Sunday, January 7, 2007

Perubahan Identitas dan Adaptasi Budaya

Proses adaptasi antarbudaya: didefinisikan sebagai tingkat perubahan yang terjadi ketika individu pindah dari lingkungan yang dikenalnya ke lingkungan yang kurang dikenal. Proses ini melibatkan perjalanan lintas batas budaya.

Adaptasi Antar-Budaya: Faktor-Faktor Antecedent

Adaptasi antarbudaya mengacu pada proses perubahan yang berkaitan dengan identitas yang terjadi secara meningkat yang terjadi pada para penduduk musiman dan imigran di lingkungan baru.

Penyesuaian mengacu pada proses adaptif jangka pendek dan menengah yang dilakukan para penduduk musiman dalam masa penugasan mereka di luar negeri.

Istilah akulturasi digunakan dalam literatur antarbudaya untuk menggambarkan proses perubahan jangka panjang para imigran dan pengungsi saat beradaptasi dengan tempat tinggal baru mereka.

Enkulturasi, pada sisi lain, kerap mengacu pada proses sosialisasi primer terus-menerus para orang asing di budaya asal mereka di mana mereka telah menginternalisasikan nilai-nilai budaya utama.

Ada tiga faktor antecedent yang biasanya mempengaruhi proses adaptasi para pendatang: faktor di level sistem, level individu, dan interpersonal.


Faktor-Faktor di Level Sistem

Faktor-faktor di level sistem adalah faktor-faktor yang ada di lingkungan yang didatangi yang mempengaruhi para adaptasi pendatang baru terhadap budaya baru. Ada lima observasi yang terkumpul berdasarkan temuan dari riset adaptasi yang tersedia.

Pertama, keadaan sosioekonomi budaya yang didatangi mempengaruhi iklim adaptasi. Keadaan yang makmur akan membuat para anggota budaya tersebut lebih toleran terhadap pendatang baru.

Kedua, pendirian sikap budaya yang didatangi berkaitan dengan asimilasi budaya atau pluralisme budaya menghasilkan efek tak langsung pada kebijakan-kebijakan institusional terhadap proses adaptasi para pendatang baru. Pendirian asimilasi budaya menuntut konfirmitas lebih tinggi dari para orang asing dalam beradaptasi dengan lingkungan yang didatangi dibandingkan dengan pendirian pluralis budaya.

Ketiga, institusi lokal berperan sebagai agensi kontak pertama yang memfasilitasi atau menghambat proses adaptasi para penduduk musiman atau imigran.

Keempat, definisi makna budaya yang didatangi soal peran para pendatang dapat mempengaruhi proses awal dari adaptasi para penduduk musiman dan imigran.

Kelima, jarak budaya antara kedua budaya--milik para pendatang dan tuan rumah--berdampak kuat pada adaptasi para pendatang.

Faktor-Faktor di Level Individu

Di level individu, ada faktor-faktor yang mempengaruhi adaptasi antarbudaya: motivasi individual, ekspektasi individual, pengetahuan berdasarkan interaksi dan pengetahuan budaya, dan atribut pribadi.

Orientasi motivasi pendatang baru untuk meninggalkan tempat asalnya dan memasuki satu budaya baru memiliki pengaruh yang tak terhindarkan pada mode-mode adaptasinya.

Ekspektasi individual pun dipandang secara luas sebagai satu faktor krusial dalam proses adaptasi antarbudaya. Ekspektasi mengacu pada proses antisipatori dan hasil prediktif dari situasi yang akan datang.

Pengetahuan budaya dan pengetahuan berdasarkan interaksi yang dimiliki para pendatang baru tentang budaya yang didatangi juga berperan sebagai faktor penting lain dalam proses adaptasi mereka. Pengetahuan budaya dapat mencakup informasi soal sejarah perbedaan etnik dan budaya, geografi, sistem politik dan ekonomi, keyakinan agama dan spiritul, sistem nilan berganda, dan norma-norma situasional. Pengatahuan berdarkan interaksi mencakup bahasa, gaya verbal dan nonverbal, isi-isu komunikasi yang berkaitan dengan perbedaan, dan berbagai gaya pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.

Berkaitan dengan atribut pribadi, profil-profil kepribadian seperti toleransi tinggi terhadap ambiguitas, locus internal kontrol, fleksibilitas dan keterbukaan personal secara konstan dihubungkan dengan pemfungsian psikologis yang positif dalam satu budaya baru. Ward mengajukan satu proposisi ”cultural fit”, yang menekankan pentingnya kecocokan antara tipe kepribadian para acculturators dengan norma-norma budaya yang jadi tuan rumah.

Sebagai tambahan, variabel-veriabel demografis seperti usia dan tingkat pendidikan juga mempengaruhi keefektifan adaptasi.

Faktor-Faktor di Level Antarpribadi

Faktor-faktor di level interpersonal mencakup faktor jaringan hubungan tatap muka, faktor kontak yang dimediasi, dan faktor-faktor kemampuan interpersonal. Faktor jaringan kontak dan media massa dapat meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri interpersonal dalam perjalanan pembelajaran budaya yang mereka lakukan.

Jaringan kontak mengacu pada kombinasi ikatan personal dan sosial dalam budaya baru di mana sumber-sumber daya afektif, instrumental, dan informasional dipertukarkan. Sumber daya afektif mencakup pertukaran dukungan identitas dan pesan-pesan emphatic relasional. Sumber daya instrumental mencakup dukungan tujuan yang berkaitan dengan tugas, bantuan-bantuan praktis, dan pertukaran sumber daya yang tangible. Sumber daya informasional mencakup berbagi pengetahuan dan membuat orang lain mengetahui satu berita penting tertentu.

Studi menemukan bahwa dalam tahap adaptasi awal, jaringan pertemanan/sosial yang berdasarkan etnis berperan penting bagi para pendatang baru dalam hal fungsi dukungan identitas dan dukungan emosional.

Media etnis juga memainkan peran yang penting dalam tahap awal adaptasi para imigran. Hambatan bahasa membuat para imigran cenderung memilih media etnis.

Di sisi lain, media tuan rumah juga memainkan peran edukatif dalam menyediakan lingkungan yang aman bagi para pendatang baru untuk mempelajari bahasa dan keterampilan bersosialisasi dari budaya tuan rumah.

Dari semua variabel, kemampuan berbahasa memainkan peran yang paling penting dalam konsumsi media tuan rumah. Semakin baik kemampuan bahasa para pendatang, semakin mungkin mereka memilih media tuan rumah. Pada tahap awal adaptasi, para imigran mungkin cenderung memilih acara-acara hiburan, namun pada tahap berikutnya, mereka lebih memilih acara-acara informasi.

Para peneliti manajemen internasional mengidentifikasi beberapa kemampuan adaptif interpersonal yang penting bagi para pelaku bisnis yang bekerja di luar negeri: pemeliharaan keadaan psikologis, kesadaran yang memadai soal perilaku dan nila-nilai tuan rumah, interaksi interpersonal dengan orang dari negara tersebut. Sebagai perbandingan, peneliti komunikasi antarbudaya mendefinisikan beberapa kemampuan sebagai keterampilan antarbudaya yang penting: (1) kemampuan mengelola tekanan psikologis, (2) kemampuan berkomunikasi secara efektif, dan (3) kemampuan membangun hubungan antarpribadi yang meaningful.

Ada lima langkah yang dapat diterapkan oleh para penduduk musiman dan imigran dalam mengasah kemampuan interpersonal khusus-budaya mereka dalam budaya baru:

1. identifikasi satu keterampilan yang memfasilitasi komunikasi yang lebih baik dengan orang-orang dari satu budaya tertentu
2. pahami mengapa keterampilan ini penting-pasangkan nilai budaya tertentu dengan kemampuan ini
3. cari tahu mengapa, di mana, dan dalam situasi apa keterampilan ini digunakan secara tepat
4. sadari keunikan para individu yang berinteraksi dengan kita—mungkin saja dia tidak cocok dengan norma di atas tadi
5. latih keterampilan ini dalam interaksi keseharian dengan orang-orang dari budaya baru

Dalam tiap proses pembelajaran budaya yang berhasil, anggota budaya tuan rumah perlu bersikap sebagai tuan rumah yang baik sedangkan pendatang bersikap sebagai orang-orang yang bersedia belajar.


Adaptasi Antar-Budaya: Proses Perubahan Identitas

Proses adaptasi antarbudaya melibatkan perubahan identitas dan tantangan-tantangan bagi para pendatang baru. Tantangan-tantangan yang dimaksud:
(1) perbedaan-perbedaan dalam keyakinan inti, nilai-nilai, dan norma-norma situasional antara di tempat asal dan di tempat baru;
(2) hilangnya gambaran-gambaran budaya asal yang dipegang—semua citra dan simbol yang familiar yang menandakan bahwa identitas yang dulu familiar dari para pendatang baru telah hilang;
(3) rasa ketidakmampuan para pendatang dalam merespons setting baru secara tepat dan efektif.

Mengelola Proses Guncangan Budaya

Culture shock mengacu pada proses transisional di mana individu merasa adanya ancaman pada keberadaannya dalam satu lingkungan yang secara budaya baru baginya. Dalam lingkungan yang kurang akrab baginya itu, identitas individu tersebut tampak tak terlindungi. Scenes dan script budaya tak beroperasi dalam setting baru dan jaringan budaya yang akrab sebelumnya telah hilang.

Culture shock menghasilkan pelanggaran ekspektansi, yang pada gilirannya memunculkan kerapuhan emosional. Culture shock pada awalnya merupakan fenomena emosional, lalu muncul disorientasi kognitif dan disonansi identitas.
Menurut Oberg, culture shock menghasilkan satu keadaan disequilibrium identitas, yang dapat memunculkan transformasi adaptif dalam diri seorang pendatang pada level moral, afektif, kognitif, perilaku. Culture shock melibatkan:
(1) rasa hilangnya dan tercabutnya identitas yang berkaitan dengan nilai-nilai, status, profesi, teman-teman, dan kepemilikan;
(2) ketegangan identitas sebagai hasil dari upaya yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan-perubahan psikologis yang diperlukan;
(3) penolakan identitas oleh anggota budaya baru;
(4) kebingungan identitas, terutama yang berkaitan dengan ambiguitas peran dan unpredictibility;
(5) ketidakmampuan identitas sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk mengatasi lingkungan baru.

Semua penduduk musiman dan imigran mengalami beberapa derajat hilangnya identitas dan duka dalam lingkungan yang asing. Guncangan budaya--tak dapat dihindari--merupakan satu pengalaman yang menekan dan memunculkan disorientasi.

Guncangan budaya dapat memunculkan efek negatif dan positif. Yang termasuk dalam implikasi negatif adalah masalah psikosomatik akibat stres berkepanjangan; disorientasi kognitif akibat kesulitan-kesulitan dalam membuat atribusi yang akurat; letupan afektif yang terdiri dari perasaan kesepian, depresi, dan perubahan mood yang drastis; dan kecanggungan dalam interaksi sosial akibat ketidakmampuan untuk tampil optimal dalam bahasa dan latar baru.

Sebaliknya, jika dikelola dengan penuh pertimbangan, guncangan budaya dapat menimbulkan efek positif pada pendatang baru: rasa tenteram dan meningkatnya harga diri; fleksibilitas dan keterbukaan kognitif; kompetensi dalam interaksi sosial dan meningkatnya kepercayaan diri dan rasa percaya pada orang lain.

Banyak penduduk musiman yang gagal karena pengalaman guncangan budaya menjadi sangat agresif atau menyendiri secara total. Anderson mengidentifikasi empat tipe “culture shockers”: (1) early returnees--mereka yang keluar pada tahap awal dan menggunakan strategi pulang-pergi untuk berurusan dengan lingkungan “yang tak bersahabat”;
(2) time servers—mereka yang bersikap biasa-biasa saja dengan kontak minimum dengan para warga lokal dan secara emosional dan kognitif menjalani waktu serta pada saat yang bersamaan menunggu kesempatan untuk pulang;
(3) the adjusters—mereka yang bersikap secara cukup moderat dan membaur bersama para penduduk lokal secara perilaku tapi tidak secara afektif;
(4) the participators—mereka yang menampilkan upaya optimal dan secara perilaku dan afektif menjadi partisipan penuh dalam budaya lokal.

Model Penyesuaian Penduduk Sementara

Model Perubahan Identitas Penduduk Sementara

Beberapa penelitian mengonseptualisasikan proses penyesuaian penduduk musiman dari berbagai perspektif developmental. Konsekuensi menarik dari model-model deskriptif yang berorientasi jenjang ini berpusat pada pertanyaan apakah adaptasi penduduk musiman merupakan satu proses kurva-U atau kurva-W. Lysgaard mengembangkan satu model penyesuaian antarbudaya yang terdiri atas tiga fase yang mencakup penyesuaian awal, krisis, dan penyusaian yang diperoleh kembali. Penyesuaian awal adalah fase optimistis dari proses penyesuaian para penduduk musiman; yang kedua merupakan fase yang menekan ketika realitas terbentuk dan penduduk musiman diluapi ketidakmampuan mereka; yang ketiga adalah fase penetapan, saat penduduk musiman belajar mengatasi lingkungan baru.

Dari gagasan-gagasan tersebut, Lysgaard mengajukan model kurva-U proses penyesuaian penduduk musiman, sekaligus menyatakan bahwa penduduk musiman melalui fase awal ”bulan madu”, lalu mengalami ”kemerosotan” atau fase yang membuat tertekan, dan akhirnya menguasai diri mereka hingga mencapai satu fase dalam mengelola tugas-tugas mereka di luar negeri. Dalam mengembangkan model kurva-U, Gullahorn dan Gullahorn mengajukan model kurva-W dengan enam jenjang: fase bulan madu, permusuhan, penuh humor, merasa seperti di rumah sendiri, guncangan budaya reentry, dan resosialisasi. Sebagai pengembangan lebih lanjut dari model Gullahorn dan Gullahorn ini, dikembangkan model penyesuaian berbentuk W hasil revisi dengan tujuh jenjang untuk menjelaskan proses penyesuaian jangka pendek dan menengah dari penduduk musiman.

Ketujuh jenjang tersebut adalah jenjang bulan madu, permusuhan, penuh humor, in-sync, ambivalensi, guncangan budaya, dan resosialisasi.

Pada tahap bulan madu, penduduk musiman sangat bersemangat menghadapi lingkungan budaya baru mereka. Pada tahap permusuhan, mereka mengalami kebingungan dan disorientasi identitas yang hebat; tak ada satu hal pun yang berhasil dalam fase ini. Dalam tahap penuh humor, penduduk musiman belajar menertawakan kecerobohan-kecerobohan budaya mereka dan mulai menyadari bahwa ada pro dan kontra dalam tiap budaya—seperti ada baik dan buruk dalam tiap masyarakat. Dalam tahap in-sync, mereka mulai merasa seperti ada di lingkungan sendiri dan mengalami keamanan dan inklusi identitas. Batas antara outsider dan insider semakin kabur dan para pendatang mengalami penerimaan dan dukungan sosial. Saat telah berada di zona kenyamanan, mereka harus pulang. Dalam tahap ambivalensi, mereka mengalami duka, nostalgia, dan kebanggaan, yang bercampur dengan rasa lega sekaligus sedih karena mereka akan pulang. Dalam tahap guncangan budaya saat masuk kembali, penduduk musiman menghadapi satu sentakan tak terduga. Karena sifatnya yang tak terduga, guncangan budaya reentry biasanya berdampak lebih hebat. Mereka biasanya merasa lebih tertekan dibandingkan dengan ketika mereka masuk. Pada tahap resosialisasi, beberapa individu secara diam-diam mengasimilasikan diri mereka kembali pada peran-peran dan perilaku lama mereka tanpa menimbulkan gelombang atau tanpa tampil berbeda dari kolega-kolega mereka. Beberapa individu lain tak dapat masuk kembali ke dalam budaya asal mereka (alienator). Beberapa individu lain mungkin menjadi agen perubahan dalam budaya atau organisasi asal mereka. Mereka secara penuh pertimbangan mengintegrasikan pengalaman belajar di luar negeri dengan hal-hal positif lain dari budaya asal mereka. Mereka menerapkan cara berpikir multidimensional, kecerdasan emosi yang diperkaya, dan berbagai sudut pandang dalam memecahkan masalah atau mendorong perubahan demi terciptanya organisasi pembelajaran yang benar-benar inklusif. Mereka juga tidak takut terlihat berbeda di tempat asal mereka karena mereka memiliki pengalaman menjadi orang yang berbeda saat di luar negeri. Mereka merasa nyaman dengan proses berayun identitas ganda. Para transformer ini menjadi individu-individu yang telah memiliki kecermatan, rasa iba, dan kebijakan.

Pada dasarnya, model penyesuaian berbentuk W yang telah direvisi menekankan beberapa karakteristik selama proses perubahan identitas para penduduk musiman:
1. mereka perlu memahami puncak dan titik rendah, pergeseran positif dan negatif, yang membentuk perubahan identitas dalam lingkungan asing, menyadari bahwa perubahan naik-turun perasaan merupakan bagian dari proses perubahan dan perkembangan,
2. Mereka mesti menyadari dan mengikuti tujuan instrumental, relasional dan identitas mereka dalam budaya baru; kesuksesan dalam satu set tujuan tertentu mempengaruhi keberhasilan mencapai tujuan lain,
3. mereka perlu memberikan diri mereka waktu dan ruang untuk menyesuaikan diri,
4. mereka perlu mengembangkan ikatan kuat dan ikatan lemah untuk melindungi mereka dan tempat mencari bantuan pada saat diperlukan,
5. mereka perlu mencari kesempata untuk berpartisipasi dalam event budaya besar milik budaya tuan rumah dan melibatkan diri dalam kesempatan langka itu serta belajar menikmati budaya lokal semaksimal mungkin.

Reentry Culture Shock

Reentry culture shock melibatkan penyelarasan identitas baru seseorang dengan lingkungan yang dulunya akrab dengan orang tersebut, dan biasanya lebih menekan dan mengguncangkan dibandingkan dengan guncangan budaya entry. Setelah tinggal di luar negeri selama beberapa lama, hal ini tak terhindarkan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi guncangan budaya reentry:
1. perubahan identitas penduduk musiman
2. citra-citra nostalgia dan ideal tentang budaya asal mereka
3. kesulitan mereka dalam melakukan reintegrasi diri mereka menuju jalur karier lama dan peran karier karena sudut pandang budaya baru mereka
4. kekecewaan mereka karena tak terpenuhinya harapan akan keeratan ikatan dengan keluarga dan teman, yang kini telah jauh karena perpisahan yang lama
5. keluarga dan teman tak begitu berminat mendengarkan cerita mereka sebagai returnees lalu mereka jadi tak sabar
6. tuntutan budaya asal atas konformitas dan harapan sesuai dengan peran lama mereka
7. tak adanya perubahan dalam budaya asal atau sebaliknya terlalu banyak perubahan

Dengan demikian, reentry culture shock dapat dipahami dari tiga domain: kesiapan returnees untuk melakukan resosialisasi dalam lingkungan asal, derajat perubahan dalam pertemanan dan jaringan keluarga returnees, kondisi penerimaan di tempat asal.

Rekomendasi Sussman:
Pada level individu, kesadaran akan perubahan mesti menjadi komponen utama pelatihan reentry karena individu menghadapi banyak tantangan psikologis dan lingkungan.

Rekomendasi Pusch dan Loewenthall:
1. pengenalan apa yang ditinggalkan dan apa yang didapatkan para sojourner selama penugasan di luar negeri,
2. harga emosional dari transisi
3. nilai kecemasan—mengantisipasi dan bersiap menghadapi kesulitan yang mungkin muncul
4. kebutuhan akan sistem pendukung dan cara mengembangkannya
5. perlunya mengembangkan strategi seseorang saat pulang.

Menurut Adler, ada tiga tipe manajer returnee dalam kaitannya dengan strategi transisi tertentu yang mereka terapkan:
1. resocialized returnees: mereka yang tak menyadari bahwa mereka telah mempelajari kemampuan-kemampuan baru dalam budaya baru, secara psikologis memiliki jarak dengan pengalaman internasional tersebut
2. alienated returnees: mereka yang menyadari kemampuan-kemampuan, dan gagasan-gagasan baru dari pengalaman mereka di luar negeri, namun mengalami kesulitan menerapkannya di organisasi asal.
3. proactive returnees: mereka yang amat menyadari kemampuan-kemampuan, dan gagasan-gagasan baru dari pengalaman mereka di luar negeri dan berusaha mengintegrasikan nilai-nilai dan praktik-praktik baru dengan budaya asal dan mengembangkan pandangan sinergistis dalam fase reentry mereka.

Model Perubahan Identitas Imigran dan Minoritas

Akulturasi adalah proses beranekasegi dan multidimensional yang melibatkan proses perubahan level sistem dan individu.

Para antropologis: akulturasi adalah kontak langsung yang berlangsung terus-menerus antara kelompok-kelompok individu yang memproduksi perubahan berikutnya dalam pola-pola budaya salah satu atau dua kelompok tersebut.

Komunikasi antarbudaya: akulturasi mengacu pada proses perubahan level individu yang terjadi karena kontak langsung yang diperpanjang dengan budaya baru.

Transformasi individu ini dapat terjadi dalam masyarakat yang monokultural atau pluralistis.

Dalam masyarakat monokultural dengan tuntutan akan konformitas yang tinggi, akulturasi bagi inhabitan jangka panjang secara tipikal bersifat unidirectional. Dalam masyarakat pluralistis, akulturasi dapat mengambil banyak bentuk dan arah. Konsep akulturasi melibatkan banyak isu, seperti batas dalam kelompok/ luar kelompok, tekanan konformitas, perilaku dan hubungan kelompok minoritas-mayoritas, dan pemeliharaan warisan etnis serta asimilasi budaya yang lebih besar.

Dari perspektif tipologis minoritas-mayoritas, penonjolan identitas etnis/kultural dapat dipandang sebagai model empat rangkap yang menekankan orientasi individu terhadap isu-isu pemeliharaan identitas etnis dan identitas budaya yang lebih besar.

Menurut Berry, imigran yang cenderung mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan merendahkan siginifikansi nilai-nilai dan norma-norma budaya baru menerapkan opsi yang berorientasi tradisional. Individu yang mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan pada saat bersamaan menampakkan gerakan untuk menjadi bagian dari masyarakat yang lebih besar menerapkan opsi yang berorientasi bikultural atau integratif. Individu yang menganggap rendah signifikansi nilai-nilai dan norma-norma etnis mereka dan cenderung memandang diri mereka sebagai anggota masyarakat yang lebih besar menerapkan opsi asimilasi. Individu yang kehilangan kontak psikologis/etnis dengan kelompok etnis sekaligus masyarakat yang lebih besar dan mengalami perasaan alienasi dan kehilangan identitas mengalami marjinalisasi.

Perspektif pengembangan identitas rasial/ etnis lebih menekankan sifat opresif-adaptif hubungan antarkelompok dalam satu masyarakat pluralistis. Dari perspektif ini, penonjolan identitas rasial/etnis berkenaan dengan pengembangan kesadaran etnis atau rasial sepanjang satu jalur linear progresif dari perubahan identitas.

Secara integratif, perspektif tipologis dan jenjang memunculkan kerangka ayng membantu kita memahami peran penonjolan identitas/rasial dalam masyarakat pluralistis.

Studi penonjolan identitas etnis mengandung unsur-unsur ethnic-specific dan ethnic-general. Untuk memahami peran penonjolan identitas etnis dalam masyarakat pluralistis, pemeliharaan identitas etnis dan pemeliharaan identitas budaya yang lebih besar mesti dipertimbangkan.

Adaptasi Antar-Budaya: Hasil Efektif

Hasil di Level Sistem dan Level Interpersonal


Ketidakperhatian terhadap berbagai isu di tempat kerja dapat menyebabkan:
1. rendahnya moral karena benturan budaya,
2. tingginya ketidakhadiran karena tekanan psikis,
3. tingginya biaya akibat turnover karyawan yang tinggi,
4. banyaknya waktu terbuang karena miskomunikasi antara pegawai yang berbeda-beda,
5. tersia-sianya sejumlah besar energi dan kreativitas personal yang dikeluarkan dalam resistensi aktif terhadap perubahan yang tak terhindarkan.

Keuntungan jangka panjang dari pengelolaan keragaman secara efektif pada level sistem dan organisasi:
1. pemanfaatan maksimal modal manusia pada organisasi,
2. meningkatnya pengetahuan dan saling menghargai di antara berbagai karyawan,
3. dengan begitu, komitmen pun meningkat di antara karyawan yang berbeda-beda pada berbagai level organisasi di semua fungsi,
4. inovasi dan fleksibilitas meningkat karena ”others” terlibat lebih aktif dalam kelompok pemecah masalah,

Hasil Perubahan Identitas Personal

Dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi komunikator yang resourceful dalam satu budaya yang baru, seseorang mesti secara konstan menjalani satu jalur yang sempit seraya menyeimbangkan berbagai tindakan identitas. Ia harus mengabaikan stabilitas demi mendapatkan stabilitas, harus mengalami pembedaan untuk dapat masuk ke dalam kelompok, harus berani mengambil risiko kehilangan kepercayaan untuk meraih kepercayaan. Akhirnya, seorang pendatang baru mesti bersedia untuk menjadi satu anonimitas dalam satu teritori tak dikenal dalam rangka menjadi anggota penuh yang diakui dalam budaya baru.

Rekomendasi

Secara keseluruhan, berdasarkan berbagai temuan riset, ada beberapa rekomendasi untuk mengelola guncangan budaya para pendatang baru secara efektif:
1. Pendatang baru mesti menyadari bahwa guncangan budaya merupakan satu pengalaman tak terhindarkan bagi sebagian besar orang ketika pindah dari satu lingkungan yang dikenal ke yang tak dikenal. Culture shock disebabkan oleh ketakutan dan ancaman identitas dalam lingkungan tak terduga.

2. Pendatang baru mesti memahami bahwa guncangan budaya meningkat karena lingkungan tak dikenal yang dipenuhi isyarat-isyarat tak dikenal. Mengembangkan satu jaringan pertemanan berdasarkan etnis yang mendukung dan masuk ke dalam latar baru secara pelan-pelan membantu mereka memulihkan keadaan ekuilibrium identitas.

3. Para pendatang musiman dan imigran mesti menyadari bahwa bagian tekanan budaya itu diakibatkan rasa mereka tentang disorientasi akut dalam kaitannya dengan norma-norma dan skrip-skrip tak dikenal dalam budaya baru. Dengan begitu, berupaya untuk membangun kontak dengan anggota lain dalam budaya tuan rumah dan belajar berkomunikasi dengan mereka dapat meningkatkan pengetahuan lokal dan mengurangi perasaan rapuh. Pada saat yang bersamaan, semakin besar upaya anggota budaya tuan rumah untuk membantu dan meningkatkan keakraban mereka dengan pendatang baru, semakin mungkin mereka meningkatkan rasa aman dan diterima pada diri pendatang baru.
4. Guncangan budaya sebagian disebabkan oleh perasaan ketidakmampuan. Dengan mencari peran-peran positif anutan dan mentor, pendatang baru dapat menemukan translator andal untuk memuluskan fase awal dan developmental adaptasi mereka.
5. Pendatang baru harus menyadari bahwa guncangan budaya adalah fase afektif transisional stres yang surut dan mengalir dari intensitas tinggi ke rendah. Mereka perlu berpegangan pada rasa humor dan menekankan aspek positif lingkungan ketimbang memikirkan aspek negatifnya.
6. Pendatang baru dapat menyingkirkan ancaman identitas mereka dengan (a) meningkatkan motivasi untuk mempelajari budaya baru, (b) menjaga harapan mereka tetap realistis dan meningkatkan familiarity berkenaan dengan berbagai segi budaya baru, (c) meningkatkan kefasihan linguistik mereka dan mempelajari mengapa, bagaimana, dan dalam situasi apa frasa-frasa dan gestures tertentu cocok, serta memahami nilai-nilai inti budaya berhubungan dengan perilaku tertentu, (d) memperhatikan toleransi mereka terhadap ambiguitas dan atribut personal fleksibel mereka, (e) mengembangkan ikatan yang kuat (persahabatan) dan ikatan lemah (kenalan) untuk mengelola tekanan dan kesepian identitas, (f) menggunakan mass media untuk memahami kompleksitas budaya tuan rumah, (g) bersikap penuh pertimbangan soal perilaku antarpribadi mereka dan menunda evaluasi yang terburu-buru terhadap budaya tuan rumah atau yang baru diterima.
(Ting-Toomey, Stella. Communicating Across Culture. New York: The Guilford Press, 1999)

No comments: