik, ras, dan orientasi seksual), yang bersifat lebih permanen dan (2) dimensi sekunder (pendidikan, lokasi geografis, status perkawinan, dan status sosial ekonomi), yang lebih dapat berubah.
Kekuasaan juga berasal dari institusi sosial dan peran-peran individu yang menempati institusi-institusi tersebut. Kekuasaan bersifat dinamis, bukan proposisi searah yang sederhana. Ketegangan antara kelompok kultural yang dominan dan yang tersubordinasi dapat terus terjadi dalam berbagai cara.

Masalah elanjutnya yang akan dibahas di sini adalah bagaimana masa lalu merupakan satu segi yang sangat penting dari komunikasi antarbudaya. Bagian ini juga memeriksa beberapa cara di mana sejarah menjadi hal yang penting dalam memahami komunikasi antarbudaya. Banyak interaksi antarbudaya melibatkan satu dialektika interplay antara masa kini dan masa lalu. Dalam skala besar kita lihat bagaimana sejarah mempengaruhi interaksi interkultural dalam berbagai konteks, antara lain konflik di Tepi Barat antara Israel dan Palestina. Dialektika antara sejarah/masa lalu-masa kini/ masa depan adalah fokus dari bagian ini. Sebagaimana kita ketahui, budaya dan identitas budaya secara ketat terikat pada sejarah karena dua hal itu tak memiliki makna tanpa sejarah. Namun, mesti diingat bahwa tak ada satu versi tunggal sejarah: masa lalu ditulis dalam begitu banyak cara.


Dari Sejarah ke Sejarah-Sejarah
Berbagai jenis sejarah mempengaruhi pemahaman kita tentang siapa diri kita. Untuk memahami dialektika dalam interaksi sehari-hari, kita perlu memahami banyak sejarah yang ikut membentuk identitas kita yang berbeda-beda. Sejarah-sejarah ini saling menumpuk dan mempengaruhi. Mengenali berbagai jenis konteks sejarah adalah langkah pertama yang mesti kita ambil untuk memahami bagaimana sejarah mempengaruhi komunikasi.
Tiga jenis sejarah yang biasanya terdokumentasikan adalah sejarah politik, intelektual, dan sosial. Sejarah politik adalah sejarah yang fokus pada kejadian-kejadian politik. Sejarah intelektual adalah sejarah yang fokus pada perkembangan gagasan. Sejarah sosial adalah sejarah yang mencoba memahami beraneka pengalaman hidup berbagai kelompok di masa lalu. Namun, ada pula, sejarah yang tak hadir, yakni sejarah sekelompok orang yang tak terdokumentasikan karena beberapa hal, misalnya sejarah para budak di Amerika.
Sejarah lain adalah sejarah keluarga, yakni sejarah yang berlangsung berbarengan dengan sejarah-sejarah lain, tapi terjadi pada level yang lebih personal. Biasanya sejarah jenis ini tidak ditulis, melainkan disampaikan secara lisan secara turun-temurun.
Sejarah lain adalah sejarah nasional. Sejarah nasional suatu bangsa amat penting bagi bangsa tersebut. Biasanya sejarah nasional dipelajari di sekolah. Berbagai sejarah tentang berbagai tokoh diceritakan hampir menyerupai mitos karena diketahui bahwa pada beberapa sejarah bukti yang ditemukan tidak cukup kuat. Sejarah nasional memberikan pada kita satu gagasan yang sama tentang siapa kita dan memperkokoh rasa kebangsaan kita. Walaupun kita tidak benar-benar merupakan bagian dari narasi nasional tersebut, kita diharapkan mengenalnya dengan baik sehingga kita dapat memahami banyak referensi yang digunakan dalam komunikasi.
Yang berikutnya adalah sejarah kelompok budaya. Walaupun telah ada sejarah nasional, kelompok-kelompok budaya yang ada dalam negara itu memiliki sejarahnya masing-masing. Sejarah jenis ini bisa tersembunyi atau samar, namun masih berkaitan dengan sejarah nasional. Sejarah kelompok budaya membantu kita memahami identitas berbagai kelompok. Kita lebih memilih memandang sejarah sebagai banyak cerita yang kita ungkapkan tentang masa lalu alih-alih sebagai satu cerita pada satu rangkaian kesatuan waktu. Tentu saja kejadian-kejadian pada keluarga, kelompok budaya, dan negara saling berkaitan. Bahkan kejadian-kejadian dunia pun berkaitan. Ketidakpedulian pada sejarah kelompok lain membuat komunikasi antarbudaya menjadi tambah sulit dan kesalahpahaman sangat rentan terjadi.

