Wednesday, January 3, 2007

Kasus Ahmadiyah Sebagai Kasus Komunikasi Antar-Budaya

1. Kasus Komunikasi Antar-Budaya

1.1 Kasus Ahmadiyah

Ledakan Petasan di Mesjid An-Nur Milik Ahmadiyah Resahkan Warga
Rabu, 25 Oktober 2006 19:09:00

Cirebon-RoL--Ledakan petasan ukuran besar di depan Mesjid An-nur milik jemaah Ahmadyah, Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Rabu siang sekitar pukul 12.00 WIB memicu ketegangan antara jemaah Islam Ahmadyah dengan warga desa sekitarnya yang mayoritas menentang ajaran Ahmadyah tersebut.
Sebagian jemaah Ahmadyah yang bersiap Sholat Dhuhur berjamaah dan sebagian lain yang tengah melakukan olah raga segera bereaksi mengejar para pelaku yang menggunakan sepeda motor, namun rupanya puluhan teman-teman pelaku sudah siap di ujung jalan untuk menghadang para pengejar sehingga terjadi saling lempar batu.
Aksi saling serang makin ramai setelah terdengar isu jemaah Ahmadyah menyerang warga lain sehingga dalam gelombang yang lebih besar ratusan warga yang non Ahmadyah melakukan penyerangan yang mengakibatkan Mushola At-taqwa, milik jemaah Ahmadyah rusak, demikian juga rumah milik Madsum, yang letaknya di sebelah Mushola Al Hidayah milik jemaah Ahmadyah.
Beberapa warga Ahmadyah melaporkan kasus penyerangan tersebut kepada pihak kepolisian setempta, sehingga beberapa menit kemudian belasan petugas segera membubarkan kerumunan massa dan tidak berapa lama kemudian tiba satu kompi pasukan Dalmas Polres Kuningan yang berjaga-jaga untuk melindungi warga Ahmadyah yang jumlahnya kalah banyak dibanding tiga desa lain yang mengelilinginya.
H Uba Subalantara, Amin Jemaah Ahmadyah Manis Lor kepada ANTARA mengakui, pihaknya berulang kali diprovokasi untuk menyerang, termasuk pada Selasa (24/10) malam dengan lemparan petasan namun petasan tersebut tidak meledak karena api sumbunya mati saat jatuh ke tanah.
"Kami selalu diprovokasi tetapi tidak terpancing, karena kami tidak ingin ada bentrokan, kami hanya ingin damai dalam menjalankan ajaran masing-masing," katanya yang saat ledakan terjadi sedang menjalankan sholat sunah sebelum memimpin Sholat Dhuhur berjamaah.
Sampai Rabu sore puluhan petugas Dalmas masih berjaga-jaga, apalagi ada informasi berantai melalui pesan SMS bahwa jemaah Ahmadyah telah menyerang sebuah Mushola milik umat Islam non Ahmadyah sehingga umat Islam diminta bersiap untuk menyerang balik selepas Sholat Isa.
Namun, Uba menegaskan, bahwa pihaknya tidak pernah menyerang warga lain apalagi merusak Mushola milik jemaah lain, tetapi yang terjadi tadi siang hanya upaya mengamankan provokator supaya bisa diproses secara hukum dan tidak lagi membuat keresahan.
Sementara Nasarudin, Ketua Gerakan Anti Ahmadyah Kabupaten Kuningan, mengatakan umat Islam di Jalaksana mulai resah karena saat ini seluruh Mushola dan Mesjid milik ajaran Ahmadyah yang dulu disegel Pemkab Kuningan, ternyata sejak 6 Juni 2006 lalu semua sarana ibadah itu kembali digunakan untuk kegiatan Ahmadyah.
Nasirudin yang juga Ketua DKM Masjid Al Huda Desa Manis Lor, Masjid non Ahmadyah meminta agar Pemkab Kuningan segera menindak tegas pengurus ajaran Ahmadiyah di Manis Lor karena mereka terbukti melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangi Bupati Kuningan H Aang Hamid Suganda, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dan Kepala Kantor Depag (Kakandepag) Kuningan tahun 2004.
"Sejak tanggal 6 Juni 2006 mereka mulai menggunakan mushola dan mesjid yang sudah disegel, mereka terbukti melanggar SKB itu, dan kami minta Pemda tegas terhadap SKB yang sudah dibuat itu," katanya.
Ia mengakui pihak Ahmadiyah, menyatakan keberatan dan dirugikan oleh lahirnya SKB No.451.7/Kep.58-Pen-um/2004, Keep 857/0.2.22/Dsp 5/12/2004, Kd.10.08/6/St.03/147/2004 itu sehingga mengajukan gugatan melalui PTUN Bandung, tetapi gugatan itu ditolak majelis hakim PTUN Bandung.

"PTUN Bandung menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan sengketa itu," katanya.
Sebelumnya tanggal 28 Juli 2006, ratusan warga Jalaksana melakukan pemancangan papan besar tentang bunyi SKB tersebut di samping Mesjid Al Huda atau di muka jalan masuk menuju pemukiman Ahmadyah dengan tujuan agar Pemkab bertindak tegas mengamankan SKB itu.
"Kami tidak ingin bentrok, tetapi kami minta Pemkab tegas atas aturan yang sudah dibuat tentang pelarangan ajaran Ahmadyah itu," katanya.
Tahun lalu, tepatnya tanggal 29 Juli 2005, sekitar 300 aparat Polres Kuningan dan Satpol Pamong Praja Pemkab Kuningan, melakukan penyegelan delapan mushola dan Mesjid Annur, milik jemaah Ahmadyah tersebut. antara/pur
(Diambil dari: Republika Online)

1.2 Kasus Ahmadiyah Merupakan Satu Fenomena Komunikasi Antar-Budaya

Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama dalam Intercultural Communication in Context menyatakan bahwa identitas religius dapat menjadi satu dimensi penting dari identitas banyak orang, juga menjadi lahan penting konflik antarbudaya. Identitas religius pun kerap tumpang tindih dengan identitas rasial atau etnis. Keadaan itu membuat kita makin sulit untuk melihat identitas religius sebagai bagian dari agama tertentu saja.
Perbedaan agama kerap menjadi akar konflik, misalnya di Timur Tengah, Irlandia Utara, India, Pakistan, hingga Bosnia-Herzegovina. Kini pun, misalnya, hal serupa terjadi di mana segelintir orang Arab-Amerika hidup di bawah kecurigaan, bahkan penghambatan, masyarakat di sekelilingnya sejalan dengan upaya pemerintah AS untuk menekan terorisme.
Dalam kasus Ahmadiyah, yang terjadi memang bukan konflik antaragama seperti yang terjadi di Poso atau Ambon, tapi tetap merupakan kasus konflik antar-identitas religius karena Ahmadiyah memiliki identitas religius yang berbeda dengan identitas religius Muslim arus utama di Indonesia. Perbedaan itu didasarkan pada adanya pandangan yang cukup fundamental dalam keyakinan Ahmadiyah yang dianggap sangat berbeda dibandingkan Islam arus utama. Menurut sudut pandang umumnya umat Islam, ajaran Ahmadiyah (Qadian) dianggap melenceng dari ajaran Islam sebenarnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi yaitu Isa Al Masih dan Imam Mahdi, hal yang bertentangan dengan pandangan umumnya kaum muslim yang mempercayai Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, walaupun masih menunggu kedatangan Isa as dan Imam Mahdi (http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah).[*]
Dalam satu negara di mana kebebasan beragama dijamin, konflik tetap muncul ketika keyakinan religius sekelompok orang membuat tidak nyaman orang-orang yang tidak memiliki keyakinan yang sama. Perbedaan fundamental yang menyangkut soal posisi Muhammad sebagai nabi terakhir itulah yang membuat umat Islam arus utama merasa bahwa identitas religius mereka berbeda dengan Ahmadiyah, bahkan mereka meminta Ahmadiyah tidak menyatakan diri sebagai Islam.* Perasaan bahwa ada ketidaksamaan identitas itu selanjutnya merasa terganggu jika Ahmadiyah tetap menyatakan diri sebagai Islam. Jika umat Islam secara keseluruhan merupakan satu kelompok budaya, maka Ahmadiyah dianggap tidak memiliki shared and learned patterns of belief and perception* yang sama dengan kelompok Islam arus utama. Jadi jelas masalah utama dalam kasus Ahmadiyah ini adalah identitas religius.
Ada hubungan yang erat antara identitas, stereotipe, dan prasangka. Untuk memahami begitu banyaknya informasi yang diterima, kita biasanya melakukan kategorisasi dan generalisasi, kadang mengandalkan stereotipe—satu kepercayaan yang dipercaya secara luas tentang satu kelompok tertentu. Stereotipe ini membantu kita untuk mengetahui apa yang kita harapkan dari orang lain, bisa positif, bisa pula negatif. Meski begitu, stereotipe positif pun bisa berdampak negatif karena memunculkan harapan-harapan yang tidak realistis dari individu.
Dalam kasus Ahmadiyah ini, stereotipe kelompok agama yang menyimpang melekat erat pada diri Ahmadiyah dan pada pikiran sebagian besar anggota umat Islam lain. Karena ada pengalaman di masa lalu bahwa kelompok Islam yang menyimpang kerap melahirkan masalah, seperti Negara Islam Indonesia misalnya, maka ekspektasi yang muncul dalam kepala umat Islam arus utama pun tentang Ahmadiyah didasarkan pada pengalaman tersebut *.
Stereotipe menjadi sangat destruktif ketika sifatnya negatif dan sangat diyakini. Penelitian membuktikan bahwa jika sudah dipercayai, stereotipe akan sangat sulit dihilangkan. Bahkan orang cenderung mengingat informasi yang mendukung stereotipe tersebut, tapi melupakan informasi yang menentangnya. Begitu juga dengan kasus Ahmadiyah. Imbauan dan pembelaan dari tokoh-toko Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Gus Dur * tetap tidak dapat memupus stereotipe yang ada dalam benak umat Islam main stream tentang Ahmadiyah. Stempel ajaran sesat yang mesti dibasmi tetap melekat.
Kita mendapatkan stereotipe melalui berbagai cara, termasuk dari media: berita, film, dsb. Kita juga dapat mengetahui stereotipe dari keluarga atau teman. Selain itu, pengalaman negatif pun dapat memunculkan stereotipe. Saat mengalami interaksi yang tidak menyenangkan dengan orang lain, kita akan menyimpulkan bahwa keadaan tak menyenangkan itu berasal dari seluruh kelompok tersebut, apa pun karakteristik yang kita perhatikan dari kelompok itu.
Selanjutnya ada prasangka atau prejudice, yaitu sikap negatif terhadap satu kelompok budaya tertentu berdasarkan sedikit pengalaman atau bahkan tanpa pengalaman sama sekali. Newberg menyatakan bahwa jika stereotipe menyatakan pada kita seperti apa sebuah kelompok, prasangka menyatakan bagaimana perasaan yang mungkin kita miliki terhadap kelompok tersebut. Menurut Hecht, prasangka dapat muncul dari kebutuhan pribadi untuk memiliki perasaan positif tentang kelompok kita sendiri dan perasaan negatif tentang kelompok lain, atau dapat muncul dari ancaman, baik yang nyata maupun yang bersifat dugaan. Dalam kasus Ahmadiyah, kebutuhan umat Islam arus utama akan perasaan bahwa agama yang mereka anut tidak ternodai dapat dianggap sebagai pemicu sikap anti-Ahmadiyah, yang merupakan prasangka terhadap kelompok tersebut. Umat Islam mayoritas, termasuk Majelis Ulama Indonesia dan Menteri Agama RI, merasa bahwa Ahmadiyah merupakan ancaman bagi ajaran Islam dan umat Islam secara umum. *
Walter Stephan dan Cookie Stephan menyatakan bahwa ketegangan antara kelompok-kelompok budaya, dibarengi ketidaksetaraan status dan dugaan ancaman, dapat memunculkan prasangka. Mengapa orang berprasangka? Richard Brislin menyatakan bahwa saat stereotipe muncul dari fungsi kognitif normal, prasangka menjalani fungsi-fungsi yang dapat kita pahami. Fungsi-fungsi ini tidak bisa dijadikan sebagai pembenaran prasangka memang, namun hal itu membantu kita memahami bagaimana prasangka bisa begitu tersebar.
Ada empat fungsi yang dimaksud di atas. Yang pertama adalah fungsi utilitarian. Orang punya prasangka karena prasangka tersebut bisa mendatangkan imbalan tertentu. Penerimaan kelompok dapat menjadi salah satu bentuk imbalan yang dimaksud. Yang kedua adalah fungsi ego-defensive. Orang memiliki prasangka karena mereka tidak mau meyakini ada hal-hal yang tidak menyenangkan pada diri mereka. Fungsi ketiga adalah fungsi value-expressive. Orang berprasangka karena prasangka tersebut memperkuat aspek-aspek kehidupan yang mereka junjung tinggi. Yang terakhir ialah fungsi pengetahuan. Orang memiliki prasangka karena sikap itu memungkinkan mereka untuk menyusun dunia mereka menjadi satu bentuk yang dapat mereka pahami—sama seperti stereotipe membantu kita menyusun dunia kita.
Berkenaan dengan Ahmadiyah, dapat dilihat bagaimana keempat fungsi tersebut mendasari prasangka yang muncul; dari umat Islam mayoritas terhadap Ahmadiyah. Banyak orang Islam ikut mengutuk Ahmadiyah walaupun tidak tahu apa kesalahan kelompok itu karena akan ada reward dari kelompoknya bahwa ia memang sama dengan anggota lain dalam kelompoknya. Fungsi ego-defensive mungkin tidak tampak dari kasus ini secara makro, namun dapat dilihat dari fragmen-fragmen pergesekan antara umat Islam mayoritas dengan Ahmadiyah, misalnya yang terjadi di Cianjur, NTB, atau Cirebon. Dalam tiap aksi penyerangan, kelompok Islam mayoritas kerap meneriakkan takbir. Fenomena itu dapat dilihat sebagai salah satu wujud fungsi ego-defensive sekaligus value-expressive (bersama dengan keinginan untuk menjaga kemurnian agama Islam). Selanjutnya, konflik dengan Ahmadiyah dapat dilihat sebagai upaya umat Islam mayoritas untuk membuat peta dalam kepala mereka tentang posisi Islam, yaitu berada di antara ancaman “kelompok sesat” dan agama lain, seperti Kristen*.
Lalu, perilaku apa yang muncul sebagai konsekuensi stereotipe dan prasangka? Diskriminasi. Diskriminasi dapat muncul berdasarkan berbagai jenis identitas: ras, etnis, agama, dll. Bentuk diskriminasi bervariasi, mulai dari perilaku nonverbal yang halus--seperti jarangnya ada kontak mata atau peminggiran dari percakapan--, penghinaan verbal dan penyisihan dari pekerjaan dan kesempatan-kesempatan ekonomis, hingga kekerasan fisik dan penyisihan yang dilakukan secara sistematis. Maluso menyatakan bahwa diskriminasi dapat dilakukan secara interpersonal, kolektif, atau institusional. Saat ini, diskriminasi kolektif dan institusional secara konsisten kerap terjadi. Para individu secara sistematis dipinggirkan dari partisipasi setara dalam masyarakat atau akses yang sama untuk mendapatkan hak-hak formal dan informal.
Karena adanya semua stereotipe dan prasangka tentang Ahmadiyah, berbagai jenis diskriminasi pun muncul, baik yang interpersonal, kolektif, maupun institusional. Itu bisa dilihat dari berbagai penyerangan fisik dan kekerasan yang terjadi di berbagai daerah, seperti Cianjur, NTB, dan Cirebon, misalnya, hingga pernyataan Menteri Agama RI tentang Ahmadiyah, yang menyatakan bahwa kelompok itu tak boleh mengaku sebagai Islam* , hingga fatwa yang dikeluarkan MUI* dan pernyataan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono *.
Dari berbagai uraian di atas, terlihat jelas bahwa kasus Ahmadiyah ini merupakan fenomena komunikasi antarbudaya. Unsur identitas religius menjadi dasar munculnya konflik. Stereotipe dan prasangka muncul dalam pikiran umat Islam main stream terhadap Ahmadiyah, yang selanjutnya memunculkan diskriminasi terhadap kelompok ini. Bahkan diskriminasi yang muncul telah mencapai bentuk diskriminasi institusional.


2. Pilar Komunikasi Antarbudaya
2. 1 Empat Pilar Komunikasi Antarbudaya

Kebudayaan, komunikasi, konteks, dan kekuasaan adalah empat komponen yang saling berkaitan atau building blocks dalam upaya memahami komunikasi antarbudaya. Kebudayaan dan komunikasi adalah dua hal inti, sedangkan konteks dan kekuasaan membentuk latar bagi kita untuk dapat lebih memahami komunikasi antarbudaya.
Kebudayaan sering dianggap sebagai konsep inti dalam komunikasi antarbudaya. Satu karakteristik kebudayaan adalah bahwa kebudayaan berfungsi sebagian besar pada tataran bawah sadar.
Ada begitu banyak definisi kebudayaan—mulai dari pola persepsi yang mempengaruhi komunikasi hingga ajang persaingan dan konflik. Karena itu, sangat penting bagi kita untuk berefleksi pada sentralitas kebudayaan dalam interaksi kita. Kebudayaan bukan hanya sekadar satu aspek dari komunikasi antarbudaya. Pendapat kita tentang kebudayaan membingkai gagasan dan persepsi kita.
Beberapa definisi antropologis menyatakan budaya sebagai sekelompok pola pemikiran dan kepercayaan. Definisi lain menyatakan bahwa budaya adalah sekelompok perilaku, dsb. Sementara itu, definisi psikologis biasanya menyatakan kebudayaan sebagai pemrograman pikiran dan agregat interaktif dari karakteristik bersama yang mempengaruhi respons sekelompok manusia pada lingkungannya.
Selanjutnya, dengan munculnya cultural studies, muncul pula pandangan baru terhadap kebudayaan: kebudayaan dianggap sebagai satu contested zone. Artinya adalah bahwa kebudayaan dianggap sebagai sesuatu yang cair, tidak baku dan statis. Di dalam kebudayaan ada negosiasi dan kompetisi yang berkaitan dengan isu-isu gender, kelas, dan sejarah.
Komunikasi sebagai komponen kedua yang mesti dimengerti untuk memahami komunikasi antarbudaya juga merupakan satu hal yang sama kompleksnya dengan kebudayaan. Karakteristik utama dari komunikasi adalah makna. Kita memahami bahwa komunikasi terjadi saat seseorang mengatribusikan makna pada tuturan atau tindakan orang lain. Komunikasi dapat dipahami sebagai satu proses simbolis di mana realitas diproduksi, dipertahankan, diperbaiki, dan ditransformasikan. Definisi sederhana ini mengandung beberapa gagasan.
Gagasan pertama adalah bahwa komunikasi bersifat simbolis. Artinya kata-kata yang kita ucapkan dan gerakan yang kita lakukan tidak memiliki makna yang inheren. Semua mendapatkan signifikansinya dari makna yang disepakati. Kedua, proses di mana kita menegosiasikan makna bersifat dinamis. Artinya komunikasi bukanlah kejadian tunggal, melainkan berlangsung terus--maknanya ditentukan oleh kejadian komunikasi lain.
Hubungan antara kebudayaan dan komunikasi sangat rumit. Perspektif dialektis berasumsi bahwa kebudayaan dan komunikasi berinterelasi dan bersifat resiprokal. Artinya komunikasi dan kebudayaan saling mempengaruhi.
Dalam komunikasi, shared values satu komunitas akan mempengaruhi jawaban dari satu pertanyaan tertentu yang diajukan. Jawaban atau respons yang diberikan saat seseorang menjawab satu pertanyaan merupakan cerminan dari value yang diyakini dalam komunitas orang tersebut.
Bagaimanapun, dalam satu komunitas yang ada bukan hanya value dominan. Artinya kita harus menghindari pembentukan stereotipe berdasarkan analisis orientasi value tersebut. Konflik antarbudaya kerap terjadi karena adanya perbedaan dalam hal orientasi value.
Kebudayaan tak hanya mempengaruhi komunikasi, tapi kebudayaan dibangun melalui komunikasi sehingga juga dipengaruhi oleh komunikasi. Para ilmuwan komunikasi kultural menggambarkan bagaimana berbagai aspek kebudayaan dibangun dalam guyub-guyub tutur dalam konteks. Mereka berupaya memahami pola-pola komunikasi yang terbentuk secara sosial dan ikut menentukan identitas kultural. Secara spesifik mereka mengamati bagaimana bentuk-bentuk dan kerangka-kerangka kultural terbentuk melalui norma-norma percakapan dan interaksi yang terstruktur. Perlawanan terhadap sistem budaya yang dominan selalu ada dalam berbagai komunitas budaya.
Selanjutnya adalah konteks. Konteks secara tipikal tercipta oleh aspek sosial dan fisik dari situasi di mana komunikasi terjadi. Orang berkomunikasi secara berbeda-beda bergantung pada konteks di mana ia berada. Konteks tidak bersifat statis ataupun obyektif, dan dapat bersifat multilayered atau berlapis-lapis. Konteks dapat terdiri atas struktur-struktur sosial, politik, dan historis di mana komunikasi terjadi.
Unsur berikutnya adalah kekuasaan. Kekuasaan menyebar dalam interaksi komunikasi, meskipun tak selalu tampak jelas bagaimana kekuasaan mempengaruhi komunikasi atau makna-makna seperti apa yang terkonstruksi. Kita kerap menduga bahwa komunikasi terjadi antara pihak-pihak yang setara, padahal hal ini sangat jarang terjadi. Menurut Mark Orbe, orang-orang yang memiliki kekuasaan, baik secara sadar ataupun tidak, menciptakan dan mempertahankan sistem komunikasi yang mencerminkan, memperkuat, dan menonjolkan cara berpikir dan berkomunikasi mereka. Ada dua jenis kekuasaan yang berhubungan dengan kelompok: (1) dimensi primer (usia, etnis, gender, kemampuan fisik, ras, dan orientasi seksual), yang bersifat lebih permanen dan (2) dimensi sekunder (pendidikan, lokasi geografis, status perkawinan, dan status sosial ekonomi), yang lebih dapat berubah.
Kekuasaan juga berasal dari institusi sosial dan peran-peran individu yang menempati institusi-institusi tersebut. Kekuasaan bersifat dinamis, bukan proposisi searah yang sederhana. Ketegangan antara kelompok kultural yang dominan dan yang tersubordinasi dapat terus terjadi dalam berbagai cara.

2. 1 Empat Pilar Komunikasi Antarbudaya dalam Kasus Ahmadiyah

Dalam kasus Ahmadiyah ini, Islam dianggap menjadi budaya yang terlibat. Orang Islam memiliki sekelompok pola pemikiran dan kepercayaan. Kelompok Ahmadiyah lalu mengeluarkan satu gejala di mana pola pemikiran dan kepercayaan yang ada ditentang. Karena itulah, kelompok Ahmadiyah ini lalu mengalami eksklusi dari kelompok budaya Islam arus utama.
Jika kita melihat Islam sebagai budaya yang merupakan contested zone, yang cair dan tidak baku, maka bisa dikatakan bahwa upaya negosiasi dan kompetisi yang dilakukan Ahmadiyah dalam gelanggang Islam belum berhasil, atau belum mencapai tujuannya. Penolakan keras masih mendominasi dan terlegitimasi, walaupun penerimaan dari beberapa kelompok--misalnya Jaringan Islam Liberal dan nasionalis seperti Gus Dur--tetap ada *. Beberapa upaya negosiasi terus dilakukan Ahmadiyah agar kelompok Islam mayoritas di Indonesia menerima mereka, misalnya melalui tulisan-tulisan penjelasan tentang ajaran mereka, yang mereka anggap tidak bertentangan dengan Islam*.
Unsur selanjutnya, komunikasi, juga berperan penting dalam kasus Ahmadiyah ini. Sebabnya adalah bahwa munculnya Ahmadiyah dimulai ketika ada satu makna yang muncul ke permukaan setelah adanya interpretasi terhadap Al Quran--serupa dengan perbedaan interpretasi Islam main stream dengan JIL atau perbedaan antara Muhammadiyah dan NU, misalnya. Namun, yang membuat kasus Ahmadiyah menjadi begitu besar adalah bahwa makna yang muncul sangat kontradiktif dengan makna yang dipahami Islam mayoritas di Indonesia soal status nabi terakhir. Permasalahan makna dan interpretasi ini menjadi begitu mutlak saat telah menyentuh shared-belief yang sangat vital.
Atribusi makna pun dilekatkan oleh Islam mayoritas di Indonesia pada Ahmadiyah saat kelompok ini lalu menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad merupakan nabi terakhir: makna bahwa kelompok ini sesat. Selain itu, reproduksi realitas yang dikomunikasikan saat kelompok Ahmadiyah melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam pun bertentangan dengan realitas yang selama ini dipercaya Islam mayoritas di Indonesia. Value dominan dalam masyarakat Islam mayoritas Indonesia ini--Muhammad SAW merupakan nabi terakhir—tidak dapat dinegosiasikan, sehingga stereotipe, prasangka, dan diskriminasi pun muncul terhadap Ahmadiyah.
Kasus Ahmadiyah ini pun berkembang dalam berbagai konteks yang berbeda-beda. Konteks konflik antar kelompok Islam main stream dan Ahmadiyah berkembang menjadi konteks kehidupan negara saat MUI, Menteri Agama, dan Presiden ikut mengambil sikap. Konteks Indonesia dengan Islam dan umat Islam yang sudah cukup mapan juga dapat dianggap mempengaruhi fenomena komunikasi antarbudaya kasus Ahmadiyah ini. Perkembangan kasus ini mungkin akan berbeda jika fenomena ini terjadi di Amerika Serikat atau Cina, misalnya. Berbagai struktur lembaga keagamaan dan pemerintahan dapat pula dianggap sebagai struktur sosial dan politik yang menjadi konteks di mana fenomena komunikasi kasus Ahmadiyah ini terjadi.
Fatwa MUI yang melarang Ahmadiyah, imbauan Menteri agama yang menyuruh kelompok itu tidak menyatakan diri sebagai Islam, dan perkataan Presiden Yudhoyono yang juga melarang Ahmadiyah adalah wujud kekuasaan yang menyebar dalam interaksi komunikasi antarbudaya dalam kasus ini. Cara-cara agresif yang menyerang, baik verbal maupun fisik, juga manifestasi kekuasaan Islam main stream terhadap Ahmadiyah. Kekuasaan sebagai kelompok budaya religius yang mapan memberi keleluasaan bagi kelompok Islam arus utama untuk menentukan cara komunikasi yang mereka kehendaki. Status sosial MUI, Presiden, Menteri, dan pemeluk agama Islam yang “benar” memungkinkan terwujudnya cara komunikasi yang dilihat dari perimbangan kekuasaan tidak seimbang ini. Makna-makna yang terkonstruksi pun, seperti mana yang benar dan salah, bergantung pada kekuasaan itu. Ketegangan pun terlihat jelas dalam kasus ini.


3. Negosiasi Identitas dan Komunikasi Antarbudaya yang Mindful
3.1. Perspektif dan Teori Negosiasi Identitas


Perspektif negosiasi identitas menekankan kaitan antara nilai-nilai kultural dan konsepsi diri; menerangkan bagaimana konsepsi diri seseorang mempengaruhi kognisi, emosi, dan interaksi; menjelaskan mengapa dan bagaimana orang membentuk batas-batas antarkelompok; menggambarkan keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda dari para individu dalam hal menginginkan otonomi inklusi--pembedaan dan hubungan—dalam hubungan-hubungan mereka; memetakan faktor-faktor yang berkontribusi pada terjadinya keguncangan identitas.
Perspektif teori identitas adalah satu teori integratif yang berakar pada karya teori identitas sosial (psikologi sosial), interaksionisme simbolis (sosiologi), negosiasi identitas dan dialektika relasional (komunikasi).
Dasar fundamental teori negosiasi identitas adalah bahwa individu dalam semua budaya memiliki keinginan untuk menjadi komunikator yang kompeten dalam berbagai situasi interaktif.
Dua sumber identitas yang mempengaruhi interaksi keseharian individu: identitas group-based dan identitas person-based. Kesadaran kita tentang identitas keanggotaan kelompok dan personal kita berasal terutama dari internalisasi sudut pandang orang lain di sekeliling kita (Mead, 1934).
Proses inti konsepsi diri reflektif para individu dibentuk melalui komunikasi simbolis dengan orang lain (McCall & Simmons, 1978). Dalam mengembangkan teori identitas sosial, Tajfel dan rekan (Tajfel, 1981, 1982;J.C. Turner, 1985, 1987) menyatakan bahwa identitas sosial mengacu pada konseptualisasi diri para individu yang berasal dari keanggotaan dalam kategori atau kelompok yang signifikan secara emosional (Brewer & Miller, 1996). Identitas personal, di sisi lain, mengacu pada konsepsi diri para individu yang “mendefinisikan individu dalam kaitannya dengan individu-individu lain” (Brewer & Miller, 1996, p.24).
Yang termasuk identitas sosial adalah identitas keanggotaan etnis atau budaya, identitas gender, identitas orientasi seksual, identitas kelas sosial, identitas usia, identitas kecacatan, atau identitas profesional. Yang termasuk identitas pribadi: segala atribut unik yang kita asosiasikan dengan diri yang kita individualisasikan dalam perbandingannya dengan milik orang lain.
Lebih jauh lagi, teori identitas sosial mengasumsikan bahwa kita berhubungan dengan orang lain melalui dua tipe persepsi: persepsi intergroup-based dan persepsi interpersonal-based. Namun, dalam pertemuan antarbudaya yang sebenarnya, dua tipe keterkaitan itu hadir.
Teori identitas sosial dan teori interaksi simbolis menyatakan secara jelas bahwa proses mendefinisikan diri pribadi merupakan proses sosial.
Dalam perspektif negosiasi identitas, istilah identitas berarti konsepsi diri atau citra diri reflektif yang kita dapat dari proses sosialisasi budaya, etnis, dan gender. Identitas didapat melalui interaksi dengan orang lain dalam situasi yang khusus. Dengan demikian identitas pada dasarnya mengacu pada pandangan refleksif kita tentang diri kita—dalam level identitas sosial dan personal.
Perspektif negosiasi identitas menekankan delapan domain dalam mempengaruhi identitas dalam interaksi keseharian kita, empat di antaranya, domain-domain citra diri (identitas budaya, etnis, gender, dan pribadi) merupakan identitas primer yang memasukkan pengaruh yang penting dan terus berlangsung sepanjang hidup, sedangkan empat yang lain (identitas peran, relasional, face work, interaksi simbolis) bergantung pada situasi, berubah dari satu situasi ke situasi lain. Kedua jenis identitas itu saling mempengaruhi. Selain itu, kedelapan domain identitas itu dipandang sebagai satu konsep diri komposit tiap individu terhadap budaya.
Teori negosiasi identitas menekankan bahwa identitas atau konsepsi diri refleksif dipandang sebagai mekanisme penjelasan bagi proses komunikasi antarbudaya. Identitas dipandang sebagai citra diri reflektif yang dikonstruksi, dialami, dan dikomunikasikan oleh para individu dalam satu budaya dan dalam satu situasi interaksi tertentu.
Konsep negosiasi didefinisikan sebagai proses interaksi transaksional di mana para individu dalam satu situasi antarbudaya mencoba memaksakan, mendefinisikan, mengubah, menantang, dan/atau mendukung citra diri yang diinginkan pada mereka atau orang lain. Negosiasi identitas merupakan aktivitas komunikasi.

3.2. Komunikasi Antarbudaya yang Mindful

Beberapa individu bersikap mindless dalam menghadapi negosiasi identitas, sedangkan individu lain bersikap mindful menghadapi dinamika proses ini. Mindfulness ini merupakan satu proses “pemfokusan kognitif” yang dipelajari melalui latihan-latihan keterampilan yang dilakukan berulang-ulang.
Ada 10 asumsi teoritis inti berkaitan dengan komunikasi antarbudaya yang mindful ini.
Mindfulness berarti kesiapan untuk menggeser kerangka referensi, motivasi untuk menggunakan kategori-kategori baru untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya atau etnis, dan kesiapan untuk bereksperimen dengan kesempatan-kesempatan kreatif dari pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Sebaliknya mindlessness adalah ketergantungan yang amat besar pada kerangka referensi yang familiar, kategori dan desain yang rutin dan cara-cara melakukan segala hal yang telah menjadi kebiasaan.
Untuk menjadi komunikator yang mindful, individu mesti mempelajari sistem nilai yang mempengaruhi konsepsi diri orang lain. Ia perlu membuka diri terhadap satu cara baru konstruksi identitas. Ia juga perlu siap untuk memahami satu perilaku atau masalah dari sudut pandang budaya orang lain. Ia juga mesti waspada bahwa banyak perspektif hadir dalam upaya interpretasi satu fenomena dasar.
Ada dua kriteria komunikasi yang mindful. Yang pertama adalah kecocokan, ukuran di mana perilaku dianggap cocok dan sesuai dengan yang diharapkan oleh budaya. Kriteria kedua adalah keefektifan, yakni ukuran di mana komunikator mencapai shared meaning dan hasil yang diinginkan dalam satu situasi tertentu.
Di samping itu, ada tiga komponen komunikasi yang mindful. Komponen pertama adalah pengetahuan, yakni pemahaman kognitif yang dimiliki seseorang dalam rangka berkomunikasi secara tepat dan efektif dalam satu situasi tertentu. Selanjutnya adalah motivasi, yakni kesiapan kognitif dan afektif serta keinginan untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif dengan orang lain. Yang ketiga adalah keterampilan, yakni kemampuan operasional sebenarnya untuk menampilkan perilaku-perilaku yang dianggap sesuai dan efektif dalam situasi tertentu.

3.3. Perspektif Negosiasi Identitas dengan Konsep Komunikasi Antarbudaya yang Mindful sebagai Solusi Kasus Ahmadiyah

Bagaimana umat Islam bereaksi terhadap Ahmadiyah dapat dijelaskan dengan melihat nilai-nilai dan konsepsi diri mereka, yang mempengaruhi kognisi, emosi, dan interaksi mereka. Hal yang sama perlu dilakukan pada kelompok Ahmadiyah sendiri. Perlu juga dikaji bagaimana batas dan ketegangan antara dua kelompok ini tercipta. Selain itu, juga perlu diteliti secara hati-hati apa yang membuat masing-masing kelompok ini melekatkan atribut pada diri mereka masing-masing dan pada yang lain. Konsepsi diri dan citra diri tiap kelompok pun mesti dipahami secara hati-hati.
Langkah selanjutnya adalah mencoba mengembangkan mindfulness melalui latihan-latihan yang berulang-ulang dalam dua kelompok yang terlibat. Perlu ada kesiapan untuk menggeser referensi dalam diri tiap kelompok, menghapus ketergantungan yang amat besar pada kerangka referensi yang familiar, kategori dan desain, serta cara-cara yang telah menjadi rutin dan biasa dilakukan.
Tiap kelompok perlu mempelajari sistem nilai yang mempengaruhi konsepsi diri kelompok lain. Perlu ada upaya untuk membuka diri terhadap satu cara konstruksi identitas baru, atau bahkan konstruksi identitas baru itu sendiri. Memahami sikap dan perilaku kelompok lain pun mesti ditanamkan. Artinya adalah bahwa mesti ada kesadaran pada dua kelompok tersebut bahwa perbedaan di antara mereka adalah perbedaan yang sama dengan begitu banyak perbedaan lain yang ada dalam kehidupan mereka yang hadir karena adanya perspektif baru sebagai wujud perbedaan interpretasi terhadap satu fenomena dasar--dalam kasus ini agama.
Dalam kasus ini terlihat bahwa tiga komponen komunikasi yang mindful, yakni pengetahuan, motivasi, dan keterampilan, tidak terpenuhi pada dua kelompok. Pada kelompok Islam main stream jelas tidak ada motivasi untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif. Itu terbukti dengan digunakannya kekerasan dalam interaksi dengan Ahmadiyah. Komponen pengetahuan juga tampaknya mempengaruhi mereka. Kurangnya pengetahuan tentang perbedaan interpretasi di masa lalu Islam atau bagaimana Al Quran dapat diinterpretasi mungkin mempengaruhi sikap ekstrem kelompok arus utama. Selain itu, kelompok ini tidak memiliki keterampilan untuk melakukan komunikasi secara efektif dan produktif, sehingga yang mereka pilih adalah cara-cara yang mindless. Dengan begitu, penerangan yang lengkap dan holistik tentang semua hal di atas dapat menjadi jawaban dan solusi bagi ketegangan antara dua kelompok tersebut. Kecenderungan untuk menghindari ekspose terhadap perbedaan antara dua kelompok ini juga dapat menjadi satu solusi yang dapat dilakukan.
Dari sisi kelompok Ahmadiyah, motivasi mereka pun mesti muncul. Kecenderungan untuk bersikap eksklusif jelas merupakan wujud ketiadaan motivasi dan keterampilan. Saat mereka beribadah secara eksklusif dan membentuk komunitas yang eksklusif pula, saat itu pula mereka menutup diri dan menarik garis nyata yang membuat perbedaan mereka dengan kelompok Islam arus utama jelas tergambar. Yang terbentuk adalah satu ekspose terhadap perbedaan yang akhirnya membentuk satu konsepsi identitas antara dua kelompok tersebut. Akhirnya, ekspose terhadap perbedaan itu menggiring kedua kelompok pada ketegangan identitas. Pembauran secara alami menjadi yang definitif guna mengekspose kesamaan, yang jumlahnya jelas jauh lebih banyak. Dalam situasi di mana kedua kelompok membaur, identitas pun menjadi cair dan negosiasi identitas dapat terjadi secara lebih mulus.


Catatan Kaki:

[1] Meskipun pengikut Ahmadiyah Lahore mengaku mempercayai Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai Mujaddid dan tidak disetarakan dengan posisi Nabi Muhammad (sesuai keterangan Ahmadiyyah Lahore untuk Indonesia, yang berpusat di Yogyakarta).

* Menteri Agama (Menag) Maftuh Basyuni meminta agar Ahmadiyah menjadi agama tersendiri di luar Islam. (http://www.waspada.co.id).
* Martins & Nakayama, 2003:79
* Sebetulnya tindak kekerasan seperti itu tidak mereka alami sekali ini, tetapi sudah berkali-kali. Pada tahun 2000, ketika penulis belajar di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Mataram,NTB, ada peristiwa penggrebekan yang ujung-ujungnya pengusiran dan kekerasan terhadap Ahmadiyah oleh sekelompok organisasi mayoritas di NTB. Alasannya, ajaran-ajaran ahmadiyah “menyesatkan” akibatnya “meresahkan” masyarakat. Anggapan inilah ‘titik api’ yang membuat emosi masyarakat NTB meluap-luap sehingga ingin selalu mengusir bahkan ‘membunuh’ jika pengikut Ahmadiyah masih tetap tinggal dan menyebarkan ajaran yang dianggap “sesat” di negeri yang dikenal sebagai pulau “seribu masjid” itu (http://lkassurabaya.blogspot.com).
* “Masih tentang Ahmadiyah” oleh Ulil Abshar-Abdalla di
http://islamlib.com/id
“Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama” oleh Dawam Rahardjo, http://islamlib.com/id
Dalam “Tapal Batas Tafsir Bebas” di
http://islamlib.com/id
* Lihat Lampiran satu tentang Fatwa MUI dan berita tentang pernyataan Menteri Agama RI.
* Adanya perasaan seperti ini dapat dilihat antara lain di
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/02/23/0072.html, www.ham.go.id/index_HAM, “Damai Sekarang atau Perang Berlanjut” di http://media.isnet.org/ambon/Kastor/Ancaman.html, dan http://www.sidogiri.com/modules.php?name=News&file=article&sid=865.
* Menteri Agama (Menag) Maftuh Basyuni meminta agar Ahmadiyah menjadi agama tersendiri di luar Islam. (http://www.waspada.co.id).
* Lihat Lampiran satu tentang Fatwa MUI dan berita tentang pernyataan Menteri Agama RI.
* Antara lain dapat dilihat di
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=156 dan http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/10/04/brk,20051004-67525,id.html
* Antara lain dapat dilihat di
http://www.islamemansipatoris.com dan “Ulil: Fatwa MUI soal Ahmadiyah Tolol dan Konyol” di detik.com.
* pengikut Ahmadiyah Lahore mengaku mempercayai Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai Mujaddid dan tidak disetarakan dengan posisi Nabi Muhammad (sesuai keterangan Ahmadiyyah Lahore untuk Indonesia, yang berpusat di Yogyakarta (wikipedia)


Lampiran 1

KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor : 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang ALIRAN AHMADIYAH
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426H./ 26-29 Juli 2005 M. setelahMENIMBANG :
Bahwa sampai saat ini aliran Ahmadiyah terus berupaya untuk mengembangkan pahamnya di Indonesia, walaupun sudah ada fatwa MUI dan telah dilarang keberadaannya;
Bahwa upaya pengembangan paham Ahmadiyah tersebut telah menimbulkan keresahaan masyarakat;
Bahwa sebagian masyarakat meminta penegasan kembali fatwa MUI tentang faham Ahmadiyah sehubungan dengan timbulnya berbagai pendapat dan berbagai reaksi di kalangan masyarakat;
Bahwa untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan menjaga kemurnian aqidah Islam, MUI memandang perlu menegaskan kembali fatwa tentang aliran Ahmadiyah.
MENGINGAT :
Firman Allah SWT.,Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi; dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Ahzab [33]: 40)Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu di perintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa (QS. Al- An’am [6]: 153)Hai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk…. (QS. Al-Ma’idah [5]: 105)
Hadist Nabi S.A.W.; A.l.:Rasulullah bersabda: Tiadak ada Nabi sesudahku (HR. al-Bukhari).Rasulullah bersabda: “Kerasulan dan kenabian telah terputus; karena itu, tidak ada Rasul maupun Nabi sesudahku (HR Tirmidzi)
MEMPERHATIKAN :
Keputusan Majma al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406H./22-28 Desember 1985M tentang Aliran Qodiyaniyah, yang antara lain menyatakan; bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan di sepakati oleh seluruh Ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
Keputusan Majma’ al-Fiqh Rabitha’ Alam Islami.
Keputusan Majma’ al-Buhuts.
keputusan Fatwa MUNAS II MUI pada tahun1980 tentang Ahmadiyah Qodiyaniyah.
Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
M E M U T U S K A N
MENETAPKAN : FATWA TENTANG ALIRAN AHMADIYAH
Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam)’
Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.
Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.

Ditetapkan di : JakartaPada tanggal : 22 Jumadil Akhir 1426 H29 Juli 2005 M
MUSYAWARAH NASIONAL VIIMAJELIS ULAMA INDONESIA,Pimpinan Sidang Komisi C Bidang FatwaKetua, Sekretaris,K.H. MA’RUF AMIN HASANUDIN


[*] Meskipun pengikut Ahmadiyah Lahore mengaku mempercayai Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai Mujaddid dan tidak disetarakan dengan posisi Nabi Muhammad (sesuai keterangan Ahmadiyyah Lahore untuk Indonesia, yang berpusat di Yogyakarta).

* Menteri Agama (Menag) Maftuh Basyuni meminta agar Ahmadiyah menjadi agama tersendiri di luar Islam. (http://www.waspada.co.id).
* Martins & Nakayama, 2003:79
* Sebetulnya tindak kekerasan seperti itu tidak mereka alami sekali ini, tetapi sudah berkali-kali. Pada tahun 2000, ketika penulis belajar di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Mataram,NTB, ada peristiwa penggrebekan yang ujung-ujungnya pengusiran dan kekerasan terhadap Ahmadiyah oleh sekelompok organisasi mayoritas di NTB. Alasannya, ajaran-ajaran ahmadiyah “menyesatkan” akibatnya “meresahkan” masyarakat. Anggapan inilah ‘titik api’ yang membuat emosi masyarakat NTB meluap-luap sehingga ingin selalu mengusir bahkan ‘membunuh’ jika pengikut Ahmadiyah masih tetap tinggal dan menyebarkan ajaran yang dianggap “sesat” di negeri yang dikenal sebagai pulau “seribu masjid” itu (http://lkassurabaya.blogspot.com).
* “Masih tentang Ahmadiyah” oleh Ulil Abshar-Abdalla di http://islamlib.com/id
“Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama” oleh Dawam Rahardjo, http://islamlib.com/id
Dalam “Tapal Batas Tafsir Bebas” di http://islamlib.com/id
* Lihat Lampiran satu tentang Fatwa MUI dan berita tentang pernyataan Menteri Agama RI.
* Adanya perasaan seperti ini dapat dilihat antara lain di http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/02/23/0072.html, www.ham.go.id/index_HAM, “Damai Sekarang atau Perang Berlanjut” di http://media.isnet.org/ambon/Kastor/Ancaman.html, dan http://www.sidogiri.com/modules.php?name=News&file=article&sid=865.
* Menteri Agama (Menag) Maftuh Basyuni meminta agar Ahmadiyah menjadi agama tersendiri di luar Islam. (http://www.waspada.co.id).
* Lihat Lampiran satu tentang Fatwa MUI dan berita tentang pernyataan Menteri Agama RI.
* Antara lain dapat dilihat di http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=156 dan http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/10/04/brk,20051004-67525,id.html
* Antara lain dapat dilihat di http://www.islamemansipatoris.com/ dan “Ulil: Fatwa MUI soal Ahmadiyah Tolol dan Konyol” di detik.com.
* pengikut Ahmadiyah Lahore mengaku mempercayai Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai Mujaddid dan tidak disetarakan dengan posisi Nabi Muhammad (sesuai keterangan Ahmadiyyah Lahore untuk Indonesia, yang berpusat di Yogyakarta (wikipedia)

1 comment:

Unknown said...

Thanks infonya.. ^^b