Sejarah, Kekuasaan, dan Komunikasi Antar-Budaya
Kekuasaan merupakan dinamika sentral dalam penulisan sejarah. Kekuasaan mempengaruhi isi sejarah yang kita ketahui dan cara penyajiannya. Kekuasaan mendikte apa yang mesti diajarkan dan apa yang tidak, apa yang tersedia dan apa yang mesti dihapus.
Sejarah merupakan hal yang sangat penting dalam upaya memahami identitas. Fredric Jameson mengatakan bahwa meskipun bukan sebuah narasi, sejarah hanya dapat kita akses dalam bentuk naratif dan tekstual. Meski begitu, orang tidak memiliki akses yang sama pada tulisan dan produksi teks-teks ini.
Teks-teks politik mencerminkan perbedaan akses pada partisipasi politik dalam berbagai negara pada waktu yang berbeda pula dalam sejarah. Dengan mempertimbangkan bahasa yang kita gunakan untuk memahami sejarah, jelas tampak ada perbedaan di antara terminologi-terminologi yang digunakan dalam sejarah. Cara kita mengungkapkan sesuatu dalam sejarah dipengaruhi oleh cara pandang kita terhadap dunia.
Ketersediaan teks-teks politik yang bersifat relatif dan cara mereka merefleksikan ketidaksetaraan kekuasaan ditulis kembali dalam proses penyusunan sejarah. Penulisan sejarah membutuhkan dokumentasi dan teks, dan tentu saja, terbatas pada apa yang tersedia. Dalam menulis sejarah, kita kerap menanyakan apa yang penting, tapi tidak pernah menanyakan hal itu penting bagi siapa dan untuk tujuan apa. Saat telah ditulis, teks-teks itu tersedia untuk mengajarkan dan belajar tentang masa lalu. Namun, apa yang tampak sebagai satu kesatuan masa lalu, sifat linear dari sejarah, tak lebih dari refleksi dari identitas modern, yang berakar pada tradisi Barat.
Kita hidup pada satu zaman di mana perubahan terjadi sangat cepat. Itu membuat kita memikirkan ulang perjuangan dan identitas kultural kita. Mungkin sulit bagi kita untuk membayangkannya, namun satu ketika satu cerita utuh umat manusia--narasi Agung—akan mendominasi bagaimana manusia berpikir tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tapi, hal ini tak berlaku lagi. Sebagai ganti narasi agung itu, muncullah sejarah-sejarah yang telah direvisi dan dipulihkan, yang sebelumnya ditekan, disembunyikan, atau dihapus. Pergerakan budaya yang memungkinkan pergeseran ini terjadi memberi kuasa pada identitas-identitas kultural yang terlibat. Memulihkan berbagai sejarah sangat perlu untuk memikirkan ulang apa arti beberapa identitas budaya. Selain itu, hal tersebut pun diperlukan untuk membantu kita memikirkan ulang identitas kultural yang dominan.
Kekuasaan juga merupakan warisan, sisa-sisa sejarah yang meninggalkan satu kelompok budaya tertentu dalam satu posisi tertentu. Kita belum pernah setara dalam tiap interaksi kultural, dan tak akan pernah setara. Sejarah panjang imperialisme, kolonialisme, eksploitasi, perang, pemusnahan massal, dan hal-hal lain meninggalkan kelompok-kelompok kultural dalam posisi yang tak seimbang ketika mereka berkomunikasi.
Ketidaksetaraan itu mempengaruhi cara pikir kita tentang pihak lain dan bagaimana kita berinteraksi dengan mereka. Ketidaksetaraan itu juga mempengaruhi bagaimana kita berpikir tentang diri kita sendiri—identitas kita. Ini merupakan aspek yang penting dari komunikasi antarbudaya. Hal itu mungkin tampak mengerikan untuk menghadapi sejarah perjuangan kelas. Namun, semakin banyak kita tahu, semakin baik kita akan memosisikan diri kita dalam interaksi antarbudaya yang sukses.


Sejarah dan Identitas
Pengembangan identitas kultural amat dipengaruhi sejarah. Identitas kultural pun dibentuk melalui upaya kita dalam memahami masa lalu.
Menurut Walter Fisher, penyampaian cerita adalah hal yang fundamental bagi pengalaman manusia. Fisher menyebut manusia sebagai Homo narrans karena terminologi itu menekankan betapa pentingnya narasi dalam hidup kita. Sejarah adalah cerita-cerita yang kita gunakan untuk memahami siapa diri kita dan apa yang kita pikir tentang mereka. Merupakan hal yang penting untuk tahu bahwa satu unsur yang kuat dalam perilaku kultural kita mendorong kita untuk melupakan sejarah pada waktu-waktu tertentu.
Keinginan untuk lari dari sejarah bersifat signifikan dalam apa yang dikatakannya pada kita tentang bagaimana budaya kita menegosiasikan hubungannya dengan masa lalu, begitu juga bagaimana kita melihat hubungan negara dan budaya lain dengan masa lalunya.
Masyarakat dari kelompok budaya nonmainstream kerap memperjuangkan untuk mempertahankan sejarah mereka. Sejarah mereka bukanlah sejarah yang dominan namun tetap penting untuk melihat bagaimana pihak lain memandang mereka dan mengapa seperti itu.
Sejarah-sejarah etnis dan rasial tak pernah terisolasi, selalu bersilangan dengan arah gerak milik kultur lain. Kita kadang merasa bahwa kita adalah korban atau sebaliknya dalam satu peristiwa sejarah di masa lampau, atau bahkan kita menempati dua posisi tersebut secara bersamaan.
Bagi masyarakat nonmainstream, menyatakan hal yang sebenarnya merupakan hal yang tepat untuk mengonstruksi identitas personal dan kultural. Menceritkan narasi personal menawarkan pada kita satu jalan masuk dan sarana untuk berdamai dengan sejarah. Sejarah-sejarah yang tersembunyi membantu kita memahami bagaimana pihak lain menegosiasikan perilaku kultural masa lalu yang berhubungan dengan masa kini. Ada beberapa macam sejarah yang tersembunyi.
Pertama, sejarah gender. Mendokumentasikan sejarah jenis ini sangat sulit karena adanya peraturan tradisional yang tidak membolehkan para perempuan memiliki akses pada forum, dokumen, dan catatan publik.
Kedua, sejarah dasial dan etnis: Sejarah ini kerap dilupakan atau tidak dipedulikan beberapa negara. Namun, pada akhirnya, kelompok budaya yang berkaitan tetap terus menerus memperjuangkan agar sejarah ini terus diingat.
Ketiga, sejarah diaspora. Sejarah ini merupakan sejarah perpindahan antarnegara atau antarkota secara besar-besaran yang terkadang disebabkan oleh perang, kelaparan, atau penyiksaan sehingga menyebabkan terusirnya suatu kesatuan kelompok.
Keempat adalah sejarah kolonial, yakni sejarah penjajahan atau pendudukan satu negara atas negara lain.
Kelima adalah sejarah kelas sosioekonomi. Sejarah ini disebabkan adanya perkembangan ekonomi. Perpindahan masyarakat besar-besaran diakibatkan oleh perkembangan bidang ekonomi.

Komunikasi Antar-Budaya dan Sejarah
Richard Brislin (1981) mengidentifikasi 4 elemen dari sejarah yang mempengaruhi interaksi: individu membawa pengalaman masa kecil mereka dalam interaksi, individu mungkin membawa mitos-mitos historis dalam interaksi, bahasa yang dipakai individu untuk berbicara mempengaruhi interaksi mereka, masyarakat baik itu individu atau kelompok terkadang dapat terpengaruh peristiwa mengerikan yang baru saja terjadi.
Ada dugaan bahwa komunikasi yang lebih baik dan mudah antara sekelompok orang dilakukan dengan membawa mereka bersama dan memperbolehkan mereka untuk berinteraksi. Gordon Allport (1979) dan Yehudi Amir (1969) mengungkapkan setidaknya terdapat 8 kondisi yang harus dilakukan untuk meningkatkan sikap dan memudahkan komunikasi antarkelompok.
Pertama, anggota kelompok harus berada dalam status yang sejajar, baik di dalam maupun di luar peristiwa interaksi tersebut. Kedua, nilai-nilai yang kuat dan adanya dukungan institusi untuk pertemuan tersebut. Ketiga, pertemuan antara kelompok tersebut harus dilakukan secara sukarela. Keempat, pertemuan tersebut harus memiliki potensi untuk diperluas melebihi situasi saat itu dan harus muncul di dalam sebuah konteks yang bervariasi dengan berbagai macam individu dari semua kelompok. Kelima, rencana atau program tersebut harus memaksimalkan kerja sama antarkelompok dan meminimalkan kompetisi. Keenam, rencana tersebut harus menyamakan jumlah dari anggota kelompok. Ketujuh, snggota kelompok harus memiliki kepercayaan dan nilai-nilai yang sama. Kedelapan, program mesti mempromosikan individuasi anggota kelompok.
Bagaimana sebuah perspektif dialektikal dapat membantu kita menegosiasikan interaksi, sikap individual yang telah ada, serta sejarah personal dan budaya? Bagaimana kita menyeimbangkan antara masa lalu dan masa sekarang di dalam kehidupan interaksi antarbudaya kita sehari-hari?
Pertama, sangatlah penting untuk menyadari bahwa kita semua membawa sejarah masing-masing dalam interaksi. Kedua, kita harus mengerti peran bahwa sejarah memainkan dalam identitas, pada apa yang kita bawa dalam interaksi.


(Ting-Toomey, Stella. Communicating Across Culture. New York: The Guilford Press, 1999)

No comments: